“Siapa yang tak suka, siapa yang ingin melupa. Bersorak riya bersama teman sebaya. Siapa yang tak suka, siapa yang tak rindu.” “Tapi ada yang tak suka. Seorang gadis kecil yang membenci ramai. Ia sendiri sebatang kara. Tak ada teman sebaya, tak ada kawan sepermainan.”
Hallo, aku afi, aku adalah seorang gadis biasa. Puput adalah namaku di rumah, sedangkan di sekolah afi lah namaku. Aku lahir pada tanggal 09 April 2004. Aku tinggal di sebuah desa terpencil di sebut desa kebutuh. Oiya, aku anak terakhir dari dua bersaudara. Saudara perempuanku yang pertama sudah meninggal, sekarang hanya ada saudara perempuanku yang kedua. Kakakku yang kedua bernama khanifah, namun biasa dipanggil novi. Perihal kepribadianku, sebenarnya selalu berubah-ubah dari mulai SD, SMP, sampai SMK.
Mulai dari masa putih merah, waktu SD aku dikenal tomboi karena sering bermain dengan anak lelaki. Di sisi lain, aku juga terkenal polos, pendiam, dan penurut.
Lanjut ke masa putih biru, dimana masa tersebut yang paling aku tidak sukai karena disitu kepribadianku bener bener nggak banget. Dari awal masuk SMP, aku dikenal pendiem, cupu dan pendek, tetapi semua itu tertolong oleh otakku yang kapasitasnya lumayan gede.
Hari itu pun tiba, suara lantunan azan subuh berkumandang sangat nyaring di telingaku. Lampu yang terang membuatku terbangun dari mimpi indahku. Aku, gadis dengan seribu pribadi yang kehilangan kepribadian di gedung sekolah bersimbol adiwiyata. “Put, bangun, ayo sholat subuh!.” Ucap wanita terhebat di dunia. Seperti biasanya, aku langsung sholat subuh kemudian bersiap siap pergi ke sekolah.
Singkat cerita, aku sudah beranjak di tingkatan kelas paling akhir di SMP yaitu kelas 9. Pagi itu, aku akrab dengan seorang teman bernama nisa. Setelah pulang sekolah, aku berniat membayar iuran untuk membeli baju kelas. Aku berniat membayar iuran itu ke nisa, “Nis, aku mau bayar iuran kelas.” Ucapku ketika bertemu dengannya di jalan. “Jangan ke aku fi, ke pungki aja.” dia menolak. “Iya nis, tapi aku tidak tau dimana rumahnya.” Ucapku. “Yaudah ayo aku tunjukin jalannya.” Ucapnya yang ingin membantuku.
Kemudian kami bergegas bersama ke rumah pungki (seorang bendahara kelas). Setelah membayarnya, aku pun mengantar seorang nisa pulang. Kami melewati rumahku. “Kapan kapan main ke rumahku ya nis,” Ucapku. “Iya fi, besok yah, aku janji.” Ucap nisa. Aku mengantarnya pulang sampai ke rumah dan pamit bergegas pulang.
Keesokkan harinya, aku menagih janji yang telah diucapkannya di pesan singkat. “Nis, main sini! Katanya mau main.” Ucapku. “Iya fi, maaf aku ngga bisa main hari ini,” Balasnya. Aku kecewa, kemudian tidak sengaja terlontarkan perkataan yang tidak mengenakkan kepadanya. Dan dia pun membalasnya dengan perkataan yang kasar juga. Kita berdebat di sebuah pesan singkat.
Esoknya di sekolah, aku dikelilingi oleh semua teman teman nisa yang sangat banyak itu. Aku dicaci maki, Aku dibully. Saat itu, aku sangat takut, aku tidak berani melawan karena mereka sangat banyak. Setiap hari di sekolah, aku dipermalukan. Salah satu teman nisa, sebut saja riska. Ia adalah orang yang paling aku benci saat itu. Dia melontarkan kata yang begitu kasar, yang paling membuatku sakit hati. Ia memakiku, “Dasar! Muka kaya pembantu”. Ucapnya dengan lantang dan didengar oleh seisi sekolah. “Dasar anak seorang petani.” Sahut seorang mantan sahabat dekatku di SD, yang sudah lama berubah karena pergaulan itu.
Shitt! Aku tidak bisa apa apa, aku kehilangan teman, aku tidak bisa melawannya, aku memendamnya sendirian, aku sakit hati, namun aku tidak berani melaporkannya ke guru BK ataupun yang lain. Aku tidak ingin orangtua kita semua dipanggil. Aku tidak ingin bertambah masalah lagi. Aku tidak ingin membuat mereka masuk ke dalam permasalahan ini.
Aku berusaha melewati hari demi hari dengan sabar, dengan kata kata itu yang selalu bergema di telingaku. Aku tidak berani menceritakannya kepada keluarga maupun saudara. Aku takut mereka sakit hati. Aku terus memendamnya sampai tiba masanya perpisahan kelas 9. Aku sangat lega, akhirnya aku lulus. Akhirnya aku berpisah dengan anak anak itu, dengan monster monster itu. Namun, kejadian itu membuatku menjadi anak yang kehilangan kepercayaan dirinya, menjadi anak yang sulit berinteraksi dengan orang baru, menjadi anak yang kalau tidak disapa terlebih dahulu, ya tidak akan menyapa begitu saja sampai kapanpun.
Kalian tahu? sampai saat ini, aku masih belum bisa melupakannya, aku masih merasakan kesedihan yang begitu mendalam, aku masih memendamnya, aku masih belum berani bercerita kepada orang orang di sekitarku, aku masih belum bisa percaya. Masih ada luka yang membekas begitu dalam. Oh Tuhan, aku sangat ingin keluar dari rasa sakit ini. Aku ingin sembuh dari luka ini.
Cerpen Karangan: Anasya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com