Kita pernah bercengkrama tentang Hayati dan Zainuddin dalam film tenggelamnya kapal Van Der Wijck, kau juga bilang bahwa kau sangat menyukai film itu, hingga kau sangat berantusias setiap film itu diputar kembali.
Aku yang duduk di sebelahmu, hanya memandangmu sambil menyeruput kopi hitam buatanmu yang selalu kau takarkan dengan satu setengah sendok gula, dan seujung sendok kopi yang hanya dibeli di toko pak Ahmad. Kau juga bilang kalau takarannya tidak tepat aku akan langsung merubah ekspresiku menjadi tidak sedap. Jika kau melihat ekspresiku itu, kau akan takut sembari menahan tawa.
Aku juga pernah mendengar keinginanmu untuk menyaksikan matahari terbenam dari pelabuhan Mahakam, lalu kau bermain bersama deburan ombak sungai yang terhantam oleh kapal-kapal yang sedang berlalu lalang. Kau memang tidak mengatakannya langsung kepadaku, aku mengetahui itu semua dari balik dinding bilik kita saat aku harus menyelesaikan pekerjaanku di ruang kerja, kau yang berkata ingin beristirahat. Namun, yang kudengar melalui tembok putih itu, sepercik keinginan yang telah lama kau pendam. Kau berbagi keluh kesah lewat tembok itu, tapi kau tak pernah membaginya kepadaku, dengan alasan tak ingin menyusahkanku karena keinginan bodohmu itu.
Aku yang mendengar dari bilik sebelah menahan luka bagaimana aku tidak bisa mengetahui keinginan terpendammu yang sedari lama kau genggam erat, potongan foto mengenai pelabuhan yang kau pajang di sudut kamar tak pernah kuhiraukan, kau juga sering bercerita tentang kemolekan sungai Mahakam yang terkandung kau iri dengannya, padahal bagiku kau lebih segalanya dari pada apapun, buku-buku yang sering kau baca mengenai pelabuhan yang selalu tersusun rapi di rak putih sehabis selesai kau membacanya juga tak pernah kumengerti di balik alasannya.
Semenjak itu, tekadku semakin kuat aku akan mewujudkan keinginan yang telah lama kau pendam seorang diri, melalui list yang telah kubuat yang terdiri dari perjalanan yang akan kita lalui dengan mobil Robocon hitam yang katamu segagah diriku saat kau melihatnya melintas petang lalu.
Aku memang sengaja meminjamnya dari teman ayahku karena aku ingin membuatmu bahagia, lalu aku juga telah membelikanmu gamis dengan hijab berwarna putih bersih yang akan kau kenakan pada hari ahad, bukan tanpa alasan kau menyukai warna itu, bagimu warna putih itu sangat suci dan Indah, sesuci dan seindah cinta kita yang telah kita bina selama sepuluh tahun lamanya.
Tak lupa aku juga akan membawakanmu kue brownies buatan ibumu yang selalu kau banggakan di depanku, setiap kali aku membeli kue jenis itu dari tokoh Amanda di perempatan jalan rumah kita. Aku semakin tidak sabar menyaksikan raut kebahagiaan yang terpancar dari wajah cantikmu itu, Hayati.
Sembari menghitung hari menuju keberangkatan, aku berusaha menyimpan semua rencanaku itu, walaupun sesekali lidahku sangat tidak bersahabat untuk memberitahukannya kepadamu. Namun, saat malam sebelum kita akan berangkat ke pelabuhan Mahakam kau tidak seperti biasanya kau selalu tersenyum dengan senyuman yang sulit kuartikan. Kau juga mengucapkan kata cinta bahkan sangat cinta kepadaku berulang kali selepas kita menunaikan shalat Maghrib tadi, kau juga tidak ingin melepaskan genggaman tanganmu walaupun kita sedang berada di rumah, aku hanya bisa tersipu menyaksikan kemanjaanmu itu, besok aku akan membawamu menyaksikan matahari terbenam dan deburan ombak di sungai Mahakam, kau juga bisa berteriak sekencang mungkin jika kau ingin, kita juga akan menyaksikan film kesukaanmu lewat laptop kerjaku.
Kini waktunya pun tiba kini kita sudah berada di pelabuhan Mahakam, Hayati. Kau lihatlah semua itu sangat indah, bukan? Sinilah Hayati duduklah di sampingku, kita akan memulai menyaksikan film tenggelamnya kapal Van Der Wijck, film kesukaanmu dengan secangkir kopi namun kini bukan dengan kopi buatanmu melainkan dengan tetes air mata pertanda rinduku kepadamu yang kini sudah berbeda di alam yang berbeda.
Cerpen Karangan: Nadia Suci Fauziyyah Blog / Facebook: Na Sufa