Aku pernah bodoh. Ya, siapa yang tidak? Aku rasa semua orang pernah menjadi bodoh dan bertindak bodoh, terutama saat hal itu menyangkut soal hati dan perasaan. Seperti apa yang aku lakukan saat ini, tak peduli dengan wajah pucat dan tubuh yang gemetar kedinginan karena terpaan hujan, aku tetap saja menerobos pasukan air yang tengah jatuh memberondong bumi tanpa celah. Tak terbersit ide untuk berhenti, meski air hujan menghantam dengan keras. Butir air besar dan terpaan angin kencang membuat hujan ini bagai sebilah pisau tajam saat terbanting di atas permukaan kulit tangan dan wajah. Stasiun kota hanya berjarak 300 m lagi dan masa bodoh dengan kumpulan air yang terus jatuh memberondong bumi, toh sudah kepalang basah.
Kularikan tubuhku secepat mungkin menuju lobi stasiun setelah rampung kuamankan motorku di area parkir. Ya, dan kalian sudah pasti bisa menduga dengan sebagian besar area tubuhku yang sudah kuyup di sana sini, aku terlihat konyol. Tapi aku tak peduli apa yang dipikirkan orang saat mereka melihatku yang kuyup seperti itu, sebelum aku memasuki area lobi, kuhentikan kakiku di teras stasiun, mencoba meluruhkan semua genangan yang terlanjur meresap ke dalam jaket, kemeja dan celanaku. Dengan cepat tanganku segera merogoh ke dalam saku celana, berharap handphoneku tak ikut tergenang dalam air yang meresap ke pori-pori celanaku.
“Syukurlah…” gumamku lirih saat mendapati handphoneku masih kering tanpa cipratan air sedikitpun.
Ternyata celana ini benar celana mahal, sesuai dengan kata Chris saat dia memberikannya padaku sebagai oleh-oleh dari Australia. Aku pikir hanya hoax saja saat dia bilang celana ini celana anti air, ya meskipun tak semuanya benar, setidaknya area saku celana ini memang anti air, hahaha.
Tanpa ba-bi-bu, aku mengecek handphoneku, barangkali ada pesan masuk atau telepon yang tak sempat kuangkat saat di perjalanan tadi. Namun, nihil. Tak ada notifikasi apapun. Kulempar padanganku pada jam gantung yang terinstal di langit-langit teras stasiun itu. Pukul 20.08. Aku bernafas lega. “Setidaknya aku belum terlambat” gumamku sembari melangkah ke dalam lobi stasiun.
Disambut kejam oleh hawa dingin dari AC di lobi stasiun itu, tak membuatku serta merta menghiaraukan rasa dingin yang dengan erat melekat pada tubuhku. Terus kulangkahkan kakiku, bukan ke arah loket tiket, bukan, melainkan ke barisan kursi yang terjejer rapi di sana. Kulempar pandanganku ke seluruh area tunggu, berusaha mencari seseorang yang menjadi alasanku kemari. Mataku terhenti pada sosok wanita berhijab yang duduk memunggungiku di barisan kursi tunggu itu dan seketika kakiku melangkah menuju dia. Ya, dia wanita yang menjadi alasanku berkuyup ria malam ini.
Belum sempat kulemparkan sapaan padamu, kakiku seketika kaku saat seorang pria asing berambut rapi klimis menghampirimu sembari menyodorkan cup berisi kopi susu panas kesukaanmu, lalu duduk di sampingmu. Perlahan, kudekati kalian, dalam otakku sempat terbersit untuk terus melangkah dan berdiri di hadapanmu. Tapi langkahku terhenti, hanya terpisah satu barisan kursi, aku masih berdiri dan mengamatimu yang tengah asyik larut dalam tawa dan canda bersama pria asing itu. Tiba-tiba semua pikiran itu sirna saat aku berhasil menangkap sinyal nyamanmu dan kedekatan yang hangat terpancar dari kalian berdua. Di keadaan seperti itu, aku hanya bisa terkekeh, menertawakan diriku sendiri yang lagi-lagi berhasil dijegal oleh ironi.
Alih-alih pergi, aku memutuskan untuk tetap menepati janjiku. Ya, aku masih benar-benar ingat kalau kau sendiri yang memintaku untuk menemanimu menunggu kereta yang akan kembali mengantarkanmu ke Jakarta. Dan aku dengan bodohnya mengiyakan permintaanmu yang aku tahu akan selalu seperti ini akhirnya. Ya, aku akan tetap menemanimu, tapi bukan sebagai sosok, melainkan sebagai bayanganmu, yang oleh sebab itu kuputuskan untuk duduk tepat di belakangmu. Di posisi ini membuat bisa mendengar jelas semua pembicaraanmu dengannya. Awalnya aku hanya berpikir kalau pria asing itu hanya sekedar temanmu yang kebetulan di sana, tapi memang ternyata kau tak hanya memintaku, melainkan juga memintanya untuk menemanimu. Dan sekali lagi, aku hanya bisa tersenyum mendengar perbincangan hangat kalian.
Dingin. Hanya itu yang kurasakan saat ini. Bukan hanya karena tubuh yang masih lembap terus menerus dihajar dingin AC, tapi juga dingin karena pengacuhan yang kau lakukan padaku. Aku yakin kau sadar ada aku di belakangmu, tapi entah mengapa, tak sedikitpun kau coba untuk menengokkan wajahmu ke arahku. Entah kau sudah terlalu nyaman dengannya atau memang kau enggan menoleh karena ada aku yang pastinya akan membuat situasi menjadi canggung. Ya, apapun alasannya, malam ini aku kembali bertemu dan didekap oleh rasa kecewa. Aku benar-benar merasa bodoh malam ini. Rasa bodoh itu begitu nampak saat otak kembali merewind semua memori tentang kau dan aku.
Tentang aku yang terjebak dalam paradigmaku, dan tentang kau yang selalu bergelut dengan rancu. Kita tak pernah cocok, meskipun kadang aku memaksakan diri untuk menjadi cocok untukmu. Dan kau tak pernah melihat semua pengorbanan yang telah aku lakukan untukmu. Seperti saat aku memberi semua apa yang aku punya hanya demi membuatmu tersenyum. Seperti saat aku selalu tertimpa sial saat aku melakukan semua apa yang kau minta. Karena, yah, aku terus menyembunyikannya darimu. Karena aku tak ingin kau tahu bagaimana rasanya menjadi aku yang terlalu lama memandang punggungmu dan tak pernah bisa menggapai hatimu. Kau tak akan paham dengan rasa yang aku rasakan, karena kau bukan aku. Sesimpel itu.
Malam itu, aku hanya menyimak sembari sesekali menyibukkan jari jemariku di atas layar handphone. Di balik kekecewaan yang sudah terlalu sering singgah ini, sampai-sampai aku lupa bagaimana rasa kecewa itu, aku hanya menunggu. Menunggumu membaca pesan singkat yang kutinggalkan di inboxmu. Namun sepertinya canda dan bincang hangat dengan sang pria asing itu membuatnmu lupa dan mengacuhkan handphone kesayanganmu itu. Sejujurnya, aku bisa saja dengan begitu mudahnya menepuk bahu dan menyapamu, tapi, hei, aku bukan laki-laki kejam yang akan tega merenggut kebahagiaanmu dan mengubahnya menjadi rasa tak nyaman, bukan?. Aku tak ingin kehadiranku justru menjadi mood breakermu. Jadi lebih baik aku kembali memilih jalan sunyi, menutup mulut dan diam.
Bukankah sudah kubilang, aku pernah bodoh?
Selang menit berlalu, detik tiap detik terbunuh hingga waktu menunjuk pukul 20.45. Tanpa sadar kereta malam jurusan Surabaya – Jakarta itu telah tiba. Kereta yang menjadi alasanmu untuk berlama-lama larut di kursi tunggu stasiun itu. Pria asing itu bangkit mendahuluimu dan dengan tangan cekatan meraih dan membawakan tas ransel yang selama 2 tahun selalu menemanimu. Sembari terus berbincang, kau pun beranjak menuju keretamu, tanpa menoleh sedikitpun, kau dan pria asing itu terus melangkah menjauh menuju peron. Aku hanya terpaku. Tak ada kata. Kursi tunggu stasiun itu menjadi saksi dimana aku melepas kepergianmu. kau yang terus berpura-pura tak tahu bahwa ada aku dibelakangmu, aku yang selalu melakukan apa yang kau minta. Kepergianmu yang meninggalkan rasa nelangsa saat kau lebih memilih melambaikan tangan perpisahan padanya, bukan padaku.
Sekali lagi, aku hanya bisa melihat punggungmu dari kejauhan yang kemudian menghilang saat kau mulai memasuki peron dan aku hanya bisa tersenyum saat dia, pria asing yang telah berhasil membahagiakanmu malam itu melewatiku setelah mendapat salam perpisahan darimu, tanpa tahu siapa diriku.
Cerpen Karangan: Y.I.Pratama Facebook: facebook.com/kururu.iketani
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com