Di ladang ini aku berjalan, melintasi jiwa-jiwa yang sudah tidak bernyawa. Menahan semerbak anyir darah yang bertebaran dimana-mana. Berharap seseorang dapat menghentikan peperangan ini. Aku tidak ingin berakhir disini. Masih ada orang yang menunggu kedatanganku.
Hari mulai senja, kulihat mereka pergi setelah menghancurkan pasukan kami. Aku segera meninggalkan lapangan, membiarkan rekan-rekanku beristirahat. Kini mereka telah tiada, seluruh tanggung jawab diserahkan padaku. Aku berusaha menahan air mata yang terbendung. Tubuhku gemetar dengan detak jantung yang tak karuan. Tetap berjalan tanpa melihat kebelakang hingga diriku tiba pada gubuk tua peninggalan kakek. Disana aku bertemu dengan Ayah. Beliau menyambutku dengan tatapan penuh haru.
Kami merangkul satu sama lain demi melepas rasa rindu. Sudah seminggu lebih kami berpisah, akhirnya kami dipertemukan kembali di tempat ini. Ayah pikir bahwa aku telah tiada karena tak kunjung pulang. Namun itu tidak benar, aku kembali dengan keadaan selamat. Kuhabiskan waktu dengan menceritakan pengalaman selama perang. Beberapa kali aku melakukan kesalahan, Ayah selalu memberiku nasihat dan ilmu tambahan untuk kemampuan berperangku. Aku bisa melihat betapa lelahnya Ayah terjaga setiap malam karena terus memikirkan anaknya.
Semenjak kematian Ibu sebagai salah satu pasukan perang, Ayah menggantikan posisi Ibu. Beliau mampu merawatku dengan baik hingga seperti ini. Baginya, aku adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia bahkan rela berkorban demi diriku. Namun aku tidak demikian, aku juga ingin Ayah tetap berada disisiku hingga perang ini berakhir. Berkat Ayah, aku dapat tumbuh dengan kemampuan berperang yang sangat baik. Ayah adalah guru sekaligus orangtua dalam hidupku.
Hingga suatu ketika, Ayah harus kembali ke medan perang. Ayah yang mengetahui bahwa pihak militer kekurangan pasukan, langsung mengajukan diri sebagai pasukan garda depan. Perasaanku mulai gelisah, aku tidak ingin Ayah pergi. Namun, dirinya bersikukuh untuk tetap pergi. Seberapa keras pun aku membujuk, Ayah tidak goyah dan tetap mempertahankan prinsipnya. Pada akhirnya, aku membiarkan Beliau pergi.
Aku terus menunggu kabar dari hari ke hari. Berharap Ayah kembali dengan selamat. Pikiranku dipenuhi olehnya sehingga aku hampir celaka dalam suatu pertempuran. Setiap hari aku selalu mengunjungi perbatasan, dan sampailah aku di hari kepulangan Ayah. Dibukanya gerbang yang kemudian disusul oleh beberapa gerobak yang berisi peti mati. Aku mencari-cari keberadaan Ayah, tubuh yang gemetar dengan pikiran berkabut, kedua mata terpaku ketika melihat tubuh Ayah terbalut kain putih. Kali ini, aku tidak dapat menahan air mata dan kesedihan yang merebak dalam diri. Isak tangisku menggema mengalihkan perhatian publik. Aku tidak bisa berhenti meneteskan air mata hingga pemakaman Ayah. Hari itu terasa singkat, dalam sekejap aku kehilangan sosok malaikat pelindungku.
Sejenak, aku merasa ingin berputus asa. Kenangan masa lalu terus menghujani pikiranku. Tetapi, aku tetap mengingat nasihat-nasihat Ayah. Salah satu yang terpenting sebelum Ia meninggalkanku seorang diri.
“Seberapa pahit kehidupan dan latar belakangmu. Kau tetaplah seorang tentara yang mengabdi pada bangsa. Seorang tentara tangguh tidak mementingkan keegoisannya melainkan rasa kesetiannya pada negara. Keluarga kita adalah tentara. Kita adalah tentara yang siap berkorban demi negara!”
Ayah benar, ini belum waktunya menyerah. Tujuanku ada jauh di depan, sementara hari ini baru permulaan. Aku tidak akan mengecewakan mereka. Akan kupastikan negara ini terbebas dari peperangan.
Udara dingin menyeruak, menembus tubuhku. Peperangan akan segera dimulai. Aku berjalan mengendap-endap menuju markas musuh. Namun, tampak sesuatu bergerak dibalik semak. Aku segera bersembunyi sembari mengintip apa yang ada dibalik tempat itu. Tak lama, sesosok wanita berpakaian gerilya lengkap muncul dan mengarahkan senjatanya kepadaku.
“Bagaimana dia bisa tahu?!” ucapku dalam hati dengan jantung yang mulai berdegup kencang. “Ssst.. Keluarlah aku tahu itu kau senior.”
Aku tidak tahu siapa dia. Tetapi wajahnya terasa familier dalam ingatan. Diriku berusaha mencari sosoknya yang tenggelam dalam memori.
“Senior ada musuh!” bisiknya tepat disampingku. Aku sempat terkejut namun tidak berlangsung lama, sebuah peluru tertancap pada tubuh target. Aku belum menarik pelatuknya, tetapi aku tahu siapa yang melakukannya. Selama perjalanan, aku selalu dibuat terkesima dengan kemampuannya.
“Benar-benar menakjubkan..”
Akhirnya, perang kali ini dimenangkan pihak kami. Hal tersebut menandakan bahwa negara kami sudah selangkah menuju kebebasan. Peperangan ini berhasil berkat dirinya, orang yang baru saja kutemui. Aku ingin menemuinya sebagai tanda penghormatanku. Setelah beberapa lama mencari, kutemukan dia terbaring menatap langit. Aku perlahan mendekat berusaha tidak mengejutkannya.
“Maaf, bolehkah aku berbicara denganmu?” “Senior?! Astaga itu kau!” dirinya segera bangkit dan memberi hormat kepadaku. “Ada urusan apa senior?” “Tidak, aku hanya ingin mengatakan sesuatu.” “Ba-baiklah tentu saja boleh senior.” “Kau boleh memanggilku Clark saat ini. Aku hanya ingin berbicara santai.” “Benarkah? Kurasa itu sedikit tidak sopan. Bagaimana kalau ‘kakak’?” Aku mengangguk sebagai balasannya.
Kami memulai percakapan dengan canggung, tetapi dia berhasil membawaku larut dalam ceritanya. Kami bersenda-gurau tanpa beban hingga larut malam. Sejenak aku merasa terobati, tetapi penat yang tak tertahan, membuatku tertidur dibawah cahaya rembulan. Selama masa perang yang tiada hentinya, aku berusaha mati-matian melindungi rekan-rekanku serta warga sipil lainnya. Aku berhasil melakukannya, walaupun masih ada beberapa korban yang berjatuhan.
Semenjak aku mengenalnya, hari-hariku terasa lebih ringan. Keberadaannya mampu meneduhkan jiwa yang haus akan kebebasan. Selama kurang lebih 6 bulan hubungan kami semakin erat. Tanpa sadar, aku mulai menaruh hati padanya. Diriku tak henti-hentinya mengagumi dan memikirkannya. Berkat wanita itu, bara api yang telah padam perlahan menjalar, membangkitkan semangat perjuangan baru dalam diriku.
“Juliana.. Nama yang sangat indah. Kau adalah wanita tangguh dengan jiwa patriot yang tinggi. Apa kau tahu? Kau selalu membuatku kagum. Juliana.. Oh Juliana…”
Pertemuanku dengannya dalam medan perang mampu mewarnai kisah kelam yang selama ini menggenang. Aku tidak ingin kehilangannya, aku ingin melindunginya hingga negara ini bebas, aku ingin dia menemaniku lebih lama lagi bahkan sampai maut memisahkan. Juliana, wanita yang tumbuh dengan kebebasan. Aku tahu dia juga memiliki tujuan yang sama denganku.
“Aku berjanji akan menaruh sebagian hidupku padamu.” ucapku sembari memberikan sebuah kotak hadiah. Dirinya mematung dengan ekspresi campur aduk. “Kak.. Apa kau yakin dengan pilihanmu?” “Ya, aku yakin.” mendengar jawaban itu, dirinya mulai menangis. Aku mulai panik dan segera memeluknya guna menenangkan suasana.
“Apakah kakak tahu? Aku hanyalah yatim piatu yang tidak tahu siapa dan dimana orangtua asliku… Aku tumbuh dibawah bimbingan keras pihak militer.. A-aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjaga sebuah hubungan… Namun, mengapa kakak memilih wanita yang serba kekurangan ini..?”
“Juliana.. Bagiku, kau adalah cahaya yang mampu menerangi gelapnya kehidupan. Kau telah berhasil menjalin hubungan denganku dan menjaganya dengan baik. Dimataku, kau adalah wanita berbakat dan terlatih. Kau bahkan mampu melampauiku dalam berbagai hal. Aku tidak masalah dengan latar belakangmu, karena aku sudah memilih apa yang aku yakini dan itu adalah dirimu Juliana.. Aku tidak punya siapapun lagi selain dirimu saat ini, Juliana.. Ayo pergi bersamaku meninggalkan perang ini dan mencari kehidupan baru diluar sana..”
“..Jika itu benar.. Maka aku dapat menerima perasaanmu kak.. Namun, kau telah dibutakan cinta. Apa kakak lupa dengan cita-cita kakak? Jika harus pergi meninggalkan tanah kelahiran demi ego pribadi, maaf aku tidak bisa. Aku akan tetap disini mengusir para pengkhianat dan membebaskan negaraku dari peperangan.”
“Tapi Juliana.. Apa kau menerima diriku dan menganggap hubungan ini lebih dari teman?” “Ya kak. Sebenarnya sejak lama aku sudah lebih dulu mengagumimu.” “K-kalau begitu menikahlah denganku!” suasana hening sesaat. Aku menunduk, merasa malu sekaligus bangga.
Perlahan, Juliana menggenggam kedua tanganku sambil menatapku dalam-dalam. “Maaf kak, tetapi aku sudah bersumpah akan menikah jika negara ini sudah bebas. Aku benar-benar minta maaf, bawalah kado itu kak. Aku tidak bisa menerima hal seperti itu sebelum melihat senyum dari penduduk di sekitarku.”
“Kalau begitu, kembalilah dengan keadaan selamat. Juliana..” “Baiklah Clark.” aku tertegun setelah mendengar ucapan itu, berarti saat ini Juliana sedang sangat serius.
Aku membiarkan dirinya pergi menuju medan perang. Sedikit demi sedikit hatiku terasa pedih ketika melihatnya menjauh ditutupi cahaya sang Surya. Dari kejauhan, dia benar-benar terlihat seperti seorang jenderal. Sekilas, aku melihat sosok Ibu dan Ayah yang pergi dengan cara yang sama. Mereka benar-benar seorang panglima. Dalam lubuk hatiku, ada keinginan untuk lebih lama bersamanya. Sayangnya, kami harus berpisah ke arah yang berbeda demi memerdekakan bangsa yang terpuruk.
Senja mulai terlihat, perasaanku semakin tidak enak. Setelah peperangan usai, kuputuskan untuk menyusul Juliana. Aku terus berlari menerjang badai pasir yang melintas. Dengan napas yang terengah-engah, aku menangkap sosok yang kucari-cari. Aku melangkah secepat mungkin sebelum ia terjatuh. Tepat saat itu juga, aku menatap tubuh kekasihku yang bersimbah darah. Hatiku pilu bak diiris bambu runcing.
“K-kak..” “Juliana! Mengapa sebanyak ini..?” tetesan demi tetesan, wajahku telah dibasahi air mata. “Aku.. M-minta maaf k-kak.. Tolong setialah p-pada janjimu.. Bebaskan tanah ini..” “Tapi Juliana.. Kau tidak boleh meninggalkanku seorang diri..” “Maaf kak.. Merdekakan bangsa ini… Agar aku dan keluargamu.. Hidup dengan tenang.. Tugasku telah usai… Seorang prajurit harus setia pada.. Negaranya…” “Tidak! Juliana… …Baiklah jika itu keinginanmu.. Aku akan mewujudkannya.. Aku mencintaimu Juliana.. ..” setelah percakapan itu, Juliana memuntahkan darahnya dan menghembuskan napas terakhirnya ditengah-tengah lapangan.
Semuanya telah pergi, mereka pergi dengan bangga karena telah mengabdikan diri pada negara.
Akhirnya, aku kembali dalam kesendirian. Aku percaya pada setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setelah sekian lama berperang, akhirnya tanah kelahiranku berhasil merdeka dan kini menjelma menjadi tanah kebebasan. Aku harap, semua orang-orang terdekatku dapat melihat buah hasil kerja keras mereka. Sekarang, aku dapat bernapas lega memandang tanah lapang tempat kami bertemu dan berpisah. Sesekali, aku mengunjungi makam Juliana sembari membawa hadiah yang sempat tertunda dimasa lampau. Jika melihat kembali kebelakang, aku hanya bisa mengikhlaskan masa lalu.
Cerpen Karangan: Intann Blog / Facebook: @intan.pie