Suara decitan ban mobil yang direm mendadak disusul suara benturan hebat, terdengar begitu keras di indra pendengaranku. Kulihat sepedaku sudah hancur dan terlempar sampai ke pinggir jalan. Ah, sial! sepertinya aku terserempet mobil. Detik berikutnya aku bernapas lega saat kuketahui diriku tak terluka dan juga tak merasa kesakitan. Syukurlah, sepertinya aku baik-baik saja.
Kulihat orang-orang ramai mengerumuniku, mereka berdesak-desakan dan menatapku dengan tatapan aneh. Ada apa dengan mereka? Oh tidak! Aku terlambat ke sekolah. Padahal hari ini adalah jadwal presentasiku untuk pengambilan nilai Bahasa Indonesia.
Aku buru-buru keluar dari kerumunan orang-orang itu dan mengambil langkah cepat menuju sekolah karena sudah tak mungkin lagi jika aku memakai sepedaku yang sudah tak berbentuk itu. Kenapa pula sepedaku bisa separah itu padahal aku tak apa-apa? Sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus sampai ke sekolah dengan cepat.
Kini Jarak antara posisiku saat ini dan SMP JAYA BAKTI masih sekitar 500 meter lagi. Kupercepat langkahku menapaki trotoar dengan cemas, semoga saja masih sempat. Wajah pak Jaka, guru Bahasa Indonesia yang killer itu menghantui kepalaku, pasti nanti dia akan mengomeliku panjang lebar karena terlambat.
Akhirnya, setelah sekian menit aku berhasil menginjakkan kaki di halaman sekolah. Aku langsung berlari sekuat tenaga menuju ruang kelasku. Entah mengapa lelah tak kurasakan lagi, mungkin karena pikiranku digerogoti rasa cemas dan takut tak diizinkan masuk ke kelas.
Setiba di kelas, aku malah menemukan suasana yang jauh dari perkiraanku sebelumnya. Kupikir teman-temanku tengah mempresentasikan tugas mereka satu persatu di depan kelas. Namun, apa ini? Apa yang terjadi? Tampak teman-temanku membereskan barang-barang mereka dan menggendong tas masing-masing seolah mereka semua hendak pulang ke rumah. Kulihat pula Ibu Rina, wali kelasku tengah berbincang serius dengan Pak Jaka di sana. Dan lihatlah raut wajah mereka semua, mengapa mereka tampak bersedih? Bahkan ada dari mereka yang menangis tersedu-sedu, ada pula yang bermata sembab dan merah.
“Hey, ada apa ini? Kalian mau ke mana?” Tanyaku pada teman-teman di ruang kelas itu. Namun tak ada yang menjawabku sama sekali. Aku kemudian menghampiri Neira, teman sebangkuku. “Nei, ini ada apa sih?” tanyaku pada Neira. Sama saja, Neira pun tak menjawabku. Tatapannya kosong, bulir air mata bercucuran di pipinya.
Neira kemudian berlalu meninggalkanku bersama beberapa teman-teman lainnya berjalan keluar kelas. Satu persatu orang-orang di dalam ruang kelas ini keluar meninggalkanku dengan sejuta tanda tanya. Di sini hanya tersisa aku dan seorang teman sekelasku, Bima. Aku coba menghampirinya harap-harap ia mau meresponku dan memberikan jawaban atas semua kebingungan ini.
“Bima,” panggilku. Bima berbalik dan menatapku dengan tatapan terkejut. “Arin?” ucapnya, menyebut namaku. “Bim, ini ada apa? Mereka semua pada mau ke mana? Dan kenapa mereka semua keliatan sedih?” tanyaku beruntun pada Bima. Namun Bima hanya diam dengan raut wajah yang masih terkejut.
“Bim, kamu kenapa sih? Kayak liat hantu tau gak?” Kataku lagi. Ah, apa jangan-jangan Bima memang sedang melihat hantu? Dia kan punya indra ke-enam. Aku jadi merinding mengingat kala ia menceritakan pengalaman-pengalaman mistisnya saat berinteraksi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata itu.
“A-arin,” hanya itu yang keluar dari mulut Bima. Perlahan raut wajahnya berubah. Lelaki itu mencoba tersenyum kepadaaku meski tatapannya tak bisa berbohong, binar matanya meredup mengisyaratkan sebuah kesedihan yang mendalam. “Bim, ada apa?” “Kami ingin ke rumahmu Rin,” jawabnya. Sebuah jawaban yang membuatku semakin bingung. “Hah? Ngapain ke rumahku?” “Sepertinya… kamu belum menyadarinya.” “Menyadari apa Bima?”
Bima kemudian menyodorkan handphonenya kearahku. Di layar handphone milik Bima tampak sebuah berita yang menampilkan foto seorang siswi berseragam putih-biru tergeletak di jalan raya dengan darah yang berucuran di beberapa bagian tubuhnya. Wajahnya tak nampak karena kepalanya tertutupi oleh koran. Di judul berita itu tertulis “SEORANG SISWI MENENGAH PERTAMA TEWAS TERLINDAS TRUK”.
Kembali kuperhatikan foto korban tersebut, dia sangat tidak asing. Sepertinya aku mengenalinya, aku mengenali semua yang ia kenakan. Oh, ada papan nama yang melekat di seragam sekolah korban kecelakaan naas itu. Aku mencoba membaca nama yang tertulis di sana, namanya adalah “ARINDA”. Tunggu… itu kan namaku.
“Bim, j-jadi aku sudah….” Ucapku menatap Bima. Aku merasa sesak ingin menangis, namun air mataku tak dapat keluar. “Iya Rin. Kami ingin ke rumahmu. Ke rumah duka,” ucap Bima.
-END-
Cerpen Karangan: Nurul Hikma Saharani Blog / Facebook: Nurul Hikma Saharani Penulis adalah salah satu mahasiswi Universitas Hasanuddin Jurusan agroteknologi. Jejaknya bisa ditemukan di instagram @nurulhikmasaharani_
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com