Aku menghela napas, menyesap sedikit kopi susu panas yang baru saja kubeli tadi. Duduk di salah satu bangku panjang stasiun kereta tua kota ini. Menatap tiap sudut pelataran sepi yang tiap incinya mungkin mengandung kisah berharga bagi orang lain. Stasiun ini sudah begitu tua, semua orang tahu itu. Kabarnya juga sebentar lagi akan ditutup, karena bisa saja membahayakan. Lagipula sudah banyak stasiun modern yang berdiri.
Masih terlalu pagi. Loket penjualan tiket juga masih tertutup, toko-toko kecil belum pula terbuka gerai-nya. Hanya ada tukang sapu tua yang sibuk menyingkirkan guguran daun yang berjatuhan. Tak apalah, toh aku kemari bukan untuk menunggu kereta. Hanya menghabiskan waktu sembari mengenangnya. Orang itu.
Sebuah sampah snack kemasan terbang mengenai kakiku. Membuatku secara spontan membaca merk yang tertera di sana. Senyumku mengembang begitu saja, dengan pelupuk mata yang mulai berair. CASSAVA. Ah, kamu. Ternyata kamu benar-benar menggunakan nama itu, ya?
Raditya Mahardika. Tak mungkin aku melupakan nama itu. Radi, apa kabar kamu sekarang? Aku sering melihat namamu berseliweran di surat berita. Tapi tak pernah sekalipun aku bertemu denganmu lagi. Kalau diingat, kamu tentu sungguh jahat, bukan? Pergi tiba-tiba tanpa memberitahuku. Padahal aku belum mengucapkan apa-apa untuk mengantarmu pergi.
Radi, kamu masih ingat tempat ini? Pertemuan pertama kita sungguh unik jika diingat lagi. Saat itu aku duduk sendirian, entahlah mengapa. Aku juga lupa apa sebabnya. Kamu mendatangiku, menyodorkan keripik singkong kemasan buatan ibumu.
“Aku tak punya uang…” Tuturku saat itu. Padahal yang kuingat, aku begitu lapar dan cemilan yang kamu bawa sungguh menggiurkan. Dari dulu, hatimu memang begitu lembut ya, Radi? Kamu malah tersenyum tipis dan memberikanku sebungkus keripik jualanmu. Pada akhirnya, kita malah membaginya bersama sambil duduk di salah satu kursi. Siapa yang tahu? Perkenalan singkat kita membawa efek dahsyat untuk kehidupanku kedepannya. Karena peristiwa yang begitu sederhana itu, kita semakin dekat.
Setiap hari, jika aku sempat, maka sepulang sekolah aku akan mengunjungimu. Menemanimu berjualan di sepanjang peron. Lalu menjelang sore, kita akan duduk sembari berbagi cerita tentang hari melelahkan yang kita alami masing-masing sebelum bertemu.
“Hei, Radi. Kalau misal usaha keripik singkongmu terkenal, merk apa yang akan kamu gunakan?” Tanyaku kala di suatu hari, dagangan keripikmu laris tak bersisa. Bahkan kamu akhirnya juga menjualkan jatah milikmu ke orang lain. Kamu tertawa renyah, tawa riang yang selalu aku suka. “Itu sedikit tak mungkin sih, tapi aku pernah memikirkan hal ini.” Sahutmu dengan senyum tersungging. “Menurutmu, nama apa yang cocok, Alaina? Bukankah kamu jago berbahasa Inggris?”
Aku mencibir, ah kamu selalu saja mampu membuatku tersipu. Hm, mataku memicing ke depan. Nama apa yang cocok untuk brandmu? Cukup lama aku terdiam, hingga sebuah nama melintas di otakku. “Bagaimana dengan CASSAVA? Itu arti singkong dalam bahasa Inggris. Simple, namun juga mudah diingat.”
Kamu terdiam sejenak, lalu kemudian tersenyum begitu lebar. “Ya, aku suka nama itu. Nanti, kalau merk ini sudah besar hingga bisa diproduksi oleh pabrik, aku akan menggunakan nama itu. Doakan ya, Alaina? Nanti jika Tuhan mengabulkan harapanku yang satu ini, aku akan mengundangmu secara eksklusif!” Guraumu di siang itu.
Mimpi. Ah, matamu selalu berbinar begitu kamu sudah membahas tentang segala cita-cita dan harapanmu. Satu dari sekian hal yang begitu aku suka. Kamu mengajarkanku, Radi. Untuk selalu bermimpi walau kadang kenyataan membuatnya terlihat tak mungkin. Kamu selalu mengajarkanku, bahwa hidup dalam mimpi-mimpi kecil, akan membuatmu selalu bisa berfikir optimis apapun yang terjadi. Mimpikan apapun itu, bahkan hal mustahil sekalipun.
“Aku ingin bersekolah.” Katamu di suatu waktu. Matamu lurus memandang ke depan, dengan tatapan sayu yang jarang kamu perlihatkan. “Aku sudah lupa bagaimana rasanya belajar dalam kelas. Mungkin jika aku tak putus sekolah, kita berada di tingkat yang sama, Alaina.” Lanjutmu sembari tersenyum kecil, menoleh ke arahku dengan binaran penuh harap. Harapan. Kamu juga selalu percaya bahwa harapan dan keajaiban itu ada. Padahal kamu sendiri sadar, keadaanmu yang sekarang sangat tak memungkinkan. Ibumu sakit-sakitan, Ayahmu kabur setelah menjual tanah yang menjadi satu-satunya harta kalian, kamu juga memiliki banyak adik kecil yang membutuhkanmu. Bagaimana bisa kamu selalu berprasangka baik pada keadaan? Mungkin jika aku berada di posisimu, Radi, aku tak akan mungkin sanggup menjalaninya.
Aku hanya terdiam, sembari memandang rok sekolah biruku. Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bocah SMP ingusan yang tak tahu apa-apa. “Suatu saat nanti, kamu pasti bisa mewujudkannya.” Hanya itu yang bisa kukatakan untuk membesarkan hatimu. Kamu mengangguk, memaksakan diri untuk tersenyum membalasku.
Radi, kamu tahu? Salah satu hal yang begitu aku syukuri, adalah pertemuanku denganmu. Kamu, sosok pemilik senyuman hangat yang memiliki segudang mimpi untuk kamu ceritakan. Kamu, yang mengajarkanku untuk memiliki mimpi besar dan tak boleh menyerah pada keadaan. Kamu juga, Radi. Yang mengajariku tentang bagaimana harus tersenyum walau dunia tak mendukungmu. Walau aku tahu, terkadang juga kamu merasa begitu penat. Aku pernah melihatmu menangis seorang diri karena jualanmu tak laku satupun. Bagaimana nanti kamu harus menebus obat ibumu? Bagaimana kamu harus membeli makanan untuk keluarga kecilmu? Itu kan, yang kamu pikirkan?
Namun, kamu selalu berusaha untuk menyembunyikannya. Begitu aku memanggil namamu, kamu buru-buru menghapus air mata dan kembali memasang senyum terbaik dan terhangat yang kamu miliki. Menyapaku seakan kamu sedang baik-baik saja. Kamu benar-benar orang yang naif, ya, Radi? Bagaimana bisa kamu tersenyum ceria begitu meski masalah selalu menghimpitmu setiap saat? Tak ada salahnya kamu menangis, terlebih jika kamu mau memintaku untuk menjadi bahumu. Sungguh, aku tak masalah sama sekali.
“Seorang lelaki tak boleh terlalu gampang menunjukkan ekspresinya. Itu kata Ayahku.” Tuturnya ketika aku mencoba bertanya tentang hal itu. Sungguh lucu, pikirku saat itu. Kamu masih menuruti Ayahmu yang bahkan tak peduli terhadap keluarga kecilnya. Bagaimana mungkin kamu tak benci pada Ayahmu? Bagaimana bisa kamu masih menaruh hormat padanya? Aku tak pernah mengerti dengan jalan pikirmu, Radi. Dan mungkin, aku tak akan pernah mengerti.
Lalu, di suatu hari. Ketika aku baru saja pulang sekolah dan masih mengenakan seragam putih abu-abuku. Kamu menarikku dan mengajakku untuk duduk di atas jembatan kereta api. Kamu gila, Radi. Bagaimana jika nanti kita jatuh? Usiaku 16 tahun kala itu, tentu aku tak ingin terburu-buru menemui ajal.
Kamu hanya tertawa jenaka, mengusap rambutku sembari mengucapkan bahwa kita akan baik-baik saja. Aku tahu ada yang salah denganmu. Karena setelah aku menyetujui ajakanmu untuk duduk di tempat berbahaya itu, kamu hanya terdiam sembari memandang matahari sore yang semakin pudar. Ah, senja hampir menghilang. Aku pasti akan kena marah orang rumah jika belum pulang juga.
“Radi, aku harus pul-” “Sebentar saja, Alaina.” Kamu langsung memotong ucapanku. Menoleh sambil tersenyum sendu. Ah, aku benci senyuman itu. Aku tahu benar, kamu sedang tidak baik-baik saja sekarang. “Aku mohon, tetaplah di sini sebentar saja…” Ulangmu parau. Aku hanya mengangguk. Tak lagi membalas. Hanya berdiam sambil mengayunkan kaki, menunggumu yang masih terlarut dalam pikiran runyam. “Kalimantan. Aku harus pergi ke sana.” Kalimat singkat itu langsung membuatku bungkam. Kenapa?
Kamu lagi-lagi tersenyum pahit, menatap manik coklat ku begitu tenang. “Aku akan ikut paman ke sana. Paman menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Aku bisa sekolah, Alaina. Aku juga akan membantu beliau menjalankan usaha snack kemasannya. Bukankah itu hebat?” Aku mengangguk. Ya, sangat hebat. Hanya dibagian kamu akan memiliki kehidupan yang lebih layak dan kamu bisa kembali bersekolah. Selebihnya? Ah, aku seperti mendapat mimpi buruk di hari yang indah, Radi. Kenapa pula kamu harus pergi? Tak cukupkah Pamanmu membiayai keperluanmu di sini? Kalimantan. Sudah pasti jarak itu akan memutuskan segala kisah yang kita punya. Aku sangat tak menginginkan itu terjadi.
“Kenapa kamu terlihat tak senang, Alaina?”
Bagaimana bisa aku senang dengan perpisahan di depan mata? Aku mencintaimu, bodoh! Itu yang membuatku begitu berat melepasmu pergi. Tapi, kamu tentu tak pernah menyadarinya, bukan? Selama ini kamu hanya menganggapku sebagai sahabat yang selalu ada untukmu. Tak lebih.
“Haruskah kamu pergi? Apa tak ada cara lain agar kamu tetap di sini?” Tanyaku parau. Kamu tertegun sejenak, lalu menggeleng pasrah. Tanganmu menyapu lembut air mata yang melintas melewati pipiku. “Jadi, kamu akan membiarkan kisah kita musnah begitu saja?” Suaraku lirih, menatapmu begitu memohon. Kamu tersenyum hangat, mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. “Aku akan tetap mengingatmu. Aku akan datang jika sedang berkunjung kemari. Aku berjanji, Alaina. Sungguh.”
Kalau sudah begini, aku bisa apa? Siapa aku hingga bisa menahanmu untuk tinggal? Sungguh, Radi, aku tak percaya sepenuhnya dengan janjimu. Siapa yang tahu keadaan di masa depan? Siapa yang bisa menjamin bahwa aku akan selalu berada di tempat ini? Tak ada, Radi. Bahkan aku yakin kamu juga sebenarnya ragu.
Sudah malam. Bahkan langit sepenuhnya hitam. Tentu aku sadar, ini adalah kesempatan terakhir kita bisa bersama. Jika aku mengatakannya sekarang, apakah tak apa? Toh, ini adalah saat-saat terakhir kita menikmati momen seperti ini. Aku hanya ingin mengatakannya, tak berharap juga akan terbalas. Malah aku tak ingin. Karena jika kamu malah menjawabnya, aku pasti akan lebih berat untuk melepasmu.
“Radi.” Panggilku lirih. Kamu menoleh, tersenyum kecil padaku. “Aku… suka.” cicitku pelan. Ah sialan. Kenapa begitu susah? Padahal itu hanya terdiri dari 3 kata. Kenapa begitu berat untuk ku ucap? “Aku menyukai-” “Aku tahu.” Kamu menyela ucapanku lagi. Tersenyum kecil seakan pernyataanku tadi bukanlah apa-apa. “Aku menyadarinya, Alaina. Sudah sejak lama. Tapi kupikir, kamu tak akan pernah mengatakannya hingga akhir.” Sambungmu begitu tenang. Mataku membola, menatap lelaki itu tak percaya. Dia sudah tahu dari lama? Bagaimana bisa?
“Aku-” “JANGAN!” Cegahku tepat ketika kamu hendak mengatakan kalimat yang paling tak ku harapkan. “Jangan katakan. Aku hanya ingin mengatakannya agar hatiku lega. Kamu tak harus menjawabnya, Radi. Malah aku tak ingin mendengarnya…” Rintihku pelan. Kamu tertawa kecil, mengangguk menuruti kemauanku. “Baiklah, kalau begitu… Aku akan menjawabnya ketika kita bertemu lagi nanti. Entah kapan, tapi aku pasti akan menjawabnya.” Selorohmu begitu yakin. “Jadi, tunggu aku, ya?” Kepalaku mengangguk tanpa bisa kucegah. Mengapa? Padahal aku sudah mengatakan dalam hati bahwa aku tak akan bisa percaya pada ucapanmu. Mungkinkah semesta akan berbaik hati nantinya? Bisakah aku berharap bahwa takdir benar-benar akan mempertemukan kita lagi?
Dan senyum itu, senyum paling indah yang pernah aku lihat, menutup perjumpaan kita hari itu. Di depan gerbang keluar stasiun, kamu menggenggam kedua tangan dinginku, menatap lurus pada manik coklatku. “Kita akan bertemu lagi. Kamu harus percaya itu, Alaina.” Lontarmu sebelum melepasku ke tukang becak langganan keluarga yang sudah mengomel karena terlalu lama menunggu.
Radi, di hari itu, kamu tak mengatakan kapan kamu akan pergi.. Apakah kamu memang berniat untuk langsung menghilang begitu saja? Karena setelahnya, aku tak pernah lagi menjumpaimu dan keranjang keripik kumalmu. Bahkan hingga sekarang, setelah 5 tahun berselang. Seringkali aku bertanya, apakah janji kecil itu akan terjadi?
“Teh, bukunya jatuh.” Aku tersentak, spontan menoleh ke seorang gadis kecil yang kini tengah mengambil modul kuliahku. Astaga, sudah berapa lama aku melamun? Segera kuambil buku tebal tersebut, memasukkannya lagi ke dalam tas. Setelah mengucap terima kasih, kuputuskan untuk segera pergi dari sana. Ternyata sudah satu jam nostalgia panjang itu terjadi. Tinggal 30 menit pula waktuku untuk bisa sampai ke kampus tepat waktu.
Hei Radi, aku mulai berfikir… Bagaimana jika aku memutuskan untuk melupakan semua? Tentangmu, tentang janji, semua kisah kecil kita, juga tentang jawaban itu. Aku tak ingin munafik, aku sudah begitu lelah menunggu. Aku ingin menyerah…
Cerpen Karangan: Rie Fallia Blog / Facebook: Shabrina Zalfa Amalia Terlahir dengan nama lengkap Shabrina Zalfa Amalia pada tanggal 27 Maret 2004. Remaja asli Kota Pahlawan ini sudah melekat dengan dunia sastra semenjak SD. Hanya saja, baru produktif menulis di akhir kisah masa SMA-nya. Sangat terbuka bagi siapapun yang mengetuk akun instagram nya di @shn_zhee131.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com