Waktu menunjukkan pukul 11.00. Entah ini pukul 11 malam atau siang, aku tak tau. Yang terlihat hanya ruangan serba putih. Sunyi, sepi, dingin yang kurasa. Ingin kugerakkan kepalaku, tapi berat. Seperti ada yang melilitnya. Hanya bisa terpaku menatap jam dinding di depanku, berdetak pelan.
Tak ada seorang pun disini. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Kenapa aku disini? Berada di ruang rawat inap pucat ini. Sudah berapa lama aku disini? Kaki dan tanganku terasa kaku seolah telah lama tak digerakkan. Dan yang tak kalah penting, dimana Kinara? Sosok yang terakhir bersamaku, belahan jiwaku.
Masih terlihat jelas dalam ingatanku, seperti apa Kinara. Senyum manisnya, rambut hitam panjangnya, bahkan aroma bunga semerbak setiap berada di dekatnya. Tapi kemanakah dia kini. Dengan kondisiku yang berbaring lemah seperti ini. Apakah dia meninggalkanku?
Hatiku terluka membayangkannya.
Ada banyak luka di sekujur tubuhku. Mulai dari kaki, tangan, kepala, terasa nyeri disana. Rasanya seperti dililit dan sakit berdenyut-denyut. Jarum infus terasa sakit menusuk tangan.
Aku tak tau persis apa yang sebenarnya terjadi. Yang teringat adalah, sore itu. Ketika jingga senja membuncah di cakrawala. Aku dan kinara menikmati udara sore. Kami yang sepasang kekasih ini, berboncengan melewati jalanan lengang. Angin sejuk berhembus pelan. Aku bahagia, begitupula Kinara. Seolah tak ada yang bisa memisahkan kami.
Senja masih belum beranjak. Pesona jingganya seolah membius kami sepasang kekasih untuk larut dalam cinta. Kinara memelukku dari belakang sembari bercerita tentang kegiatannya di kampus. Mulai dari dosennya yang galak, teman-temannya yang konyol, hingga tugas-tugas kuliah yang menumpuk.
Kinara masih terus bercerita, hingga tiba-tiba terjadi benturan keras. Sesuatu yang besar menabrak kami dari belakang. Tubuh kami terhempas, lalu yang kulihat hanya gelap.
Kepalaku berdenyut mengingat kejadian itu, sakit sekali rasanya. Tak kuat menahan sakit, mataku kembali terpejam.
Tepat pukul 12.00 aku terbangun. Seseorang datang mengunjungi ruanganku. Seorang pria dengan baju serba putih. Wajahnya tenang dan tampan. Dia tersenyum ke arahku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia mendekat.
Ruangan terasa semakin dingin sejak kedatangan pria itu. Aku menggigil. Dia terus mendekat dan semakin dekat. Aku merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhku. Sakit sekali hingga aku tak sanggup membuka mata. Mencoba berteriak, tapi mulutku tak mampu bersuara. Ingin meronta tapi tubuh ini tak bisa digerakkan. Begitu sakit yang teramat sangat.
Aku berdiri terpaku, menatap tubuh yang terbaring lemah. Kepala, tangan, dan kaki, semua dililit perban. Berbagai alat penopang hidup berjejer disekelilingnya. Alat monitor jantung menunjukkan bahwa detak jantung sudah tak ada. Itu tubuhku. Yang tak lagi bisa diselamatkan.
Pria berbaju putih berdiri di sebelahku. Dia tersenyum dan mengangguk. Aku paham dengan maksudnya. Tubuhku sudah tak sakit lagi, luka-luka itu telah sembuh. Aku bisa bergerak, berjalan, bahkan terbang.
Tangan lembut menggenggam tanganku. Kinara, dia menemaniku disini. Kinara tersenyum, senyumnya masih cantik seperti dulu.
Didampingi pria berbaju putih, aku dan Kinara pergi menuju dunia yang baru.
Cerpen Karangan: Wiwin Ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio