Gemericik air mengalir sedikit menentramkan hatiku yang kini terasa remuk redam. Kupindai dengan seksama rona jingga yang bergelayut manja pada sang awan. Meniti lebih jauh, mengapa kiranya rona itu selalu berhasil mengobati hati yang rapuh. Rindu yang utuh. Serta kelemahan yang tak mau luluh.
Melamunkan asa, menghirup udara duka yang tak pernah sirna. Disinilah aku berada. Grojogan sewu. Tempat yang kerap kali menjadi favorit manusia manusia yang haus akan keindahan alam. Bedanya mereka datang beramai ramai diwaktu yang telah dianjurkan oleh aturan sesepuh. Sedangkan aku, bermodalkan nekat datang surup surup seorang diri. Mempersembahkan diri pada sesuatu yang telah kupertimbangkan dalam kalut.
‘Tuhan, maafkan aku jika diri ini egois’ Bisikku menguatkan hati pada pejaman mata untuk yang kesekian kali.
Meski dalam kacau, kuteguhkan hati untuk lebih meraba apa yang sejatinya diri ini mau. Namun tatkala tangan ini menyibak satu persatu tirai hati, tak kutemukan bilik bilik pengharapan apapun didalamnya. Selain keputusasaan pada apa yang telah Tuhan gariskan. Aku menerima. Tapi senyatanya, hati tak bisa dibohongi. Bahwa selapang apapun diriku saat ini, air mata tetap membuncah mengaliri tiap dinding pipi.
Kuraba dinding hati ini perlahan, seiring degupan yang kian melemah, air mata terus bercucuran. Bahkan diri ini begitu lemah untuk sekedar mengepalkan tangan meluapkan apa yang kini merajam dalam dadaku.
Empat tahun lamanya aku mengabdikan hidup pada sesuatu yang kuanggap pantas. Menyerahkan segala cinta dan kebebasan hanya demi mengais kasih sayang dari seorang yang begitu disegani di desaku, Kertajati.
Menggantungkan harap pada sesuatu yang kuagungkan, bahkan diri ini rela meninggalkan rumah saat kondisi Rama serta biyungku yang semakin sepuh. Ya, aku adalah anak durhaka yang tega meninggalkan kedua orangtuaku yang sudah renta demi mengejar cinta seorang lelaki dengan kedudukan lebih tinggi dariku sendiri.
Dan sekarang setelah pengabdian yang kulakoni dengan sukarela, memagut cinta kasih dalam gelora yang semakin hari semakin tak terelakkan. Mencintai dalam terang. Memasrahkan diri dalam keyakinan yang tak pernah pudar bahkan setelah sesuatu yang terucap di bibir manisnya.
—
“Kirana sayang, aku akan menikah esok lusa. Kuharap kau lapang menerima keputusanku, aku ingin tetap kau disini membersamaiku meski aku telah menikah nanti.”
Aku menatap nanar padanya manakala ucapan yang tak pernah kuduga sebelumnya begitu saja terucap dari bibirnya. “Me-menikah? Den mas ingin menikah?” Lontarku menutupi perih yang mencabik relung.
“Ya Kiran, maafkan mas tidak bisa menepati janji padamu. Mas harus melakukan semua ini demi kedua orangtua mas. Tapi mas berjanji tidak akan melepaskanmu begitu saja, kamu akan tetap bersama denganku di Ndalem, sebagai selirku.”
Aku tersentak seusai kalimat terakhir yang dia ucapkan. Hatiku mencelos. Kembali kuperingati diri bahwa apa yang kudapatkan teramat pantas, mengingat diriku yang hanya keturunan warga biasa. Sebisa mungkin kunetralkan degup jantung ini sebelum sesuatu kembali mencabik hatiku.
“Kenapa sayang? Kau tak ingin menjadi selirku?” Lontarnya tiba tiba, membuatku hanya tersenyum kecil menanggapi ucapannya.
“Siapa kiranya gadis beruntung itu Den mas?” Tanyaku menguatkan hati.
“Aruna.”
Aku terperanjat mana kala ucapan yang kudengar amat sangat tak terduga sedikitpun olehku. Aruna, gadis kecil yang selama ini kuasuh atas perintah Ndoro Laksmi. Mata ini memanas tatkala tiba tiba kuingat bagaimana aku memperlakukannya seperti adikku sendiri. Dia bahkan terlalu muda untuk sebuah pernikahan. Umurnya kini baru saja menginjak enam belas tahun. Dan kemarin sore baru saja ia ungkapkan apa yang menjadi inginnya padaku, Menikah.
Aku meraba ingatan tatkala ucapannya membuatku terkikik geli. Kupikir, Aruna hanya sekadar ucap saat itu, bahkan aku menggodanya dengan bertanya siapa kiranya seseorang yang gadis itu inginkan. Aku meremas jarik seusai kuingat ucapannya yang nyaris membuatku mengerti.
‘Mbakyu juga tau orangnya siapa, jangan kaget yaa’ Ucapnya dengan mengedipkan bulu mata lentiknya padaku.’
Mendapatiku yang hanya bergeming. Pria di hadapanku lantas merengkuh pinggang ini perlahan. Lalu memberikan kecupan singkat di bibirku.
“Ibu dan ayahnya menjodohkanku demi mempererat hubungan kerjasama kami sayang, aku harap kau menerima semua ini Kiran, jujur aku tak ingin kehilanganmu.” Ucapnya lagi.
Kupandangi manik matanya yang terlihat sayu. Aku tau, tak ada sedikitpun kebohongan di matanya. Tapi mengingat pada apa yang sudah terjadi. Terlebih diriku yang tiba tiba kini merasa hina. Aku tak lantas menyaut ucapannya begitu saja. Hati ini sekarat tersebab kenyataan yang membuatku kepayahan sendiri.
“Kenapa harus Aruna Den mas?” Pria di hadapanku hanya menunduk. Tangannya semakin kencang meremas pinggangku.
“Aku.. tidak tau kemana aku akan berpulang setelah ini.” Ucapku menahan tangis. Dia lantas menatapku sendu, tangannya terangkat menghapus satu persatu bening yang berhasil lolos dari pelupuk mata.
“Bahkan aku sudah meninggalkan kedua orangtuaku dan tak menghadiri acara pemakamannya.” Sambungku disela Isak tangis.
Kini ia benakam wajahku di dadanya. Usapan serta kecupan kecupan di pucuk kepalaku semakin membuatku tergugu tak berdaya.
—
Kembali kupejamkan mata tatkala teringat kejadian yang beberapa hari ini buas menggerogoti batinku.
Apa yang akan kugadaikan untuk melawan kenyataan ini. Sedangkan yang kuhadapi adalah orang orang dengan kedudukan tinggi. Bahkan kini, kesucian diri saja aku tak punya. Semua telah kuberikan dengan suka rela tanpa tau kenyataan begitu mudah memelintir tubuhku yang kecil.
Langit kian meredup. Angin bersenda gurau di pucuk pucuk daun.
Maka dalam segala keputusasaan yang merengkuh jiwaku. Kuputuskan untuk segera mengakhiri kesakitan ini.
Kubuka satu persatu kancing kebaya dan melepaskannya sembarang. Angin berhembus serta merta menampar kulit. Kuteguhkan hati dan membusungkan dada. Satu persatu cunduk mentul yang terselip di bibir kamben kukeluarkan. Kupejamkan mata untuk sekedar menetralisir rasa takut yang perlahan menyergap.
Memperbaiki sanggulan, kutata kembali cunduk mentul pada genggam tanganku, memastikan tatanannya dengan benar. Dalam hitungan ke tiga, kutusukkan satu persatu empat cunduk mentul itu ke pucuk kepalaku. Seketika darah merembes membanjiri hampir seluruh kulit wajah.
Hening, hanya rintihan kecil yang sesekali terlontar dari bibir. Rasa pening seketika menyambangi diri ini sehingga sesekali langkah kakiku terseok bahkan hampir terjengkang beberapa kali.
Kamben hitam serta jarik yang tersemat di tubuh kini basah dengan bau anyir yang menyengat. Sementara mata ini sesekali terpejam menghindari kucuran darah yang tak henti mengalir dari kepala. Kupacu langkah lantas mensejajarkan diri dengan batu besar yang berada di tengah grojogan.
Dengan lirik kusenandungkan sebuah kidung yang kan mengantarkan sadarku pada temaram yang tengah merajai bumi.
‘Gusti dewaji adiraja Ingwang nati lenggana Anapi berawa wastu Sedhengah karana lupta Sanengga yukti teter Mila kuwangga tatag’
(‘Tuhan yang maha arif dan pemurah Aku tulus ikhlas Tetapi nyata menakutkan Semua karena kekhilafan Jikalau nyata ini ujian Maka kuatkan imanku’.)
Perlahan kubuka mata. Dan kudapati diri ini ikut hanyut bersama air yang kian deras mengalir pada lekuknya.
Cerpen Karangan: Qeenan Facebook: facebook.com/bia.nauma