Ditengah berkecamuknya rasa, dia bertahan. Mencoba untuk tetap kuat. Walau sebenarnya ia rapuh, tertatih karena luka yang terus menyayat. Sedih, marah, kecewa, hingga mual dan muak. Dia harus menanggung semua. Apakah ini berat? Tentu saja iya.
Sesak itu terus saja mengganggu. Mengikuti setiap hembusan napas yang terasa semakin berat. Dia terjatuh.
“Alina” Suara lembut pelan memanggil sebuah nama.
“Jangan engkau larut dalam sedihmu” Suara itu terdengar lagi.
“Dia yang menyakitimu telah pergi. Mengapa engkau justru terluka?”
Alina tak tau persis siapa yang yang bicara. Entah itu dari hati atau dari logika pikirannya. Dengan mata yang masih terpejam, suara itu terus menggema.
“Dia telah pergi, sembuhkan lukamu”
Ada ketakutan dalam diri Alina. Dalam ketidak berdayaan tubuhnya, otaknya justru bekerja. Bayang-bayang masa lalu tergambar jelas di kepalanya seperti film yang diputar ulang.
Gilang cowok terkeren di kampus tengah memberikan bunga kepada Alina. Tak lupa kata-kata romantis dia bisikkan di telinganya. Meluluhkan hati Alina.
Ingatan berikutnya berubah, beralih dengan hari-hari indah yang dilewati bersama Gilang. Makan bersama, jalan-jalan, belanja atau hanya sekedar ngobrol di kantin kampus.
Gilang sosok yang sempurna. Baik, tampan, perhatian. Diidolakan banyak wanita. Bahkan beberapa gadis rela berlutut dihadapan Gilang demi mendapatkan cintanya. Dan entah kenapa hanya Alina yang mampu memenangkan hati Gilang.
Kasak kusuk berhembus di area kampus, terutama dikalangan mahasiswi. Gilang, cowok terkeren di kampus, putra tunggal pengusaha kaya telah dipikat oleh gadis biasa bernama Alina. Apalagi kalau bukan dengan bantuan sihir.
Gerah dengan berita yang santer berhembus Alina pernah melabrak beberapa gadis yang tengah bergunjing di toilet. Alina benar-benar kesal.
Lain halnya dengan Gilang, ia terlihat tetap santai meskipun hubungannya dengan Alina menjadi topik hangat. “Biarkan mereka bicara sesuka hati mereka. Kita tidak perlu menjelaskan apapun” ucap Gilang. “Mungkin aku salah karena udah cinta sama kamu. Aku gak sadar siapa aku” “Gak ada yang salah Al. Aku tulus sayang sama kamu. Aku gak peduli dengan omongan mereka”. Gilang berusaha menenangkan Alina.
Setelah Alina tenang, mereka menjalani hidup seperti biasa seperti pasangan kekasih lainnya. Alina berusaha menutup mata dan telinga dengan gosip yang beredar. Dan hubungannya dengan Gilang terus berjalan baik.
Hingga 2 tahun pun berlalu, Alina akhirnya bisa bernapas lega. Ia dan Gilang telah lulus kuliah. Gosip-gosip tak menyenangkan itu sudah tak terdengar lagi. Gilang juga telah akrab dengan keluarga Alina. Dan tengah merencanakan pertunangan dalam waktu dekat.
Pertemuan keluarga telah direncanakan, bahagia menyelimuti hidup Alina. Tapi kebahagiaan itu harus memudar karena selembar kertas.
Undangan pernikahan antara Gilang dengan seorang wanita bernama Denisa tiba-tiba dikirim ke rumah Alina.
Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, Alina berusaha mencari penjelasan. Dihubungilah Gilang, tapi nomornya tak aktif. Dia datangi rumah Gilang tapi lengang. Rumah megah itu terlihat sunyi. Hanya ada seorang satpam dan menurut keterangannya Gilang sudah berhari-hari tidak pulang.
Dan ketika ditanya apakah akan terjadi pernikahan, satpam itu bilang “Iya mbak. Mas Gilang sebulan lagi akan menikah dengan anak dari temennya Pak Darwis”. Pak Darwis adalah papanya Gilang.
Alina hanya terdiam. Hatinya terluka. Kali ini dia sadar jika cinta beda kasta itu memang terlarang. Tak pernah sekalipun Alina memasuki rumah Gilang, atau dipertemukan dengan orangtua Gilang. Gilang seolah menjauhkan Alina dari keluarganya. Lalu rencana pertunangan itu untuk apa?
Harapan palsu yang hanya menghasilkan luka.
Ditengah kekalutan hatinya Alina berusaha menghibur diri. Dia tak mau terus tenggelam dalam luka. Seorang diri Alina pergi ke mall. Dengan berjalan-jalan sejenak, Alina sedikit terhibur. Tapi hatinya kembali meradang tatkala seseorang melintas di depannya. Gilang, menggandeng mesra wanita cantik. Alina mengikuti mereka.
“Apa maksudnya semua ini” Alina segera mendekati Gilang. Gilang terkejut, sontak dia terlihat cemas. Wanita yang tadi bersamanya tengah sibuk memilih baju.
“Kita selesai” bisik Gilang. “Kenapa?” tanya Alina tak percaya. “Aku bosan. Jangan ganggu aku lagi” ucap Gilang sambil berlalu menghampiri pacar barunya.
“Gimana sayang, ada yang cocok bajunya?” wajah Gilang berubah ceria begitu berbicara dengan wanita itu. “Belum nih. Kamu darimana aja sih?” tanya wanita itu. “Tadi ketemu temen lama, biasalah nyapa dia sebentar” ucap Gilang sembari tersenyum. Teman? Secepat itukah hatimu berubah. Cinta yang telah lama terjalin, musnah begitu saja dalam sekejap mata.
Alina yang dari tadi memperhatikan mereka tampak begitu kesal. Sedih, marah, kecewa, campur aduk jadi satu. Sakitnya dikhianati cinta pertama tepat di depan mata. Alina tertunduk lesu. Air mata meleleh di pipinya. Terus mengalir deras. Alina buru-buru menyeka wajah nya.
Dengan lemas Alina berjalan menuju motornya. Ia ingin segera pulang. Dia sudah tak tahan lagi, dadanya terasa sesak.
Di tempat parkir lagi-lagi dia bertemu Gilang. Hatinya semakin sakit. Tanpa berpikir panjang Alina mengendarai motornya dengan kencang, airmata membanjiri pipinya. Alina dikuasai kemarahan. Cinta yang dulu begitu tulus berubah menjadi kebencian yang mendalam. Dia sudah tak peduli lagi dengan apapun. Sakit hatinya harus terbalas. Alina menabrak Gilang.
Brak Alina terjatuh, kepalanya terbentur keras. Sekilas dia melihat tubuh Gilang terpental, lalu diam tak bergerak. Dengan segera darah melumuri tubuhnya.
Alina mendengar teriakan dan suara orang berlarian. Kini bukan hanya hati yang sakit. Tapi sekujur tubuhnya juga terasa sakit tak tertahankan. Alina memejamkan mata.
—
Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri. Suara-suara terus menggema di kepalanya.
“Bangun Alina, jika kamu ingin bahagia inilah saatnya” suara itu terdengar lagi.
Alina terbangun, dia harus segera pergi ke pemakaman. Gilang sudah meninggal.
Di pemakaman terlihat banyak orang berkumpul. Terlihat beberapa teman kuliah Alina dulu juga datang. Tapi tak seorang pun menyapa Alina. Mungkin karena dulu dia adalah sosok yang dibenci.
Alina berjalan mendekat. Seorang wanita berparas cantik menangis histeris disamping makam Gilang. Entah mengapa hati Alina merasa sedih melihatnya. Memang pengkhianatan Gilang telah membuat Alina terluka tapi kematian Gilang juga tak membuat hatinya tenang. Alina justru merasa semakin terluka.
“Kamu telah membunuhku” suara itu terdengar jelas.
Alina menoleh. Gilang berdiri tepat di belakangnya. Wajah Gilang yang transparan terlihat sedih. Alina tersadar dibuatnya. Memang Alina dengan sengaja menabrak Gilang. Dengan kemarahan yang teramat sangat. Alina ingin sakit hatinya terlampiaskan. Ia juga ingin Gilang merasakan sakit.
Inilah kesalahan terbesar Alina. Khilaf karena dikuasai kemarahan hingga merenggut nyawa seseorang. Ia tak tau jika ternyata kematian bukanlah akhir. Membunuh orang yang telah menyakiti juga bukan cara yang baik untuk menyembuhkan luka. Nyatanya kesakitan Alina juga tak mereda.
Gilang masih terpaku menatap Alina dengan sedih. Membuat Alina semakin merasa bersalah. Perlahan tubuh Gilang memudar kemudian menghilang.
Alina berjalan perlahan meninggalkan pemakaman yang membuat hatinya semakin sakit.
Tak jauh dari makam Gilang, Alina melihat seseorang yang tak asing tengah menangis di samping sebuah makam.
“Mama” pekik Alina.
Alina segera mendekat, cepat sekali Alina berjalan. Tubuhnya seringan kapas.
“Siapa yang meninggal ma?” tanya Alina.
Mama Alina hanya menangis, tak ada kata-kata yang terucap.
Alina lalu melihat makam yang tengah ditangisi mamanya. Dari situ Alina paham. Nisan di makam itu bertuliskan namanya, Theresia Alina.
Cerpen Karangan: Wiwin Ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio