Bohlam raksasa berpijar dengan sangat panasnya siang itu. Ubun-ubun terasa mendidih bagaikan disiram oleh air timah neraka. Tanah tidak mengeluarkan aroma wangi melainkan aroma busuk neraka. Pria setengah baya itu turun dari mushalla yang masih satu komplek dengan pesantren. Baru saja ia memimpin shalat berjamaah untuk menggantikan Pak Kiai yang lagi uzur karena harus melakukan safari Ramadhan ke daerah pemilihannya.
Setibanya di kamar asrama putra, salah seorang murid MTs tampak kebingungan seolah sedang mencari sesuatu miliknya yang paling berharga. Pemuda itu mencarinya dari kamar ke kamar seperti seorang kekasih mencari kekasihnya yang hilang ditelan bumi. Saat pria tadi mendekatinya ia bertanya pada pemuda itu.
“Kamu sedang mencari apa, Vid?” Pria itu bertanya dengan melepaskan sandalnya. “Hp saya hilang, Kang!” Jawab pemuda itu memasang wajah panik. “Hilang?!” Pria itu mengernyitkan dahinya. “Bukannya tadi kamu meletakkan hp-mu di bawah bantal yang berada di dalam kamarnya Ilyas?” “Iya. Mas kan tahu sendiri tadi kalau saya menyembunyikan hp di bawah bantal,” kata pemuda berperawakan tinggi itu membenarkan. “Sudah kamu cari di sana?” “Sudah, tapi tidak ada, Mas,” jawab pemuda itu panik.
Ada lima orang santri yang duduk-duduk di atas karpet yang digelar di kamar santri yang bernama Ilyas. Bahkan sebagian dari mereka ada pula yang sedang merokok. Dari wajahnya saja mereka tampak santai seolah tidak terjadi kehilangan apa pun. Ada pula yang sedang mengobrol seakan-akan menyembunyikan sesuatu. Pria bernama Dulmajid itu masuk ke dalam kamar Ilyas.
“Cari apa, Mas?” tanya salah seorang dari mereka berlima dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. “Kamu tampak hp milik David?” Pria itu bertanya dengan menyambar bantal butut tanpa sarung bantal itu. Namun, hp yang dimaksud benar-benar tidak ada. Ke mana hp itu hilang? Apakah hp itu ajaib sehingga bisa menghilang sendiri? “Tidak, Mas. Sejak tadi di sini tidak ada hp,” jawab santri yang tadi.
Lalu, pemuda jangkung bernama David itu menjelaskan kepada teman-temannya bahwa tadi, sebelum dirinya shalat Zhuhur berjamaah, ia menyimpan hp miliknya di bawah bantal busuk itu. Tadi, di dalam kamar hanya ada dirinya, Dulmajid, Ilyas, Sumaji dan Indra.
“Kalian tahu, di sini pesantren?! Tidak seharusnya salah satu di antara kalian mencuri,” kata Dulmajid dengan tegas. “Percuma kalian mempelajari ilmu yang mengharamkan perbuatan mencuri tapi kalian sendiri masih mencuri. Sebagai seorang santri, kalian semestinya mencontohkan sikap jujur yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.” Mendengar ocehan Dulmajid, santri yang bernama Ilyas tampak marah. Ia bangkit dan hampir saja mencengkeram kerah baju pria yang selama ini menjabat sebagai Lurah Pondok itu. Namun Dulmajid yang hendak diserang sudah bersiap-siap menjotos pipinya. “Di sini tidak ada yang mencuri hp, Mas! Sampeyan jangan berbuat semena-mena dengan menuduh bahwa kamilah pencurinya!” Kata Ilyas dengan mata melotot. Giginya bergemeretak. “Baik, jika salah seorang dari kalian tidak mau mengaku, kita lihat saja nanti. Ingatlah, kejujuran akan mendatangkan kebajikan, dan kebohongan akan mendatangkan keburukan. Pepatah Jawa mengatakan, becik ketithik, olo kethoro,” kata pria itu menukas. Lalu ia pergi menuju kamar pribadinya.
Pemuda itu amat sedih dengan kondisi santri-santrinya. Padahal ia telah diberi wewenang oleh Pak Kiai untuk mengurus pesantren kecil itu dan para santrinya. Bu Nyai juga telah berpesan padanya agar melaporkan segala bentuk macam pelanggaran yang dilakukan oleh para santri. Baik santri putra maupun santri putri. Dua hari yang lalu, dia mendapati salah seorang santri putri tengah berpacaran di dalam kamar mandi asrama putri. Tanpa segan-segan, ia mendatangi pasangan yang berbuat mes*m di pesantren itu. Ternyata, santri putri yang sedang berpacaran itu adalah gadis yang membuatnya jatuh hati. Namanya adalah Siti Alifah. Mengetahui Dulmajid yang bertindak, si pria lari tunggal-langgang. Sedangkan Alifah merasa malu. Dengan sikap Dulmajid yang tegas dan tidak pandang bulu, telah membuatnya tidak disukai oleh sebagian santri yang menginginkan kebebasan.
Malam harinya, Dulmajid mengajar para santri di musalla putra. Ada dua belas santri di kelasnya. Enam santri putra, dan enam santri putri. Saat itu, Dulmajid menjelaskan tentang perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Pada asalnya, semua jenis makanan adalah halal. Tidak ada yang diharamkan kecuali makanan yang berbahaya buat kesehatan manusia. Makanan yang halal bisa menjadi haram kalau didapatkan dari perbuatan yang tidak dibenarkan. Namun semua makanan menjadi halal jika manusia sudah tahu segala konsekuensinya jika nekat dilakukan.
“Manusia berbuat nekat karena manusia tidak mengenal Tuhan. Kaum muslimin hanya yakin dari apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Jika kaum muslimin benar-benar yakin hakkul yakin, maka mereka tidak akan melakukan sebuah pencurian. Seperti seorang kiai yang menjadi walikota maupun bupati, atau seorang santri yang menjadi menteri, tapi mereka tetap nekat melakukan korupsi, bukan karena ia tidak tahu hukum mencuri. Mereka tahu hadits dan ayatnya. Tapi kenapa masih mencuri? Karena mereka belum mengenal Tuhan. Tujuan dari semua kitab, Kitab Zabur, Kitab Taurat, Kitab Injil, Kitab Tri Pitaka, Kitab Veda, dan Kitab Al-Qur’an, adalah pedoman agar manusia menemukan Tuhan. Kalau manusia sudah mengenal Tuhan, meski mereka bukan santri di pesantren, maka mereka tidak akan melakukan dosa,” kata Dulmajid menjelaskan.
“Kang! Kang! Kang Dulmajid!” Salah seorang santri masuk ke dalam musalla dan mendekati Dulmajid seraya memanggilnya. Wajahnya dibungkus kepanikan. “Ada apa?” Dulmajid bertanya menghentikan pelajarannya. “Hp-nya David, Kang!” “Hp-nya David?” “Iya. Ada di lemarinya Indra,” katanya.
Saat itu juga, santri yang bernama Indra disidang di hadapan Pak Kiai dan Bu Nyai. Pemuda gempal itu hanya bisa menunduk. Wajahnya dibanjiri dengan keringat dingin. Kedua kakinya gemetar seperti pohon akasia di tengah musim dingin. Dulmajid duduk di sebelahnya dengan bersila. Kepalanya menunduk. “Kronologinya bagaimana, Dul?” tanya Bu Nyai pada Dulmajid. “Begini, Bu Nyai.” Lalu Dulmajid bercerita dengan detail.
—
Pagi tadi, siswa MTs hendak berlatih rebana untuk persiapan lomba rebana se-kota. Mereka akan berlomba dengan seluruh MTs se-kota untuk memperebutkan kejuaraan, yang nantinya akan dikirim ke lomba tingkat provinsi. Salah dari siswa yang ikut adalah David. David yang akrab dengan anak-anak santri masuk ke dalam kamarnya Ilyas. Di dalam kamar saat itu ada Ilyas, Dulmajid, Indra, dan dua santri yang lain. Mereka bahkan mengobrol sambil menikmati kue kiriman orangtua Indra.
“Rencananya kapan lombanya dilaksanakan?” Dulmajid mengambil roti goreng. “Dua minggu lagi, Kang,” jawab Devid. “Apakah kalian sudah siap?” “Makanya Gus Agil meminta kami agar latihan.” Dulmajid manggut-manggut.
Setelah sarapan dengan kue, Dulmajid menemani anak-anak santri yang berlatih rebana dan vokal. Mereka berlatih di kelas asrama putri. Anak-anak santri tampak bersemangat sekali berlatih. Apalagi vokalisnya memiliki suara yang merdu seperti penyanyi nasyid dari Mesir itu. Selama dua jam mereka berlatih di sana. Tak lama kemudian, datang seorang gadis muda yang mengenakan kerudung warna merah. Namanya Siti Alifah.
“Kang, dipanggil Alifah,” kata Devid pada Dulmajid. Lalu Dulmajid datang menghampiri gadis manis itu. Sebenarnya, keduanya dijodohkan oleh Pak Kiai. Dan tak lama lagi mereka berdua akan dinikahkan di pesantren. Namun Alifah yang masih berusia 17 tahun mengatakan masih belum siap. Meski hatinya memang menyukai Dulmajid.
Saat itu Alifah memberikan sesuatu pada Dulmajid. Nasi rantang. “Ini dari siapa?” Tanya Dulmajid menerima rantang nasi. “Dari ibunya Ana.” Gadis itu mengulum senyum. “Lho kok dikasihkan ke aku?” “Sama Ana disuruh kasih ke sampeyan. Ketimbang tidak dimakan, kan mubazir?” katanya lembut. “Baiklah.” Dulmajid membawa rantang nasi. Anak santri yang melihat dua sejoli itu bersuit-suit menggoda. Lalu, Dulmajid kembali menghampiri anak-anak santri yang sedang berlatih rebana itu. Namun sepasang mata menatap mereka berdua dengan pandangan tidak suka.
Setelah berlatih selama dua jam, mereka kembali ke kamar asrama. David tiduran di kamar Ilyas. Lalu ia menyalakan hp android-nya dan main game. “Dibelikan siapa hp itu, Le?” tanya Dulmajid. “Aku sendiri, Mas. Setiap hari, uang sakuku ditabung sendiri. Kalau sudah cukup buat beli hp, aku belikan hp,” katanya menjelaskan. “Hemat juga kamu,” ujar Dulmajid. “Namanya kepingin, Mas.”
Selama ini, ada dua santri yang memiliki tabiat buruk di pesantren. Mereka berdua adalah Indra dan Ilyas. Pak Kiai pernah bercerita kepada Dulmajid bahwa Ilyas sudah sering mencuri mangga dan sawo yang berada di kebun milik pesantren. Pernah suatu malam, Ilyas mencuri ayam milik tetangga.
“Kenapa bisa mencuri, Pak Kiai? Kan ia masih memiliki orangtua?” “Karena hidup keluarganya di desa sangat miskin. Uang kiriman sering terlambat,” kata Pak Kiai menjawab. “Jadi tugasmu adalah mengawasi kedua santri ini.”
Tak lama kemudian, kumandang azan dari musalla pesantren terdengar. Para santri bersiap-siap untuk melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah. Dulmajid yang telah ditugasi untuk menggantikan Pak Kiai pun bersiap-siap. Saat itu, David menyembunyikan hp-nya di bawah bantal busuk itu. Di saat yang hampir bersamaan, sepasang mata menangkap hp itu. Lalu Dulmajid keluar dari dalam kamar. Ketika pemilik hp keluar, sebuah tangan menyibak bantal dan menyambar hp itu.
“Kami tidak tahu, siapa pencuri hp itu, Pak Kiai,” kata Dulmajid. “Tapi barusan saya mendapat informasi kalau hp milik David ada di dalam lemarinya Indra.” “Benar, kamu yang telah mencuri hp milik David, Indra?!” tanya Pak Kiai tegas. “Jawab, Indra!” bentak Bu Nyai. “Jawab, Indra.” Pak Kiai menatap wajah Indra yang menunduk. “Kenapa kamu tidak menjawab Indra. Bilang siapa yang telah mencurinya? Apakah kamu disuruh?” “Bukan saya pencurinya, Pak Kiai,” jawab Indra dengan takut. “Lalu siapa?” “Ilyas, Bu Nyai.” “Ilyas?!” Bu Nyai melotot. “Panggil Ilyas!”
Setelah itu Ilyas datang menghadap ke hadapan Pak Kiai. Sesuai dengan peraturan yang berlaku di pesantren, Ilyas dijatuhi hukuman gundul. Namun meskipun pelaku pencurian sudah tertangkap basah, setelah kejadian itu, pencurian terhadap barang-barang milik santri masih sering dijarah. Dulmajid yang sampai saat ini memangku jabatan sebagai lurah pondok sampai kewalahan dalam mengatasi pencurian yang terjadi di pesantren.
“Memang, memimpin sebuah pesantren dalam menjalankan sebuah amanat tidak semulus jalan kenangan,” katanya membatin. Daun-daun pohon mangga kering berjatuhan seakan-akan menjawab segala keresahan yang dialami oleh pria itu. []
Selesai
Kota Pengasingan, Februari 2022 Novelis/Authhor.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com