Terkadang indahnya senja, memancarkan kebahagiaan. Sekejap menularkan rasa bahagia, layaknya virus yang menularkan penyakitnya. Hingga membuat seorang aku ini, yang telah menginjak umur 20 tahun ini, menduduki pasir nan putih dipenghujung sore. Sampai-sampai menjadi kebiasaan saat aku merasa “Aku butuh virus kebahagiaan”.
“Zaaaa. Maheza!!.” teriakan yang memekakkan itu menggema di lorong gedung Universitas ini. “Kecilin suaranya, Lia!.” jawab ku saat Lia telah tiba di sisi ku. “Apa… mau liatin senja lagi lu Za?.” Aku hanya mengangkat kedua bahuku, membiarkan pertanyaan itu, dan mempercepat langkah kaki agar tak terlalu sore tiba di sana. “Yaa Allah. Kenapa hati ini seperti hancur. Hilang arah, seperti mati rasa, seperti selalu bad mood.” dengan volume suara yang lumayan kencang, kubiarkan tuhan mendengarkan. Kembali aku lanjutkan, menatap senja, menenangkan tubuh tanpa suatu pergerakan, dan diam tanpa mengeluarkan kata.
Maghrib telah selesai kudirikan, selesai membaca satu halaman Al-Qur’an aku duduk di kursi berhadapan dengan meja. Berfikir kenapa, apa, dan bagaimana atas semua kesedihan yang terasa. Aku, di saat-saat tertentu merasa sedih, sakit, dan perih. Entahlah.
Selepas menyelesaikan kelas siang ini, kududuki kursi di pinggiran jalan, di trotoar yang membentang sepanjang jalanan kota, bersama dengan laptop berharga. Ditemani tenangnya Sang pembaca musikalisasi, kubiarkan orang-orang berlalu-lalang melewati. Panas matahari yang menyengat ini, membuat hatiku tergerak mencari obat panas tenggorokan yang kering ini.
Sesampainya di sebuah cafe, kupesan 1 minuman susu rasa matcha. Kubawa minuman itu ke tempat duduk bersampingan dengan dinding kaca tansparan. Melanjutkan musikalisasi yang belum usai, dan menatap pengendara motor, mobil, dan beberapa pejalan kaki. Semenjak kepergian sosok sahabat yang selalu di sisi, aku kehilangan orang dekat yang berwujud, yang tertangkap oleh dua netra ini. Karena dulu, kumiliki 2 orang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan yang selalu mendengar cerita dalam do’a, dan Rani, sahabat yang selalu menjadi lawan berdialogku sepanjang hari.
“Kayak kehilangan doi aja lu Za!” tegas Lia yang selalu kesal melihat sisi lainku yang bersedih. “Gua hargain lu banget kok, serius. Tapi kan masih ada rasa, kok gitu banget sih Rani waktu itu. Secara yang paling sinkron di hari-hari gua itu dia.” lagi-lagi kuungkit kejadian yang telah berlangsung 2 bulan yang lalu. “Ngerti kok Za, sebenernya bukan karena sinkronnya kalian. Tapi karena lo tulus nganggap dia sahabat.” argh flashback kembali ingatan waktu itu. Dalam hatiku meronta pada pikiran sendiri.
“Nanya aja, kok lu jarang chat lagi di WhatsApp, kan kita ketemu juga jarang.” pertanyaanku menambah ketidaknyamanan Rani semakin bertambah. “Ya udah mending kayak gitu aja, kalo memang jarang komunikasi buat kita ga nyaman.” terdengar tinggi nada itu, membuat kami, dua orang keras kepala ini saling menegang tak mau mengalah. “Lu aja kan yang ga nyaman. Memang mau lost contact. Udah ada temen baru sekarang gitu lu!” sama-sama tak terkendali emosi, akhirnya Rani pergi tanpa kata terakhir. Aku yang waktu itu dikuasai emosi pun, tak peduli.
Aku mengira, sehabis malam kejadian itu, kami akan berbaikan esok hari. Bercerita tentang hari seperti biasanya terjadi. Ternyata tidak. Sangat menyesal, sangat-sangat menyakiti hatiku sendiri. Namun kulihat seperti hanya aku yang kehilangan, sehingga aku merasa hancur dan akhirnya seperti orang depresi yang masih melanjutkan hari. Tanpa kuselesaikan permasalahan hati sendiri.
“Hai Maheza, salam kenal aku Sasel. Iya, aku temannya Rani. Kurasa kamu sangatlah dewasa untuk menyelesaikan masalah ini semua. Jadi, kumohon untuk datang ke cafe dekat kampus kamu, esok jam 2. Hanya untuk mendengarkan sebentar apa yang ingin kukatakan. Sangat kuharap esok bisa bertemu, terima kasih.” kubaca dalam hati pesan yang baru kubuka siang ini. Masih 10 menit lagi, kuselesaikan catatan terkait kelas siang ini, lalu bergegas menemui teman Rani yang kuanggap menggantikan posisiku saat ini.
“Makasih Maheza, sudah datang.” “Panggil Za aja.” jawabku agar tidak terlalu panjang.
“Kamu pasti sudah mengerti tujuan pertemuan ini. Tentang Rani, aku mungkin sering bersama dengannya, tapi mungkin kamu harus tau dan percaya bahwa aku ga sedekat itu sama dia. Ga sedekat hubungan kamu dengannya.” kalimat awal Sasel sedikit mengejutkanku. Ternyata dia tidak banyak basa-basi. Yang kurasa niat dia baik membicarakan ini.
“Rani memang lagi sibuk-sibuknya sih 3 bulan ini. Iya, sejak awal permasalahan kalian. Dia jadi lebih individualis mungkin ya, karena memang hanya orang yang bertemu langsung sama dia yang diajak komunikasi dan untuk hal penting sih. Media sosialnya juga ga terlalu aktif, cuman dipakai untuk kegiatan. Bisa dibilang fase sibuk-sibuknya. Dan fase itu kalian jalani mungkin di waktu yang berbarengan. So, jadi gitu akhirnya.” “Iya ngerti kok.” entahlah aku hanya datar menjawab dengan singkat.
“Maheza!, gimana ya. Rani itu sempat cerita tentang kamu sebelum kalian lost contact ini. Sebelum bener-bener berantem. Jadi dari yang aku tentang kamu, dalam hal ini hati kamu belum sepenuhnya nerima mungkin, atau belum mau beradaptasi sama keadaan. Setau aku Maheza yang Rani kenal adalah perempuan periang yang nerima takdir dan ngejalaninya.” Kali ini kalimat Sasel yang sedikit menuntut aku harus nerima semua, membuat feel tersendiri. Aku masih diam berfikir, Sasel pun sepertinya mengerti.
“Baiklah, mungkin aku udah selesai nyampaikan isi hati. Oh ya, satu. Kamu itu Maheza yang percaya takdir Allah, dan mungkin ini pembelajaran arti ikhlas buat kamu Za.” Sasel menutup pertemuan itu dengan kalimat yang berterbangan di pikiran ku, dan pamit pergi.
Kali ini, pertemuan dengan senja di sore hari sedikit berbeda. Setelah beberapa jam tadi aku dibuat berpikir akan hal yang dulunya aku lakukan. Yang biasanya dihadapan banyak masalah, aku bermonolog bahwa, “ini takdir Allah, yakin kamu bisa jalanin Maheza!.”
Dihadapan senja kali ini, aku menarik nafas panjang bersamaan memikirkan kesakitan akan hal kehilangan sosok makhluk tuhan. Beberapa saat, lalu kulepaskan semua, udara dan kesakitan itu. Semuanya. Dan kembali bermonolog, “Yaa Allah, ada hal indah yang kau berikan. Kehilangan sahabat namun mendapat arti penting yang tersirat.”
“Lia, sekarang aku tau. Ternyata ikhlas walaupun butuh proses dan waktu, itu semua indah. Buat hati nyamaann banget. Atmosfer sekililing kita jadi damai, udara tenang, dan seperti, semesta memeluk raga kita. Dan mengatakan, lepaskan semua yang bukan untukmu.” “MASYAA ALLAH. ALLAHU AKBAR, ALHAMDULILLAH. Temen gua normal lagi yaa Allah. Hahaha” histeris Lia disertai tawa.
Nanti saat masa menghancurkan kedekatan, dan menciptakan keasingan. Kamu harus kuat dan bersiap-siap. Karena yang berharga akan kamu tahu harganya saat sudah menghilang.
Cerpen Karangan: Nasywa Nur Azizah Blog: nasywanurazizah.blogspot.com Hai semua! Aku biasa dipanggil Nasywa. Apabila teman-teman ingin memberi kritik, saran, berbagi pengalaman, dan berkenalan dapat menghubungi email nasywanurazizah071106[-at-]gmail.com atau lebih mudah kunjungi instragamku @nasy_a_31. Terima Kasih.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com