Ngiingg, suara berdengung membangunkanku. Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, yang pertama kulihat adalah warna putih dari warna langit-langit kamarku. Aku berusaha menggerakan tubuhku, lalu terduduk di pembatas kasur. Kepalaku terasa pusing, pandanganku berputar-putar. Namun perlahan semua kembali normal. Fuhhh haaa, hembusan nafasku terdengar cukup keras. Ini biasa kulakukan selepas bangun tidur untuk membuat tubuhku lebih segar, dan perasaanku menjadi tenang.
Meski aku sudah terbangun sepenuhnya, entah mengapa ingatanku tidak terlalu jelas. Mungkin akan kembali dengan sendirinya. Aku berjalan keluar kamar, lalu mencari makanan atau minuman di kulkas, namun tak ada apapun di dalamnya. Sepertinya aku lupa membeli kebutuhan sehari-hari kemarin.
Aku memutuskan untuk keluar mencari makanan. Dengan mengenakan jaket hitam dan celana jeans pendek, kutelusuri jalan setapak di sekitar rumahku.
10 menit aku berjalan, suara kendaraan yang melintas di jalan raya menjadi semakin jelas. Rumahku terletak sedikit jauh dari jalan utama. Kendati begitu, untuk ke pusat kota dapat ditempuh hanya berjalan kaki. Ada begitu banyak orang yang berlalu lalang, mereka terlihat begitu terburu. “Yah, itu sudah pasti karena sekarang hari senin. Hari tersibuk para pekerja”. Gumamku.
Aku pun berjalan tak menghiraukan orang-orang disekelilingku, mereka seakan menganggapku tak ada. Yah itu bukan hal yang aneh, mengingat kita tidak saling mengenal. Tak lama bentuk dari bangunan yang kutuju mulai terlihat, dengan ciri khas warna merah kuning dan biru seperti bendera negara.
“Selamat datang, selamat berbelanja kakak.” seorang pekerja wanita yang sedang melayani barang-barang pembeli tak lupa mengucapkan kalimat mainstream itu padaku yang baru saja masuk. Aku tak menghiraukannya dan segera melangkah ke bagian cemilan dan roti.
Selama 10 menit aku memilih belanjaan yang kubutuhkan, setelahnya aku kembali ke kasir dimana wanita yang tadi menyapaku. “Sudah semuanya kak?” “Iya.” “Pulsanya sekalian kak?” tawarnya padaku. “Tidak.” “Baik, totalnya jadi 130.000 rupiah kak.”
Aku merogoh kantong dimana dompetku berada untuk mengeluarkan 3 lembar uang berwarna biru dan menyerahkannya. “Uangnya 150.000 rupiah ya, jadi kembalinya 20.000 rupiah. Yang 20.000 rupiahnya ingin didonasikan?” Aku mengerutkan dahiku, hampir menyatukan kedua alisku, “hahh?!” “Hehe, bercanda kak. Ini kembalinya ya, 20.000 rupiah terimakasih. Hati-hati dijalan, datang lagi ya” ucap gadis itu dengan senyuman, aku tidak mempedulikannya dan mengambil barangku.
Setelah keluar dari supermarket itu, aku tidak ada rencana ingin kemana lagi. Awalnya aku ingin pulang, tapi kurasa aku akan ke taman kota yang jaraknya sendiri tidak terlalu jauh, hanya 5 menit jalan kaki.
Krucuk, sial perutku berbunyi cukup keras untung tak ada orang yang menyadarinya, meskipun ada mereka pasti tidak akan peduli karena mereka sibuk dengan dunia di pikiran dan gadgetnya masing-masing. Sejak bangun tadi aku belum makan apapun.
Aku mengambil salah satu cemilan yang tadi kubeli, nasi yang berbentuk gulungan dan dibalut oleh rumput laut dengan tulisan di bungkusnya ‘Onigiri uenakk’. Aku memakannya sambil berjalan menuju ke taman kota. Untuk sampai kesana aku harus melewati pertigaan dengan lampu merah lalu ambil kanan.
Durasi lampu hijau disini sangat lama sekali, bisa mencapai 2 menit. “Gilaa, apa yang membuat lampu hijau disini sangat lama” gumamku.
Saat tengah menikmati onigiri keduaku, dari seberang jalan seorang gadis ber dress merah dengan rambut coklat tengah berdiri melamun di tengah kerumunan orang yang menunggu lampu merah. Entah kenapa ia menarik perhatianku, karena terlihat cantik, namun hanya sebatas itu tidak lebih. Ketika aku masih melihatnya, tanpa diduga ia juga melihatku balik. Mata kami saling bertemu ia pun tersenyum yang mana membuatku seketika mengalihkan muka ke tempat lain. Nasib baik lampu sudah merah aku segera pergi sebelum aku menjadi salah tingkah karena terus ditatap olehnya.
Setibanya di taman aku pergi ke kursi panjang di bawah pohon rindang di ujung taman. Dari sini aku bisa melihat hampir ke semua sudut taman, juga tanpa terganggu oleh suara kendaraan yang berlalu lalang karena sedikit jauh dari jalan utama. Aku duduk lalu membuka belanjaan yang kubawa tadi, melihat aktivitas orang lain sembari menikmati makanan yang kusantap.
Disaat aku tengah menikmati makananku, seseorang duduk di sampingku. Dengan gaun berwarna merah yang tergerai oleh angin dan rambut coklatnya. Ya, aku tau siapa dia. Dia adalah gadis yang tadi kutemui di lampu merah. Ia tersenyum menatapku, tanpa basa basi dan tanpa merasa bersalah, ia mengambil secuil makanan yang kupegang dan memakannya.
“Hmm, sudah kuduga. Roti dengan isi selai kacang dan bertekstur kasar di permukaanya namun sangat lembut di dalamnya. Ini pasti kamu membeli di minimarket sebelum pertigaan tadi ya kan?” ucapnya sembari membersihkan sisa remah roti di tangannya. “Yah, roti di minimarket itu memang enak, aku juga tidak heran jika ada yang menyukainya selain aku.” lanjutnya sembari tetap mengambil roti yang kupegang dan memakannya.
“Hoi? Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku tidak tahan melihat ia terus mengambil rotiku hingga habis. “Memakan roti” jawabnya dengan santai “Dan roti siapa yang kau makan itu?” tanyaku kembali. “Tentu punyamu, memang punya siapa lagi? Punya pak tua yang ada disana?” jarinya menunjuk ke kakek tua yang sedang berjalan-jalan dan ia pun sadar jika jadi bahan perbincangan dan tersenyum menunjukan gigi depannya yang tidak ada. Sedangkan gadis itu membalas dengan melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum tanpa merasa bersalah. Dalam hati aku merasa geli karena itu lucu, tapi aku tak menunjukkan ekspresiku karena saat ini aku sedang marah.
“Sudah tau roti tadi punyaku tapi mengapa kau main makan begitu saja, kita bahkan tidak saling kenal” sergahku. “Kalau begitu kita kenalan, aku Sarah” ia tersenyum lepas menunjukan gigi putihnya tanpa beban.
Ada yang salah dengan otak gadis ini. Tapi jujur nama itu sedikit tidak asing, aku merasa pernah mendengarnya namun ingatanku masih belum jelas. Ngiingg, tiba-tiba kepalaku terasa sakit, reflek aku memegang kepalaku dengan sedikit meringis.
“Hey kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil memegang pundakku mencoba mencegah agar aku tak jatuh. “Kau pasti tidak sarapan, nah makan ini biar kenyang.” ia mengambil isi belanjaanku dan menyerahkannya padaku. Sungguh tingkahnya sangat absurd bertolak belakang dengan wajahnya yang cantik. Aku mengambilnya lalu meletakkannya ke dalam kantong belanjaan berniat meninggalkan gadis tidak jelas ini. Itulah niatku namun tanganku digenggamnya tak membiarkanku pergi.
“Apa kau tak punya tata krama?” kedua alisnya nyaris bertaut, genggaman tangannya kuat juga. “Aku tak ingin mendengar kalimat itu keluar dari seseorang yang memakan makanan orang lain tanpa permisi.” ketusku. Genggamannya melonggar, “baiklah, aku minta maaf soal itu. Tapi bukan itu yang kumaksud. Aku sudah mengenalkan diriku tadi, tapi kau belum mengenalkan namamu. Apa hal itu pantas dilakukan seorang lelaki kepada perempuan?” “Hmm, aku tak peduli.”
Aku berjalan menjauh darinya, hari ini aku luang dan berniat menghabiskan hariku dengan tenang di rumah. Atau mungkin aku akan pergi ke rumah teman, tunggu dulu apa aku sebelumnya punya teman. Ahh, sial kepalaku masih pusing jika mencoba mengingat-ingat. Apa yang salah denganku? Dan juga. “Kenapa kau mengikutiku?!!” aku berbalik menatap gadis aneh ini, ia hanya bersiul-siul tanpa terganggu. “Aku tidak akan pergi sebelum kau memberitahu namamu.” jawabnya. “Terserah kau.”
Itulah ucapanku sebelumnya, aku mengujinya dengan pergi tanpa arah tanpa tujuan untuk memastikan. Sialnya, ucapannya adalah benar. Sudah hampir 1 jam aku berjalan tanpa arah ia masih terus membuntutiku seperti seekor anak anjing. Aku berhenti, langkah kakinya juga berhenti. Aku berbalik, “sungguh apa kau tidak memiliki kerjaan lain selain menggangguku?” ketusku, kulihat ia tersenyum, mengangkat telunjuknya ke samping pelipisnya seperti tengah berpikir. “Hmm, tidak ada. Kebetulan aku sedang luang. Aku sudah mengatakannya aku tidak akan pergi sebelum kau memberitahukan namamu kepadaku.” “Hahh, astaga… Roy…” “Hmmm…?” kedua alisnya terangkat. “Roy, namaku roy apa kau puas. Sekarang pergilah jangan membuntutiku.” “Oohhh” mulutnya membentuk kerucut. Tanpa mempedulikannya lagi aku pergi balik. Dan baru puluhan langkah berjalan, aku kembali berhenti. Aku sudah kehabisan kesabaran.
“Sekarang, apa yang kau mau?? aku sudah menyuruhmu jangan membuntutiku.” “Aku tidak membuntutimu… Weee” lidahnya menjulur, mengejekku. “Lalu saat ini apa?” nada semakin tinggi. Aku sudah benar-benar kesal dibuatnya. “Kurasa kau salah paham, tadi kau memintaku untuk tidak membuntutimu, sedangkan aku saat ini berjalan disampingmu. Hm, hm.” ucapnya dengan tangan berlipat di dada. “Haahh??” “Dan juga karena kau sudah memberitahu namamu, sebagai permintaan maaf karena aku sudah memakan makananmu, aku akan mentraktirmu makan.” ucapnya. Sebelum aku menjawab, ia sudah menggenggam tanganku lantas menarikku. “Hei, aku belum menjawabnya. Dan jangan menarikku…!” Sial, tenaganya begitu besar. Ia terus menarikku, tanpa memberiku kesempatan untuk kabur. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
Awalnya ia membawaku ke sebuah cafe bergaya klasik. Dengan nuansa jaman 90 an, namun tempat itu begitu nyaman. Kami memesan menu yang sama, lebih tepatnya dia yang memilihkan menuku. Dasar cewek aneh, tapi aku tidak bisa bilang aku tidak menyukainya. Justru makanannya sangatlah enak, aku sungguh terkesan.
Selama makan, ia terus berbicara panjang lebar. Aku hanya menanggapi seperlunya dan menunjukan sedikit mungkin ketertarikan. Tapi makin lama, aku mengikuti ritme percakapannya hingga kami keluar dari cafe. Ia masih mengajakku terus jalan-jalan. Dan kini aku sama sekali tidak menolaknya, kurasa seperti ini tidaklah buruk juga. Hingga kami tiba di pantai, untuk menikmati sunset bersama, ada banyak pengunjung di sekitar. Aku sama sekali tidak tau saat ini sudah jam berapa, sudah seharian aku bersamanya, dan aku sama sekali tidak melihat adanya jam dinding di sekitar. Yah aku tidak peduli. Jika dilihat matahari terbenam itu berarti sudah jam 5-6 sore.
“Indah ya?” Sarah mengatakannya sambil melihat ke arah matahari yang mulai terbenam. Aku mengiyakannya, “tapi itu hanya sementara, karena gelap malam akan mulai menghapus keindahan itu.” “Ya kau benar, itu membuktikan semua yang indah tak ada yang abadi di dunia yang fana ini–” “Tapi selagi diberi kesempatan kau harus menikmatinya, sebelum kegelapan menghapusnya.” ucapnya dengan melihat mataku. Aku tidak mengerti perasaan ini dan juga kalimatnya. “Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti. “Kurasa kau mengerti maksudku, Sam.” ucapannya membuatku terkejut, “Darimana kau tau nama asliku?” ya Roy hanya nama palsuku. “Tentu aku mengetahuinya, aku tahu segalanya tentangmu Sam. Kita sudah bersama cukup lama, dan tempat ini selalu kita kunjungi bersama untuk menikmati sunset.”
Sarah… Sarah… Sarah…
Ngiiinnggg… Kepalaku seketika begitu sakit, beberapa kilasan ingatan mulai muncul. “Kita seharusnya bisa bersama kau tau, sebelum kau mulai mengenal barang haram itu. Aku tidak pernah menyalahkan semuanya padamu, karena aku juga tidak bisa menjagamu dengan baik. Kurasa ini memang takdirnya.” “aakhhh…” kepalaku serasa mau pecah, kilasan itu mulai muncul satu persatu, aku mulai mengingatnya…
“Sudah saatnya kita berpisah…” “Tunggu kau mau kemana, Sarah? apa maksudmu berpisah? maafkan aku atas semuanya Sarah. Kumohon jangan pergi Sarah…” Tanah di pandanganku mulai runtuh perlahan menuju ke arahku. Begitu pula, dunia yang mulai menjadi gelap gulita.
—
Di sebuah kamar, dengan kondisi yang berantakan terlihat televisi menyala menampilkan sebuah berita. “Terjadi kecelakaan lalu lintas, saat ini polisi tengah mengolah TKP. Menurut penuturan polisi, korbannya seorang wanita bernama Sarah Pramuditha, seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta. Ia korban tabrak lari sebuah mobil yang diduga, pengemudi dalam keadaan mabuk. Dikatakan petugas sudah menemukan lokasi pelaku dan tengah menuju ke tempat pelaku. Saat ini…”
TV terus menyala, seakan menemani seorang pria yang terkulai lemas di ujung ruangan. Terlihat sebuah jarum suntik tergeletak disampingnya, dan sebuah telepon genggam di tangan kirinya menampilkan sebuah pesan ‘maafkan aku bu, aku tidak pantas menjadi pasangan yang baik untuk Sarah, ia meninggal karena aku.’
“Maafkan aku Sarah…”
Tak berselang lama polisi menemukan dirinya sudah tak bernyawa diduga mengalami overdosis narkoba.
Cerpen Karangan: Fachrur Rozzy