Tiara mendorong kursi rodanya perlahan. Entah kenapa Tiara merasa ingin berjalan-jalan sehingga ia pun memutuskan untuk berkeliling di sekitaran rumah sakit. Terlihat ada keluarga yang saling memberikan pelukan satu sama lain. Mereka juga saling memberikan pundak pada satu sama lain untuk dijadikan tempat menangis. Tiara menduga bahwa mereka kehilangan salah satu keluarga mereka. Mungkin. Ini hanya dugaan Tiara saja.
Tiara menghembuskan napas pelan. Melihat hal itu, Tiara berhenti mendorong kursi rodanya. Tiara membayangkan bagaimana kematiannya suatu hari nanti. Apakah akan ada banyak orang yang berduka untuknya? Adakah orang yang menangisi kematiannya? Adakah orang yang selalu mengingat kenangan saat bersamanya ketika ia sudah mati? Atau adakah orang yang akan mengunjungi makamnya setiap hari karena rasa rindu yang tak tertahan? Tiara menggelengkan kepalanya pelan. Jawaban dari semua pertanyannya adalah tidak tahu.
Ia tak sanggup membayangkannya. Mendadak air matanya menetes sedikit demi sedikit. Entah sampai kapan Tiara akan sembuh dari penyakitnya. Tiara sudah tak sanggup memiliki penyakit seperti ini. Tiara lelah. Bahkan keluarganya pun sering mengeluh tentang biaya rumah sakit dan sebagainya. Tiara merasa dirinya adalah beban bagi keluarganya. Tiara berharap cepat mati dan keluarganya tidak lagi kesusahan menanggung biaya rumah sakit.
Tiba-tiba sebuah topi baseball berwarna biru menutupi wajahnya. Tiara hendak mengangkat kepala untuk melihat siapa yang memakaikan topi di kepalanya. Tetapi tangan seseorang menahan kepalanya. Perlahan tangan seseorang itu membuat kepala Tiara semakin menunduk. “Menangislah sepuasmu” ucap seseorang itu pada Tiara. Dua kata yang cukup sederhana dan membuat air mata Tiara semakin deras. Selama ini ia hanya dengar larangan menangis dari orang-orang sekitarnya. Ia dipaksa berdiri tegak meski angin topan melanda kehidupannya. Ia kini tak sanggup berdiri tegak. Ia tak sekuat yang dipikirkan orang-orang.
—
“Apa perasaanmu sudah membaik?” tanya Rei pada seorang gadis yang duduk di hadapannya. Gadis itu mengangguk. Setelah menangis, Rei mengajak gadis itu makan di kedai pangsit dekat rumah sakit. Gadis itu memakan pangsit dengan lahap. Sejak tadi Rei penasaran dengan gadis itu. Rei menebak-nebak jika gadis itu berumur sekita dua puluh tahunan. Lalu siapa namanya? Rei mengangkat bahu.
Beberapa menit kemudian, gadis itu menaruh sendok dan garpu seperti bentuk silang. Pertanda sudah selesai makan. Rei pun buru-buru menanyakan nama gadis itu. “Siapa namamu?” tanyanya pada gadis itu. Gadis itu menatap Rei.
“Tiara” jawab gadis itu tanpa ragu-ragu. Rei mengerutkan dahi. Tiara? Seperti nama cinta pertama Rei sewaktu masih kecil. Rei takkan pernah melupakan sosok cinta pertamanya. Namun apa benar Tiara yang itu? atau Tiara lain? Tiara tidak hanya satu. Pemilik nama Tiara sangat banyak.
“Tiara… Safitri?” Tanya Rei menebak dengan nada gugup. Gadis itu mengangguk. Secara mendadak Rei merasakan jantungnya berdetak kencang. Rei juga mendadak mengingat awal pertemuannya dengan Tiara. Pertemuan yang berawal dari sebuah topi biru. Itulah kenapa topi yang dipakai oleh Rei saat ini berwarna biru. Karena topi biru milik cinta pertamanya. Ya. Milik Tiara. Tiara bahkan mengaku bahwa ia menyukai warna biru saat masih kecil. Bukan hanya warna biru. Tapi sesuatu yang berkaitan dengan biru. Laut, pantai, dan langit memiliki warna biru.
Tiba-tiba saja petir bergemuruh. Rei dan Tiara mengalihkan pandangan ke arah langit secara bersamaan. Langit hari ini tak berwarna biru, melainkan abu-abu. “Langit menangis hari ini” ujar Tiara pelan masih sambil memandangi langit yang perlahan mulai meneteskan air. Kini Rei beralih menatap Tiara. Menatap keindahan dan kecantikan Tiara yang tak pernah membuat Rei bosan memandangnya terus-menerus. Hingga tanpa sadar, Rei ikut menyunggingkan senyumnya ketika Tiara tersenyum.
—
Tiara menoleh ke arah lelaki di hadapannya, “Rei? Senang bertemu denganmu lagi, tetapi pertemuan kita di waktu yang salah” gumam Tiara. Lelaki di hadapannya saat ini adalah teman lamanya. Rei Givandra. Rei mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Waktu yang salah?” tanya Rei. Tiara mengangguk pelan sebagai jawabannya. “Aku mengidap kanker stadium akhir. Waktuku tidak lama lagi” jelas Tiara. Mata Rei terbuka lebar ketika mendengar penjelasan Tiara. Keadaan hening seketika.
“Selalu ada cara untuk sembuh. Aku yakin ada, Tiara. Percayalah padaku” ujar Rei meyakinkan. Tiara tersenyum, lalu menggeleng. Tiara sudah menjalani kemoterapi. Bahkan operasi berkali-kali yang cukup menghabiskan banyak uang. Tetap saja tidak mempan pada dirinya. Kanker itu masih ada di dalam tubuhnya. Kanker yang diidapnya seolah memberitahunya cara mengakhiri hidup dengan cepat.
Keadaan menjadi hening untuk kedua kalinya. Kali ini lebih lama. Hujan masih belum berhenti. Tiara ingin kembali ke ruangannya. Tiara merasa sekujur tubuhnya dingin dan agak lemas. Tiara butuh istirahat.
“Ayo akan kuantar ke ruanganmu. Sudah malam waktunya tidur” ajak Rei. Seolah tahu isi pikiran Tiara. Tiara hanya mengangguk setuju. Rei beranjak dari kursinya dan mendorong kursi roda milik Tiara menuju ruangannya.
—
Keesokan harinya Tiara melihat Rei tertidur disampingnya. Tiara mengingat-ingat lagi tentang kejadian tadi malam. Tiara ingat bahwa Rei mengajaknya berbincang-bincang sampai Tiara tertidur lelap. Hanya itu yang ia ingat. Ia yakin jika dirinya dan Rei tidak melakukan lebih dari itu. Ia mengangguk yakin. Ya. Kita berdua hanya berbincang tentang masa kecil.
Tanpa ia sadari, tangan Rei menggenggam erat tangannya semalam hingga kini. Rei mengangkat kepala lalu mengucek matanya bergantian. Masih dengan posisi tangan yang menggenggam tangan Tiara begitu erat. Seolah takut ditinggal pergi selama-lamanya oleh Tiara. Tiara mendengar suara Rei menguap. Rei sudah bangun. Tiara langsung mengalihkan pandangan ke arah jendela. Pura-pura tidak tahu bahwa Rei sudah bangun.
Perlahan Rei melepaskan genggamannya dari tangan Tiara. Beranjak dari kursi, kemudian melakukan peregangan otot sambil sesekali menguap. Setelah itu mengucapkan selamat pagi pada Tiara. Tiara membalasnya dengan deheman pelan. Namun Rei tak mendengarnya karena terlalu pelan. Rei membungkukkan badannya untuk menatap Tiara. “Selamat pagi, Tiara” ucap Rei lagi. Tiara memutar kepala sejenak untuk menatap Rei.
“Iya, aku mendengarmu” ujar Tiara dengan raut muka datar. Wajah Tiara juga tampak pucat. Rei yang menyadari hal itu langsung memanggil dokter. Tiara tampak menahan sakitnya.
“Bersabarlah sebentar. Dokter sedang menuju kesini” yakin Rei pada Tiara. Tiara mengangguk pelan. Tiara merasa tak sanggup untuk bicara atau pun bergerak. Seluruh badannya kesakitan.
—
Kini Rei berada di pemakaman. Baru saja ia merasakan bahagia karena bisa bertemu kembali dengan cinta pertamanya. Ternyata itu adalah pertemuan terakhir Rei bertemu dengan cinta pertamanya.
Pemakaman Tiara terlihat ramai. Banyak orang yang berkabung atas kepergiannya. Banyak orang yang menyayangi Tiara. Suara tangisan dari orangtua Tiara terdengar di telinga Rei. Mereka pasti merasa sangat kehilangan Tiara. Rei berbalik badan dan melangkah meninggalkan orang-orang yang sedang berkabung disana. Air mata Rei membasahi pipinya selagi ia berjalan. Dengan berat hati, ia mengucapkan selamat tinggal pada Tiara.
Selamat tinggal, Tiara. Selamat tinggal, cinta pertamaku. Aku akan selalu mengingatmu sebagai cinta pertamaku yang tak pernah kumiliki seumur hidupku, ucap Rei dalam hati.
Cerpen Karangan: Purwati dirahasiakan