Universitas Indonesia, 14:30. “Na, langsung cabut?” Tanya seorang gadis berkerudung hitam di sampingku. “Ada seminar buat anak bisnis. Tapi mahasiswa lain boleh ikut. Cakep lho, pematerinya.” Aku tersenyum kecil, memasukkan laptop dan buku-bukuku ke dalam tas. “Gue nolak juga lo bakal maksa, Ras.” sindirku diiringi tawa kecil. “Sebentar aja, ya? Gue masih ada urusan soalnya.” Laras mengangguk heboh, langsung menarik lenganku ke aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Entah seberapa ‘cakep’ orang yang dimaksud Laras, tapi setidaknya aku bisa mengambil beberapa ilmu bisnis darinya. Tak begitu buruk juga, kan?
Kami duduk di deretan tengah, tepat ketika acara dimulai. Aku menghela nafas, menatap lurus pada seorang pemuda dengan kemeja kotak-kotak hitam yang tengah berbicara di sana. Dahiku mulai berkerut, meneliti lagi tiap garis wajah sosok yang ternyata menjadi pemateri seminar kali ini. Dia…
“Selamat malam, semuanya, nama saya Raditya Mahardika. Saya berdiri di sini untuk-”
Blank. Aku langsung mematung di tempat. Mataku lurus, terpaku menatapnya. Ya Tuhan, lucu sekali takdir mempermainkan kita. Bukankah baru saja tadi pagi aku memutuskan untuk menyerah padamu, Radi? Dan kini, malah kamu yang datang tanpa aku cari. Ah, selalu saja ada kejadian dari semesta yang tak pernah mampu kuduga.
“Na, ayo!” Laras menepuk bahuku keras. Mataku terkejap. menatapnya dengan pandangan bingung. “Seminar udah selesai, tinggal penutup dari moderatornya. Kita langsung cabut aja, kan lo bilang masih ada urusan.” Tuturnya pelan.
Kakiku tiba-tiba bangkit, tak peduli pada tatapan mahasiswa lain yang memandangku aneh. “Ras, gue harus pergi!” Tanpa memperdulikan teriakan Laras, aku segera berlari keluar aula. Mencari kemana arah yang mungkin ditempuh pemuda itu. Bisa saja ini kesempatan terakhir, dan tak mungkin kusia-siakan begitu saja. Mataku membola saat melihat sosok dengan kemeja hitam itu hendak memasuki sebuah mobil putih.
“RADI!” Kamu menghentikan gerakan begitu aku berlari mendekat. Memasang senyum ramah seperti yang selalu kuingat di memoriku. “Halo, ada yang bisa saya bantu?” Tanyamu kemudian. Ah, kamu tak mengingatku rupanya. Apa aku sudah terlalu banyak berubah, atau… aku sudah tak berarti lagi bagimu?
Aku berusaha sekeras mungkin mempertahankan senyum tipisku, tak ingin terlihat begitu kecewa. Menyerahkan sebuah amplop usang yang memang sudah kupersiapkan semenjak 3 tahun lalu. Berjaga-jaga, jika suatu saat takdir mengizinkan kita untuk bersua. Walau hanya untuk memberikan benda ini padamu. “Aku tahu, banyak surat cinta yang kamu terima. Tapi bisakah, kamu membaca milikku dahulu?” bujukku lirih. Kamu menerimanya, mengangguk sembari tersenyum pasti. “Baiklah, akan kubaca begitu sampai di mobil. Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nona?” Gelengan kecil kuberikan, menatapmu sayu. Tuhan, aku merindukannya… Bagaimana bisa waktu begitu ahli merubah dirinya? Lihat, dia semakin matang sekarang, juga tampan. Ya, aku harus mengakui itu. “Namaku sudah tercantum di sana, kamu akan tahu nanti.” Paparku sebelum mengundurkan diri terlebih dahulu. Aku sudah melakukan usaha terakhir agar janji itu terjaga, Radi. Aku menyerahkan semua padamu sekarang.
Pemuda itu terdiam bingung di kursi penumpangnya. Menyobek pelan amplop usang yang semakin menguning di tangannya. Jemarinya buru-buru mengambil lipatan kertas putih dari sana, membacanya secara tak sabaran. Entah kenapa, otaknya seakan meminta dia untuk cepat-cepat mengetahui isi surat tersebut.
Radi, Hai. Aku tak tahu kapan semesta akan berbaik hati untuk mempertemukan kita lagi. Jadi, kutulis ini begitu aku aku melihatmu di TV tadi. Sudah 2 tahun, tanpa terasa waktu berlalu secepat ini. Tidak, 2 tahun ini begitu berat. Semua hal menjadi berat semenjak kepergianmu dulu. Tapi, jika kamu tidak membuat langkah besar itu, bisa saja apa yang kamu alami sekarang tak akan pernah terjadi. Dan aku bersyukur atas itu.
Selamat Radi, kamu benar-benar mewujudkan apa yang kamu katakan di selasar stasiun kota dulu. Seorang pengusaha muda sukses yang berjaya. Aku turut bahagia untukmu, sungguh. Tolong sampaikan terima kasih pada Pamanmu, karena mau membiayai dan merawatmu hingga kamu bisa menjadi inspirasi semua orang. Sampaikan juga, rasa terima kasihku yang begitu besar, untuk dirimu sendiri, Radi. Terima kasih, sungguh aku berterima kasih karena kamu telah bertahan sejauh ini. Aku tak tahu apa saja yang kamu alami, tapi aku tahu itu semua tak ada yang mudah. Terima kasih karena sudah bekerja begitu keras.
Aku tak akan menanyakan kabarmu, Radi. Sama seperti aku tak akan lagi menagih jawaban atas pernyataanku sore itu di atas jembatan kereta api. Karena aku tahu, kamu akan baik-baik saja. Kamu pasti baik-baik saja di sana. Karena kamu, adalah orang paling hebat yang pernah memasuki kehidupanku, Radi. Juga, tentang jawaban itu. Aku sudah tak terlalu berharap, aku tak mau tamak. Bertemu denganmu saja rasanya begitu mustahil, apalagi untuk menagih semua janjimu? Biarlah, untuk sekarang keinginan terbesarku adalah bisa bertemu denganmu. Walau hanya untuk sedetik, walau hanya bisa sempat menyerahkan surat ini padamu.
Sungguh, Radi. Begitu banyak hal yang ingin aku katakan. Tapi di surat ini, aku hanya akan menulis hal paling penting yang sebenarnya ingin kukatakan dari dulu. Tentang kamu, Raditya. Terima kasih, karena telah hadir dalam lembaran hidupku. Terima kasih untuk segala kisah hebat dan pengalaman yang kamu bagi denganku, Radi. Semuanya. Segala hal yang pernah kita alami bersama.
Kamu, Radi. Seorang anak kecil lusuh yang begitu banyak mengajariku tentang bagaimana harus menikmati hidup ini. Kamu, yang mengatakan bahwa mimpi dan memiliki cita-cita tinggi bukanlah hal yang sia-sia. Pun aku tak akan menyangkal, kamu juga yang mengajariku tentang rasa cinta. Kamu, orang pertama yang membuatku jatuh hati, Radi.
Aku sadar, kamu tak naif. Kamu hanya berusaha untuk menerima dan mengambil sisi positif dari kerasnya garis takdirmu. Aku tahu itu sekarang. Kamu menyadarkanku tentang hal itu.
Terima kasih, Radi. Untuk segala hal yang terjadi selama 4 tahun pertemuan kita. Dan sekali lagi terima kasih, karena sudah hadir dan menjadi kisah kasih manisku yang begitu indah dan berharga untuk kukenang. Layaknya angin sejuk yang datang secara kebetulan, lalu pergi tanpa perpisahan.
Ah ya, satu lagi. Radi, aku mulai lelah menunggu. Mulai letih dan sering berfikir untuk menyerah. Doakan saja takdir berbaik hati mempertemukan kita sebelum aku benar-benar memutuskan untuk berhenti. Aku selalu berharap kamu baik-baik saja, dimanapun kamu berada.
Dariku, Na.
Sosok itu mematung, dengan butiran kristal yang mulai menetes melewati rahang tegasnya. Sosok gadis kecil itu menari-nari dalam pikirannya. Memori kecil berharga yang selalu dia jaga baik-baik. Ya Tuhan, bagaimana mungkin dia tak mengenali perempuan itu? Bodoh, mana bisa dia melewatkan kisah cinta pertamanya seperti orang asing seperti tadi? Ia mendongak, menatap pada sopir pribadinya. “Pak, tolong kembali ke UI sebentar. Ada urusan yang belum saya selesaikan.” Pintanya parau. Pria paruh baya tersebut mengangguk, segera mencari jalan untuk berputar balik.
Di lain tempat… “Tadi kok lo tiba-tiba lari gitu aja sih, Na?” Tanya Laras setengah kesal. Aku tertawa kecil, meminta maaf padanya. Menyatakan alasan bahwa aku buru-buru ke kamar mandi tadi. Biarlah aku berbohong. Jika aku jujur, pasti anak ini akan heboh dan menginterogasiku dengan pertanyaan yang tak seberapa penting. “Kebiasaan ya, lo tuh dari dulu-” Kalimatnya terputus begitu saja. Dengan mulut yang terbuka seperti melihat hantu, Laras menunjuk ke arah belakangku, berteriak heboh. Aku mengerutkan dahi bingung, ada apa dengan anak ini? Penasaran, akhirnya aku menoleh ke mana jari telunjuknya mengarah.
Mataku mengerjap. Aku tak salah lihat kan? Orang itu, dengan nafas terengah-engah berjalan cepat ke arah kami. Berdiri mematung tepat 4 langkah dariku. Astaga, apa mungkin Radi benar-benar membaca suratku begitu mobilnya berjalan?
Lama kami termenung di tempat masing-masing. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan, aku juga tak tahu apa yang ada di dalam benaknya.
“Kamu benar-benar, Alaina?” Suara paraunya memecah keheningan diantara kami
Terkesiap, aku menatap iris hitamnya tegang. Bahkan pekikan heboh dan segala pertanyaan Laras kuabaikan begitu saja. Tuhan, inikah waktu yang selama ini kutunggu? Apakah ini balasan atas penantian 5 tahunku?
Sedikit tersadar dari lamunan, aku tersenyum simpul, bahkan setengah tertawa. “Aku tak harus mengeluarkan KTP ku agar kamu percaya bahwa namaku benar-benar Alaina Widyastika, bukan?” Gurauku dengan mata menyipit. “Halo, Raditya. Long time no see?” Radi tertawa, mengangguk senang. “Senang bertemu denganmu lagi.” Sahutnya riang. “Ku harap kamu masih mau mendengar jawaban ‘Aku juga’ dariku atas pernyataanmu dulu, Alaina.”
Aku terkekeh, mengangguk kecil. Tentu saja aku masih sudi, bagaimana pun juga aku masih mencintainya hingga kini. Ah, Takdir. Terima kasih karena telah membawanya kembali. Aku bahagia.
Cerpen Karangan: Rie Fallia Blog / Facebook: Shabrina Zalfa Amalia Terlahir dengan nama lengkap Shabrina Zalfa Amalia pada tanggal 27 Maret 2004. Remaja asli Kota Pahlawan ini sudah melekat dengan dunia sastra semenjak SD. Hanya saja, baru produktif menulis di akhir kisah masa SMA-nya. Sangat terbuka bagi siapapun yang mengetuk akun instagram nya di @shn_zhee131.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com