Dua mata pilu itu, masih saja menahan air tergenang yang sudah lama ingin terjun bebas dari pelupuk matanya, bibirnya yang semula merah merona kini pucat pasi tak berdaya, Ia masih saja menggelutkan dirinya dengan selimut putih tebal yang kini mulai sedikit basah karena keringat dingin yang terus mengalir dari tubuh semampainya. Tapi hari ini, mau tidak mau ia harus memasang topengnya kembali ia tak ingin melewati momen yang sangat penting ini.
“Kini keadaanya sudah semakin tak terkendali, hanya doa yang mampu kita berikan sebagai penyemangatnya” “Aku tidak papa bu” menyaut dari dalam ruangan
Seperti biasa perkataan itu membuat mata pilu lain mulai melemah, ia benci melihat mata lemah itu, namun bagi wanita paruh baya sepertinya hanya itu yang bisa ia utarakan saat ini, terus berbohong ia sudah mulai tak sanggup, Ia tau saat ini pelitanya sudah mulai redup ia tak ingin pelitanya padam dengan cepat.
“Bu…???” “Iya sayang??” “Apa bisa ibu mengantarkanku ke kamar mandi aku ingin mandi dan berwudu”
Dengan tertatih-tatih ia berjalan menyusuri lantai demi lantai terkadang langkahnya terhenti sejenak, karena ia merasa sedikit lelah ataupun tak sengaja menabrak sesuatu yang berada di depannya. Namun, gadis itu masih saja berlagak sombong ia selalu merasa dirinya tak lemah, ia terus memasang topeng yang biasa ia tunjukkan ke orang-orang di sekelilingnya.
Hufffff… akhirnya sampai juga serasa aku berjalan menelusuri lembah dan jurang padahal aku hanya berjalan sejauh 4 meter saja. Ujar Syila
Setelah sampai di kamar mandi gadis itu pun langsung menghidupkan keran air, mendengar suara air mengalir merupakan salah satu hobinya katanya suara air mengalir itu merdu dan menenangkan, ia bisa melupakan sedikit gundah larahnya. Namun, yang paling menenangkan baginya ketika ia membasuhkan air itu perlahan demi perlahan ke tubuhnya.
“Kamu jangan terlalu lama main airnya sayang nanti masuk angin” “Iya bu ini aku sudah selesai”
Setelah selesai membersihkan diri, Syila bersama keluarganya pun melaksanakan salat subuh berjamaah. Setelah itu, mereka harus bergegas untuk berangkat menuju Universitas untuk menghadiri wisuda Syila. Sebenarnya ibu syila tak ingin mengizinkan putrinya itu pergi namun, keras kepala Syila itu tidak ada yang bisa mengalahkannya.
“Acara 10 menit lagi akan segera dimulai” Pengumuman dari panitia
Tak ada banyak hal yang Syila minta saat itu, ia hanya ingin tetap berada di ruangan itu hingga acara selesai. Namun, sepertinya permintaan Syila itu terlalu berat untuk dikabulkan, dunia sepertinya mulai tak berpihak kembali padanya. Karena kini kepalanya mulai menjahilinnya kembali, matanya pun tidak kalah kejamnya mendatangkan rasa itu di waktu yang tidak tepat, Hingga.
“BRUAKKKK…”
Dan seperti biasa, ia kalah kembali dalam pertarungan itu. Syila yang tak berdaya langsung digotong kembali untuk menuju tempat di mana seharusnya ia berbaring mata pilu lainnya yang Syila benci kembali meneteskan air mata. Apa yang dikhawatirkan sang ibu akhirnya terjadi. Syla kembali menjadi pusat perhatian di tengah keramainan.
“Ibu…” “Iya sayang?” “Apa acaranya sudah selesai?” “Sudah sayang ini kita sudah di rumah sakit lagi” “Bagaimana pengumumannya, bu???” “Alhamdulillah sayang, kamu peraih Ipk tertinggi seuniversitas” “Benarkah itu bu???” “Benar sayang, ibu sangat bangga padamu nak” sambil mencium kening Syila “Alhamdulillah ya Allah”
“Oiya sayang ada yang ingin berjumpa denganmu, sudah dari tadi ia menunggu kamu siuman” “Siapa bu?”
“Assalamualaikum ibu negara” “Ahhhh suara nyaring itu, aku sudah lama merindukannya” “Ini aku bawakan bunga mawar putih berjumlah 8 tangkai kesukaanmu. Ini hadiah dariku di hari kelulusanmu” Syila hanya bisa tersipu malu menatap Hamdan, sembari menahan rona pipinya yang mulai memerah
“Bagaimana kau bisa tau aku berada di sini komandan? Apakah ibu yang memberi tahumu???” “Aku tau semua tentang dirimu termasuk ukuran bajumu” “Ahh kau ini selalu saja meledekku” “Hahaha… aku hanya bercanda ibu negara”
“Oiya apakah kamu mau menemaniku berjalan-jalan di taman??” “Tentu saja komandan rasanya aku sudah bosan berada di ruangan ini terus, tapi apakah boleh bu?” “Tentu saja boleh sayang”
Hamdan pun segera mendorong kursi roda kekasihnya itu menuju taman rumah sakit, ia sudah tidak sabar ingin memberikan kejutan yang lainnya untuk Syila, ia sangat berharap Syila akan menyukai kejutan itu.
Benar saja sesampainnya di taman, Syila langsung terpukau menyaksikan keadaan taman yang sudah dihiasi dengan ornamen-ornamen indah seperti balon berbentuk hati berwarna merah, buket mawar putih yang sangat besar, dan alunan suara biola yang dimainkan dengan merdunya, ia tidak menyangka kekasihnya itu begitu romantis padanya.
“Ini semua kamu yang buat???” “Iya dong, aku sudah mempersiapkan ini semua dari tadi, apakah kamu suka ibu negara???” “Tentu saja aku sangat menyukainnya, terima kasih komandan” sambil memeluk Hamdan “Eitttss tunggu dulu, kejutan ini belum berakhir ibu negara masih ada kejutan spesial lainnya” “Kejutan spesial??” “Iya, tapi pejamkan dulu kedua mata indahmu itu. Setelah itu, baru aku akan memberikannya” “Apa kau ingin mengerjaiku komandan???” “Tentu saja tidak ibu negara, sudah pejamkan saja dulu!!!” “Baiklah”
Beberapa menit kemudian
“Sudah bukalah!”
Sembari berlutut di depan Syila dan memegang sebuah kotak merah berisikan cincin dengan permata yang sangat indah Hamdan pun berkata “Will you merry me???”
Mendengar ucapan dan hal yang dilakukan kekasihnya itu, sontak Syila terkejut hingga membuat matanya berkaca-kaca memancarkan binar kebahagian yang tiada tara.
“Apakah kau mau menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak ibu negara???” Pertanyaan itu kembali diperjelas dan sangat nyata dipendengaran Syila, sambil meneteskan air mata Syila pun menjawab “Tentu saja komandan, Aku sungguh sangat mencintaimu dan aku ingin…”
Namun, saat ingin melanjutkan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh sang kekasih, mendadak saja hal yang tak pernah Syila inginkan lagi terjadi, kembali terulang. Tiba-tiba saja Penglihatan Syila memudar, dunia serasa mendadak menghilang dari pelupuk matanya, hidungnya kembali mengeluarkan darah, kini badannya tergeletak tak berdaya, ia kembali dikalahkan oleh penyakitnya dan kali ini ia benar-benar kalah tepat di pelukan Hamdan, sang kekasih.
Hari itu serasa menjadi mimpi buruk bagi Hamdan, hari yang dianggapnya sebagai hari bahagia, kini berubah menjadi hari duka baginya.
Cerpen Karangan: Nadia Suci Fauziyyah Blog / Facebook: Na Sufa