Sebenarnya aku tak suka bila harus mengingatmu. Mengenang kejadian-kejadian yang pernah kita ciptakan bersama. Semua kenangan itu seperti membawaku kembali terjebak dalam sebuah kisah yang sebenarnya telah usai. Tapi, kenangan itu kerap muncul dalam lamunanku disela-sela rutinitasku.
Seperti biasa, saat pagi hari aku kerap kali menikmati kopi buatan Ibu ditemani sinar hangat mentari pagi. Sangat nikmat. Di waktu senggang aku sering kali mencari kesibukan. Aku berusaha menyibukkan diri, terhindar dari semua kenangan itu. Tapi semua itu sia-sia. Hingga suatu senja, aku berpikir bahwa ada baiknya jika aku tuliskan saja semua kisah yang pernah kita sulam ke dalam buku kecil.
Sovia, tentunya kamu tahu, bahwa kisah di antara aku dan kamu yang dulu sempat menjadi sebuah kisah yang sering aku ikrarkan di hadapan Tuhan. Tapi, sejak dirimu memutuskan untuk tinggalkan aku, aku tidak tahu ke mana lagi aku mencari cinta. Kamu semakin jauh. Sangat jauh. Suatu hari aku berpikir bahwa mungkin inilah takdir yang tak bisa aku elakkan. Aku menyerah. Aku sudah tidak lagi mencarimu. Apalagi mengharapkan cinta darimu lagi. Meski kadang sesekali rindu datang menghampiri. Aku pikir memang begitulah cara bekerjanya rindu. Iya, rindu itu egois. Setiap saat ia menyiksaku. Aku berusaha tegar dan kuat agar tak terlarut pada kenangan yang menyeretku setiap saat.
Teringat sangat jelas, cinta yang kita sulam dahulu bermula pada bulan November di kota seribu gereja itu. Musim dingin di kota itu, seakan menyuruhku untuk segera menjadikanmu sebagai perempuan pertama yang memeluk mesra tubuh kakuku. Pada waktu itu aku telah jatuh hati padamu. Atau mungkin hanya sekadar suka, aku juga tidak tahu. Mungkin aku yang tak beretika mengartikan semua itu. Antara suka, cinta atau hanya tergoda, aku tak pandai menerka. Tapi apa pun itu, pada akhirnya juga aku dan kamu menjadi kita walau hanya sementara. Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku dan kamu menamai pertemuan itu dengan sebutan cinta.
Suatu petang, aku sadar bahwa di dalam kisah hidup ciptaan Tuhan, tak ada yang sempurna. Semuanya atas kehendak yang berkuasa. Jika detik ini kita sedang merasa bahagia mungkin besok atau bahkan beberapa menit kemudian kita akan merasakan sedih dan terluka. Sama seperti apa yang aku rasakan setelah kepergianmu itu.
Maaf Sovia, aku tidak bisa memberikan banyak waktu untuk kita bersama di saat kita baru memulai sebuah kisah atas nama cinta. Tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi, kamu memutuskan untuk pergi meninggalkan aku. Kamu tahu itu adalah luka yang tak berdarah bagiku. Tapi aku yakin, suatu saat nanti kamu akan kembali menemukanku di sini. Di kota seribu gereja ini dimana sebagai kota yang mempertemukan kita.
Sovia, yang paling aku rindukan saat ini adalah caramu menyambutku. Wajah ceria darimu dan senyum manis yang sering kali kamu tawarkan adalah cara terindah untuk melepaskan kerinduan kita waktu itu. Hingga aku tak pernah menyangka, tak pernah terpikirkan bahwa kita akan saling meninggalkan dan menyisakan puing-puing kenangan yang berujung rindu.
Mungkin aku yang salah memilih langkah pada awal kisah kita, atau mungkin aku terlalu terburu-buru dalam mencintaimu, Sovia. Tapi apakah perasaan bisa disalahkan begitu saja? Bukankah urusan perasaan selalu saja datang seenaknya. Kita tidak akan pernah tahu kapan rasa suka kepada seseorang itu akan muncul, di saat pertama kita melihatnya, setelah kita kenal lama atau bahkan setelah orang itu tiada. Kita tak pernah tahu, bukan?
Seperti halnya pertama kali aku menyukaimu, Sovia. Aku tak pernah tahu dirimu sebelumnya. Dari belahan bumi mana kamu hadir, dari tanah macam apa kamu diciptakan, di sebelah mana kamu menetap tinggal, aku tidak pernah tahu, Sovia. Tapi takdir selalu saja memiliki cara unik untuk mempertemukan seseorang. Aku hanya mencoba menjalani sesuai apa yang harus aku jalani.
Beberapa bulan sebelumnya, hubungan kita berjalan mulus bagaikan desiran ombak di tepi pantai. Hingga suatu hari, di gubuk yang kamu huni kita merangkai rencana-rencana indah untuk ke depannya. Namun manusia memanglah hanya bisa berencana sedangkan semuanya Tuhan yang menentukan. Tak mengapa aku tak menyesalinya sekalipun kepergianmu dari cerita hidupku membuat sesak. Aku tersesat, Sovia.
Aku tahu, Sovia. Ada yang pergi untuk kembali dan ada yang pergi tak akan pernah kembali lagi. Begitulah sejatinya kepergian. Namun, setelah kamu memutuskan pergi dari cerita hidupku, aku pun sangat yakin bahwa kepergianmu dari cerita hidupku pasti akan kembali lagi. Mungkin bukan saat ini, bisa saja nanti saat semuanya kembali normal. Memang benar, waktu itu aku hanya bisa menjanjikan kesetiaan. Aku pun tahu dan sadar bahwa dirimu menerimaku sepenuh hatimu. Demikian juga aku. Tapi entah apa yang terjadi, kita memilih jalan untuk saling meninggalkan. Aku takut, Sovia. Aku tidak akan kuat.
Sovia, Ingin rasanya aku mengulang kembali kisah yang kita sulam ini menjadi sebuah kisah yang paling sukar untuk dilupakan. Kota seribu gereja yang ramai ini tidak berhasil membuatku lepas dari rasa kesepian. Aku benci berada dalam keadaan seperti ini, ketika aku harus sendirian memeluk rindu tanpa disisimu. Hanya bayanganmu sesekali hadir menyapa kemudian hilang begitu saja. Aku ingin berdua saja denganmu di kota dimana kita dipertemukan pertama kali.
Sovia, kamu mesti tahu bahwa ada orang-orang yang tetap merasakan kesepian meski di tengah keramaian. Seperti yang aku rasakan saat ini. Ketika aku hidup dilingkungan yang penuh keramaian tapi aku merasa bahwa diriku tidak ada di situ. Aku bagaikan bunga Kamboja di tengah kuburan. Tidak berguna, tidak ada kehidupan, tidak ada cinta, yang ada hanya kerinduan yang mendalam. Aku mencoba menyibukkan diriku, memendam segala kerinduan tentang dirimu, tentang ketakutanku akan rindu yang bertepuk sebelah tangan ini. Aku tidak pernah menginginkan berduaan denganmu di Malam Minggu, Sovia. Apalagi menikmati kopi bersama di kantin favorit kita. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin rinduku terbalaskan.
Maafkan aku, Sovia. Maaf atas semua dosa dan kesalahan yang pernah aku lakukan. Jika waktu itu aku menyuguhkan duka yang teramat dalam hingga berujung kepergianmu, maka bantu aku agar bisa memperbaikinya. Harusnya kamu juga mesti sadar bahwa kamu bukan perempuan yang baru mengerti tentang rindu dan cinta. Jangan biarkan aku seperti pengemis! Aku tidak suka itu. Beri aku ruang untuk bergerak menggapaimu lagi.
Sovia, aku masih ingat dulu kita pernah sedekat nadi pada tubuh kita. Setiap malam, kamu sering kali bercerita tentang semua aktivitasmu. Aku jadikan itu semua sebagai pengantar tidurku. Waktu itu aku pikir bahwa mungkin ini yang dinamakan cinta, saling melengkapi dan saling berbagi. Aku tahu bahwa dirimu pada saat itu menginginkanku lebih dari sekadar mendengarkan setiap malam, aku tahu dari caramu menghargaiku, memperlakukanku dengan baik. Tapi semua itu kini menjadi kenangan, menjadi harapan yang hanya akan terlintas di pikiran.
Percaya atau tidak, aku belum pernah merasakan jatuh hati seperti ini sebelumnya atau mungkin aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh hati. Tapi bersamamu melewati hari-hari sulit dan saling menguatkan membuatku mengerti kalau hidup harus diperjuangkan, termasuk cinta, Sovia. Kamu yang teramat cinta waktu itu dan aku yang terlanjur jatuh hati kepadamu membuatku mengira bahwa kisah kita amatlah sempurna dan kamu tidak akan pernah menyerah memperjuangkan cinta kita. Tapi karena aku yang sedikit egois, aku mengubah semuanya melawan takdir. Aku sadar, kini hal itu menjadikan alasan utama bagimu untuk tidak lagi merindukanku. Aku yakin kita berdua masih memiliki cinta tapi sepertinya hanya aku yang berjuang dan berdoa. Aku merasakannya, Sovia.
Suatu hari aku bertamu di gubukmu, aku berusaha menggenggam erat tanganmu. Terlihat jelas akan kebencian di hidupmu tergambar jelas waktu itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain bertahan hanya untuk melihatmu lebih baik dari kebencianmu saat itu. Hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu, Sovia. Setelah sekian lama aku berusaha untuk menggapaimu lagi dan menjalin hubungan yang tak ada kepastian. Akhirnya aku harus merasakan sakitnya tertusuk duri cinta di hati yang paling dalam. Mungkin kamu tak pernah tahu rasanya sakit itu. Aku seperti daun kering yang jatuh tepat di atas pasir hisap. Perlahan tertelan dan kemudian tenggelam hilang.
Cukuplah kebahagiaanmu dulu yang diutamakan meski aku tenggelam dan sempat tak terselamatkan, Sovia. Aku tahu seberapa besar cintamu padaku atau seberapa erat aku menggenggammu. Pada akhirnya kita memang tidak akan bisa bersatu atau menjalani hidup bersama. Kita bagaikan dua buah garis lurus yang sejajar. Meski berdampingan tapi tidak pernah bisa bersatu. Kamu paham itu bukan?
Kelak jika kamu mengenang sebagian dari kisah kita atau kamu membaca buku yang aku tulis ini janganlah bersedih hati. Karena disaat jariku menari-nari untuk menuliskan kisah kita ini, aku pun sudah tak merasa sedih dengan masa lalu kita. Biralah kenangan hadir menyapa di waktu yang tak bisa kamu sangka dan berlalu sebagaimana mestinya. Berbahagialah dengan seseorang yang kini akan menemani sisa hidupmu, seseorang yang selalu bersyukur memilikimu. Sovia, maaf dan terima kasih. Aku masih mencintaimu! Bukan hanya itu, aku juga masih menginginkanmu.
Cerpen Karangan: Oktavianus Nokar Blog / Facebook: Ovan Nokarno Oktavianus Nokar adalah salah satu mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNIKA St. Paulus Ruteng.