“Hai, udah lama menunggu ya?” tanyaku pada Fandi, sahabat yang selalu setia menemani sejak kami duduk di bangku SD. “Nggak, aku juga baru datang. Kita berangkat sekarang?” tanyanya. “Ok,” jawabku dengan semangat.
Malam yang cerah, penuh bintang bersinar terang. Saat itu kami janjian menonton film di bioskop favoritku. Seperti biasa, setiap ada film baru yang bagus, pasti aku merengek-rengek minta diantarkannya.
“Tasya, Tasya. Makanya buruan cari cowok dong. Biar bisa nganterin ke bioskop,” celetuknya di tengah perjalanan. “Kenapa harus cari cowok, memang kamu bukan cowok ya?” “Ya jelas cowok. Maksud aku, cari pacar, Sya.” “Hahaha ogah. I’m single and very happy.” ‘Aku hanya ingin bersamamu, Fan. Dan sebenarnya, aku menyukaimu sejak dulu. Tapi, aku tak mau menghancurkan persahabatan ini,’ batinku.
“Hemmm jadi, selama ini nggak ikhlas ya nganterin aku?” kucoba mengalihkan pembicaraan ini. “Haha iya, iya, ikhlas kok. (hening sejenak) kalau misalnya aku nggak ada, kamu harus ikhlas juga ya?” “Maksud kamu, Fan?” tanyaku heran. “Ya… seandainya aku pergi jaauuuh ke tempat yang lebih indah dari sini, maka kamu harus ikhlas lho.” “Nggak! Aku nggak bakalan ikhlas. Kalau kamu nggak ada, aku bakalan hubungi dengan cara apa pun sampai kamu jawab. Titik!!!” jawabku tegas. “Hahaha sampai segitu ya…” Fandi terpingkal-pingkal mendengar jawabanku.
Melihat responnya yang membuat geram, spontan saja kucubit ia. Tapi nggak keras amat kok, takut mengganggu konsentrasinya. Aku sangat bersyukur, karena dia udah mau meluangkan waktu untuk mengantar sahabatnya yang manja ini.
“Aduuhh, ampun Sya. Iya, iya aku minta maaf,” ringis Fandi dengan melempar senyum ke arah spion. Saat itu pula, mata kami pun beradu pandang. “Kenapa hatiku jadi deg-degan gini ya?” tanyaku dalam hati.
Sesampainya di bioskop, seperti biasa aku bertugas membeli tiket dan Fandi yang harus membeli cemilan. “Jangan lama-lama ya, Fan. Aku nonton duluan loh…” “Iya, iya siipp,” sambil mengedipkan matanya. Aku tertawa geli melihat tingkahnya.
Setengah jam berlalu “Fandi kok lama banget ya?, Ah mungkin aja lagi ramai, jadi harus ngantri lama tuh,” ucapku santai.
Hingga film selesai pun, Fandi tak kunjung datang. Aku mulai kesal, tapi saat keluar bioskop tiba-tiba muncul perasaan khawatir. Karena, di luar bioskop telah ramai kerumunan orang di depan tempat biasa Fandi membeli cemilan yang telah terpasang garis-garis pembatas polisi.
“Fandi, kamu tuh ke mana sih? Nggak biasanya dia ninggalin aku kayak gini.”
Kucoba berkali-kali menghubunginya, tapi hasilnya nihil. Aku pun semakin cemas, “hufft, semoga aja kamu cuma mengerjaiku seperti biasanya.” Akhirnya kuputuskan pulang naik taksi.
Beberapa menit kemudian, handphoneku berdering tanda panggilan masuk. “Sinta?” ucapku heran. “Ka-kak Fandi…” suara dari ujung telepon terdengar parau. Sinta adalah adik Fandi. “Fandi kenapa, Sin?” aku panik mendengar Sinta menyebut nama Fandi. (hening…)
“Kak Fandi kritis, Kak.” Sinta pun terisak-isak. “Maksud kamu apa, Sin?” “Kakak datang saja ke Rumah Sakit….”
Sesampainya di Rumah Sakit, aku melihat Sinta dan Tante Risma duduk lemah di depan sebuah ruangan yang bertuliskan ICU. Dengan gontai, aku menuju ke ruangan tersebut. “ICU? Aku benci ICU…!” ucapku dalam hati.
“Sinta, Fandi kenapa?” tanyaku lemah, seakan kerongkonganku tersumbat sesuatu yang sangat menyesakkan hingga tak ada daya untuk berbicara. “Kata polisi, Kak Fandi tertusuk pisau penjambret. Saat itu kakak sedang membeli sesuatu di depan bioskop, tiba-tiba terdengar suara seseorang minta tolong. Seorang penjambret berlari ke arahnya, ia nekat menghadang penjambret itu. Setelah beradu hantaman, kakak berhasil mengalahkannya. Tapi ternyata, penjambret itu membawa pisau dan langsung menusuk Kak Fandi. Orang-orang disekitar yang melihatnya, segera membawa kakak ke sini. Tapi kakak, kakak kehilangan banyak darah. Dan sekarang kondisinya kritis, Kak.”
“Fandi…,” aku tertunduk lesu, mengenang kejadian sebelum ke bioskop dan tak kuasa menahan air mata yang mulai mengucur deras.
2 jam berlalu, akhirnya seorang dokter disusul perawatnya yang membawa segudang peralatannya keluar. Tante Risma, berhambur mendekati dokter tersebut. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” “Maaf, kami sudah berusaha maksimal. Tapi lukanya sangat parah, dan ia kehabisan darah. Sehingga nyawa anak Ibu tidak bisa diselamatkan. Ini sudah menjadi kehendak-Nya, yang tegar ya, Bu…”
Aku sontak kaget, dan air mata pun mengucur derasnya. Malam itu, menjadi malam terakhir kami menonton bersama. Bahkan, ia tak sempat duduk di sampingku sambil makan cemilan dan tertawa atau menangis haru seperti biasa.
—
Di tempat pemakaman, deraian air mata mengiringi penguburan jasadnya. Tante Risma terlihat sangat terpukul. Bagaimana tidak? setelah ia ditinggal suaminya, kini ia harus menerima kenyataan yang sangat pahit, lagi.
Sungguh tak tega melihatnya, “Fandi jahat!” batinku menangis. Aku hanya bisa memeluk mereka, dan menahan tangis yang kian berat. Kami kehilanganmu, sangat kehilanganmu…
“Selamat tinggal sahabat yang kucinta. Kini, aku harus merelakanmu kembali ke sisi-Nya. Biarlah cinta ini kupendam selamanya bersama dengan terkuburnya jasadmu.”
Cerpen Karangan: Shahibah Kusuma Blog / Facebook: Shahibah Kusuma