Satu hal yang belum sempat kutanyakan padamu. “Bagaimana jika aku merindu?”
Iya, kau datang padaku. Akhirnya setelah sekian lama aku menantimu kembali. Kau kah itu? Penopang hatiku yang dulu hilang. Ah kurasa begitu, kau kembali untukku. Untuk mengobati rasa rinduku.
Pelukmu sungguh penawar bagiku. Telah lama ku rindu aroma ini.
“aku ingin membawamu ke sebuah tempat, yang kuharap kau menyukainya.” Bisikmu menyibak rambut telingaku. “apapun itu, jika bersamamu, aku menyukainya.” Kemudian kau pasangkan dua sayap pada bahuku. Kembali kau ajarkanku cara tuk terbang. Lambaian dan kepakan sayapmu seakan memanggil menyuruhku untuk mengejarmu yang terlampau tinggi dariku.
Jatuh!!! Yah, aku terjatuh, Kau bangkitkan kembali tubuh ini. Hingga aku berhasil mensejajarimu.
“lihatlah itu!, cantik bukan?!. Dia bersinar seperti dirimu!.” Tiba kini di suatu tempat yang entah dimana keberadaannya. Sebuah tempat yang membuatku merasakan nyaman dan kesejukan. Lalu tampak purnama begitu indah. “kau menyukainya?” Tanyamu membuyarkan lamunanku. “aku sangat menyukainya!”.
Buuummm!!!! “HEIII ADA APA INI?!! GEMPAA BUMIIII!!! MENGAPA SEMUA TERLIHAT GELAP?! APA YANG TERJADI?”
Clinggg!! “lihat! Sudah terang bukan?, aku memetiknya untukmu. Kau suka?”. Ucapmu manis. “apa yang kau lakukan?” tanyaku heran. “tenang saja! Aku tidak mengambil semuanya. Hanya kupetik sepermpat dari rembulan. Kuharap itu cukup untukmu” lalu kulihat tampak rembulan kembali muncul. Meski tak lagi sempurna. “aku menyayangimu! Jangan lagi pergi!!” kueratkan pelukanku. Hingga kau balas dengan dekapan. “simpan ini baik-baik!”. Entah dari mana kau dapatkan kantong tersebut. “sudah saatnya aku pulang.” Ucapmu singkat kemudian bergegas. “kau mau kemana?”. tak menjawab pertanyaanku kau pergi begitu saja. Pergimu begitu cepat. Bahkan bayangmu pun sudah tak terlihat.
KRAAKKK!!. Tiba-tiba kau sudah berada tepat di belakangku. Kau mencabut paksa sayap yang sebelumnya kau pasang untukku. Wajah syahdu itu seketika menjadi bengis. Tentu saja aku meringis kesakitan. Kulihat deras sudah darah segar mengalir dari dua bahuku. Kutadahi dan sebisa mungkin kusumbat agar tak banyak darah yang keluar sia-sia. Lagi-lagi kau pergi, dan kini membawa kedua sayap yang tadinya kumiliki.
Tersungkur jatuh, tak berdaya. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Namun nihil, bahkan sekedar suara pun aku tak mampu mengeluarkannya. Tak ada yang akan mendengar tangisanku. Dan aku berpikir disinilah hidupku kan berakhir. Di tempat yang aku sendiripun tak mengenalinya. Pandanganku meredup. Meski terlihat buram, aku masih dapat melihat seseorang mendekat kepadaku.
“Aku tahu.. hikss… kau tak kan tega melihatku seperti ini. Hiikss.. kau tak kan tega mendengar rintihanku.” Meski dengan keadaan tersungkur, sekuat mungkin kukeluarkan tenagaku untuk berbicara. Beberapa tetes air matamu ikut melebur dengan air mataku. Yah, aku tahu itu, kau mulai memeluku, mencium keningku, kemudian ikut menangis bersamaku.
“Heii, aku tak apa.. hanya kurasakan sedikit perih di kedua bahuku, yah hanya sedikit, kau laki-laki jangan ikut menangis, harusnya kau kuatkan aku”.
Meski kulihat perawakanmu telah berubah. Sesaat kau seperti iblis yang menangis. Benar-benar aku sudah tak mengenalimu. Sesaat kau seperti manusia yang sangat menakutkan bagiku. Meski ragu, aku tetap meyakinkan diriku, bahwa kau kembali untuk mengulurkan kembali tanganmu. Kini kau menggendongku. Membawaku terbang. Hingga aku merasakan sudah berada jauh dari pijakan kaki. Aku pun mulai merasakan kenyamanan dan,
Bruugg!!! Gelap!! Semua tampak gelap tapi aku masih merasakan kesadaranku.
“maaf, aku tidak bisa membawamu pergi bersamaku”. Lalu kau seakan lenyap begitu saja. Ada apa ini? Bukankah baru saja dia membalas rinduku?. Kau pergi. Dan benar-benar pergi. Kupejamkan mata beberapa saat. Dan berharap saat membuka mata, kau kembali. Nyatanya, kau benar-benar tak kembali.
Aahh sudah tak apa, setidaknya aku masih punya penawar rindu, seperempat rembulan yang dia tinggalkan. Dengan sisa tenaga yang ada. Kucoba merogoh sakuku. Lalu kuambil sebuah kantong plastik. Kubuka kantong plastik tersebut. Tunggu!!
“kau tak kan pernah berhak mendapat sekecil apapun dariku”. Suara itu sangat jelas menggema di telingaku. Kulihat sebagian tubuhku mulai membiru. Yah, kedatangan, serta kepergianmu tadi berhasil melumpuhkan separuh organ tubuhku. Aku terpaku, terkunci dalam suatu tempat. Sebagian tubuhku benar-benar beku, hingga melumpuhkanku.
Cerpen Karangan: Ayu Fauziah Blog / Facebook: ayu fauziah nama: Ayu fauziah A.P kelahiran: Bangkalan, Madura. status: Mahasiswa UIN semarang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com