Anindira Angelina “I’m here, Nin..” Kata-kata Tara barusan memberiku banyak kekuatan. Cukup terkejut aku mendapatinya disini. Namun jauh dilubuk hatiku, rasa syukurku membuncah dengan sangat. Melihat Tara, aku merasa bisa menghadapi waktu sulit ini dengan cepat.
Tanpa sadar aku tenggelam dalam pelukannya. Dengan Tara, tak perlu banyak kata terucap, segalanya akan tersampaikan dengan baik dan semestinya. Betapa beruntungnya aku memiliki laki-laki ini disampingku. Tara menemani masa berdukaku dengan setia. Beberapa hari yang berat terlalui dengan baik. Thanks to Tara for everything.
Ketika masa berduka itu selesai, aku dan Tara mau tidak mau harus kembali bekerja. Aku mengucapkan selamat tinggal pada kota kelahiranku ini dalam hati. Tanpa Ayah, mustahil aku akan kembali kesini dalam waktu dekat. Sepanjang perjalanan kami, Tara tetap mengenggam erat tanganku. Dan aku sama sekali tak menepisnya. Seakan tangan Tara memang diperuntukkan untuk menggenggamku, seakan semuanya memang terletak pas pada tempatnya.
Perjalanan kami banyak dihiasi keheningan. Aku dengan pikirku, Tara dengan pikirnya sendiri. Aku memalingkan wajah untuk melihat wajah Tara. Tara sedang menatap arah sebaliknya. Kupandangi garis wajah Tara yang tegas dari samping. Mendadak aku penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan laki-laki ini.
“Ta, gue udah pernah bilang kalo lo adalah sahabat terbaik gue?” Aku mengejutkannya dengan pernyataan barusan. Dia memalingkan wajah dan menatapku. Ada apa dengan raut wajahnya? Kenapa dia terlihat serius sekali? Kutunggui jawabannya dan dia hanya tersenyum singkat. Aku heran. Tara kenapa? “Ta, lo sakit?” Tanganku memegang keningnya. “Tapi badan lo ga panas sih.. lo kenapa?” Tara kembali diam dan memandangiku. “Gue gapapa…” Singkat sekali jawabannya. Aku sama sekali tak mengerti dengan sikap Tara yang mendadak banyak diam seperti ini. He is just like not him. Aku berpikir dengan hati-hati, barangkali ada sikap dan kata-kataku yang menyakiti hatinya. Sepertinya tidak…
Kemarin malam aku masih ditemani Tara hingga aku tertidur. Dia bercerita banyak hal. Tentang pekerjaannya, tentang projectnya yang berhasil dealing beberapa hari lalu, tentang apa saja. Aku mendengarkannya setengah mengantuk. Ada rasa lelah dan sedih yang belum selesai dihatiku, dan aku belum menemukan kembali separuh dari kekuatanku untuk bisa mengimbangi Tara dengan segala semangatnya malam itu. Dan Tara pun tak mempermasalahkan itu. Ketika setelahnya aku mendapati tangan Tara mengelus lembut kepalaku, aku merasa nyaman dan segera tertidur. Entah jam berapa Tara pindah ke kamar tamu. Pagi tadi ketika aku bangun, Tara sudah tak disampingku. Lalu kenapa sekarang Tara bersikap aneh begini?
Awan Dirgantara Aku memandangi Nin yang tertidur disebelahku. Sejak tadi aku banyak diam dan mengabaikannya. Aku tidak sengaja melakukannya. Aku hanya sedang ribut dengan pikiranku sendiri. Setelah beberapa hari yang kulalui dengan menemani Nin berduka, aku semakin jatuh hati padanya. Aku rasa kali ini aku tak bisa bertahan untuk tak memberitahunya. Namun jika perasaanku tak berbalas, aku harus apa? Hati dan otakku terus meributkan masalah ini sedari tadi. Hingga tanpa sadar aku mengabaikan Nin.
Aku memegangi kepalanya yang hampir terjatuh karena bersandar pada kursi duduk itu. meletakkan kepalanya dengan hati-hati di pundak kananku. Aku memandangi tanganku yang masih erat menggenggam tangannya. Apakah ini saatnya aku jujur pada hatiku sendiri? Membiarkan waktu berlalu pasti akan membuat Nin bertemu dengan hati lain nanti. Siapkah aku jika Nin mengenalkan wajah asing lain padaku? Lalu jika Nin ternyata tak menyukaiku, apa yang harus kulakukan? Apakah bisa setelahnya kami bersikap baik-baik saja seolah tak pernah terjadi pengakuan apa-apa? Hufft, aku menghembuskan napas dengan berat. Hampir gila rasanya…
Sekembalinya aku dan Nin dengan kesibukan kami masing-masing, aku berusaha semampuku untuk tak memikirkan apa-apa tentang perasaanku pada Nin. Tak sengaja sudah hampir dua minggu tak kujumpai Nin, tak mengiriminya pesan singkat, tak menghubungi dan tak berkunjung ke apartmentnya. Nin sepertinya juga sangat sibuk sekali. Diwaktu diamku seperti ini, tak pernah sekalipun ia merepotkanku seperti hari-hari sebelumnya. Atau dia sedang tak baik-baik saja?
Mengesampingkan egoku, akhirnya sore ini aku mencoba menghubungi Nin. Ternyata aku juga sangat merindukan gadis itu. Suara operator menjawab panggilanku. Ponsel Nin tidak aktif. Aku penasaran. Sejak kapan ponsel Nin mati? Is she Ok? Setelah tigakali menelpon dan tetap dijawab oleh operator, aku memutuskan ke apartment Nin. Sesampaiku disana, kulihat lampu apartment Nin mati. Apa dia sedang tak di rumah?
Aku hendak membalikkan badan dan pergi ketika kudengar suara samar-samar dari dalam apartment Nin. Wait, is she inside? Aku mengetuk pintu. No answer. Mau tak mau kukeluarkan kunci duplikat dan membuka pintu itu dengan agak sedikit terburu-buru. Aku menyalakan lampu sembari mencari Nin. Dia dikamar, sedang tidur dan… mengerang. Aku mendekatinya dan memegang keningnya. Benar saja. Dia demam. Oh God, sejak kapan Nin sakit? How stupid I am. Kenapa juga aku bersikap kekanak-kanakan di masa sulit Nin seperti ini? Tentu saja aku menyesali diriku sendiri… Aku hendak beranjak mencari handuk kecil dan air es ketika kurasakan tangan Nin memegang jemariku. “Jangan tinggalin Nin, Yah…”
Anindira Angelina Aku membuka mata dengan berat. Kepalaku terasa pusing sekali. Aku menyipitkan mata, cahaya matahari masuk melalui celah gorden kamarku. Aku memandangi langit-langit kamarku. Ini jam berapa? Ini hari apa? Aku terus-terusan berusaha mengingat hal yang kulewatkan. Ahh, ini hari Minggu. Kemarin aku sedikit demam dan tertidur lebih awal.
“lo udah bangun?” Aku terkejut menatap Tara yang berdiri di pintu kamarku. “Lo ngapain disini?” Aku menyuarakan keterkejutanku. Setelah hampir dua minggu tak saling berkomunikasi. Now he is standing here, in front of me. Bertingkah biasa. Padahal aku sangat merindukannya. Sangat.
“Sejak kapan lo sakit? Kok lo ga ngabarin gue?” “Lo menghilang…” Aku menjawab Tara sembari bangkit dan berjalan menuju dapur. Selera makanku tiba-tiba muncul entah darimana melihat makanan, -pasti hasil masakan Tara-, di atas meja. Nasi goreng ayam, masakan khas Tara yang begitu nikmat. “Makan yuk, biar lo bisa minum obat. Gue beliin obat lo semalam…” Aku menurutinya dan duduk di kursi makan itu.
“Lo kemana, Ta?” Aku tak bisa membendung rasa penasaranku lagi terlalu lama. Akhirnya keluarlah pertanyaan itu dari mulutku disela-sela suapan nasi gorengku. “Hah?” Tara terkejut seolah tak paham apa maksudku, atau… dia hanya pura-pura tak paham? “Lo kemana? Dua minggu lo menghilang…” Tara tak menjawabku. Ada apa dengan laki-laki ini? Ada jeda yang tercipta diantara kami. Hening. Aku merasa asing dengan Tara. Berkecamuk segala tanya dikepalaku. Apakah Tara sudah bosan menghadapiku? Apakah ini saatnya Tara akan pergi juga meninggalkanku, just like Dad? Apa memang aku tak berhak mendapatkan seseorang disampingku yang tak akan kemana-mana?
“Nin…” Aku dengan cepat menengadahkan pandangku ke arah Tara. Aku tahu dia hendak menyampaikan atau bertanya tentang sesuatu yang penting. Tetapi kenapa dia ragu-ragu? “Kalo gue suka sama lo, gimana?” Aku tak mengerti kemana arah pembicaraan Tara. Bukankah kita harus saling menyukai hingga bisa berteman selama dan sejauh ini? “Emang kenapa? Gue juga suka sama lo…” Tara terlihat bingung dengan jawabanku. Whats wrong? “Gue cinta sama lo, Anindira…”
Awan Dirgantara Apa yang baru saja kulakukan? Baru saja aku memberitahu Nin tentang perasaanku. Aku harus bagaimana sekarang? Aku jantungan setengah mati menunggu reaksinya. Mata kecilnya nampak terkejut dengan pengakuanku barusan. Aku juga tak mengerti darimana aku dapat kekuatan lebih untuk berani mengatakannya saat ini.
“Lo menghilang selama dua minggu ini karena itu?” Nin memandangku intens. Sial, aku terperangkap dalam tatapannya. “Gue cuman ga tahu harus gimana, Nin.. Sorry…” Aku mengalihkan pandang dari wajah Nin. Situasi ini terlalu awkward. Aku berulangkali mengutuki mulutku yang tak bisa diam dan dengan lancangnya membuat pengakuan barusan… oh, sial… What should I do now? “But it’s Ok, Nin.. Lo ga harus kasih jawaban sekarang, dan lo bebas mau ngasih jawaban apa nanti.. Gue ga mau maksain lo. Gue cuman pengen lo tahu. Gue minta maaf, gue udah ngerusak persahabatan kita. Ga seharusnya gue gini…” Aku menyerocos bak orang linglung. Well, I’m just too panic melihat reaksi Nin yang hampir tak bereaksi apa-apa. I mean, she is not responding me. Nin hanya diam sambil… tetap mengunyah nasi gorengnya. Aku tak tahu kalau nasi goreng buatanku itu sangat lezat hingga Nin memilih tetap mengunyahnya di situasi ini. Aku menebak-nebak dalam hati, atau apakah Nin marah?
“Nin, please say a word…” harapku cemas dalam hati. “Ta, lo ga lapar?” “Hah?” Aku spontan mengeluarkan suara ‘hah’ barusan. Nin is losing her mind, Nin malah menanyaiku dengan pertanyaan barusan. ‘lo ga lapar?… really Nin?’ Aku kebingungan dalam hati. Apa yang ada dibenak Nin saat ini? “Lo ga lapar? Lo daritadi ga makan… Lo ga lapar?” Nin kembali memandangku intens dan lagi-lagi menanyakan pertanyaan itu. Oh ya tentu saja aku lapar. Perutku mulai bersuara sejak tadi, aku tahu itu. Menemani Nin semalaman dengan demam tingginya, mengecek suhu tubuhnya setiap 2 jam sekali sungguh menguras energiku. Dan ya…, aku butuh makan saat ini. Tetapi selera makanku lenyap entah kemana, kurasakan mulutku pahit dan perutku mual. Hahahaha, perasaan gugupku muncul berlebihan. Lagian, aneh sekali perempuan satu ini. Apa dia tak bisa ikut berdebar seperti yang sekarang sedang kurasakan? “Nin, please…” Aku memandangnya dengan tatapan… Aneh dan memelas. Ya memelas. Memelas yang berarti ‘Nin, tolongin gue. Gue lagi gugup banget nih, lo ga bisa bantuin gue? Please say something.’ Nin menghentikan aktivitas makannya dan menatapku dalam-dalam. Aku dag-dig-dug. Huuufff…, this is the time… “Well, I’m falling in love with you too, Awan Dirgantara…”
Anindira Angelina Speechles adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi saat ini. Setelah mendengar pengakuan dari Tara, aku tak berhenti berdebar-debar setengah mati. Ingin aku tak menjawab apa-apa, setengah hatiku takut akan kehilangan Tara jika semua tak berjalan lancar diantara kami. Namun apa daya, hatiku lebih kuat berperan daripada logikaku.
“Well, I’m falling in love with you too, Awan Dirgantara..” Aku menatap Tara setelah mengucapkan kata barusan. Tara nampak tertegun, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Aku mengabadikan wajah lucunya dalam memori otakku, oh ya tentu saja aku juga mengabadikan hari ini, hari dimana aku dan Tara bukan lagi sahabat. Tapi…, Partner? Ahhh aku suka pilihan kataku barusan. Partner. Sounds good. We are Partner now. Partner in every aspect. Mendadak aku merasa bersemangat. Kehidupan manusia memang tak ada yang bisa menebak. Setelah kehilangan Ayah, barulah aku diijinkan memiliki Tara.
“Setelah ini, kita harus gimana? Should we hug each other?” Aku tertawa mendengar Tara. Nih anak memang sepolos itu. Satu hal yang aku begitu suka dari dia sejak dulu. “So, we are in relationship now?” Lagi-lagi Tara menanyakan hal lucu. Aku mengangguk. Dia tersenyum. Manis sekali. Aku bangkit dari tempatku duduk dan berjalan ke arahnya. “I’m blessed to have you in my side, Ta…” Dia menatapku dengan mata bulatnya yang meneduhkan. Aku tahu aku baru saja menghipnotisnya dengan perkataanku barusan. But not just him, aku juga bisa merasakan perasaan mengharu-biru di hatiku. Aku kemudian memeluknya dengan erat. Melingkarkan tanganku di lehernya, membenamkan wajahku di pundaknya. Aku bisa merasakan nafas dan degup jantung Tara. We need 3 years untuk bisa naik kelas lebih dari sahabat. Walaupun sebelumnya Tara selalu ada untukku, tetapi entah kenapa perasaanku tetap begitu senang menyambutnya di hidupku as my best Partner ever. Selain Ayah, keberuntunganku soal lelaki yang lain adalah Tara.
“Nin, leher gue sakit…” Aku sepertinya memeluk Tara terlalu kencang. Hahahaha, adegan romantis barusan terpaksa harus kami hentikan. Kami saling menatap dan kemudian tertawa. Begitulah adanya aku dan Tara. Selalu menemukan hal baik dari setiap argument dan pertengkaran, selalu menemukan hal lucu dari setiap situasi yang menegangkan. Begitulah 3 tahun kami kemarin berlalu dengan menyenangkan. Sekarang? Tentu saja akan jauh lebih menyenangkan. Jauh lebih mendebarkan. Aku tak sabar melihat perjalananku dan Tara akan berlabuh kemana. Didalam harap yang kulambungkan begitu tinggi hingga menyentuh pintu langit, aku dengan sungguh-sungguh menyuguhkan namaku dan Tara disana.
Semoga mulai kini hari-hari kami lalui dengan indah, senantiasa bahagia tanpa jeda, tanpa terpisah…
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com