Namanya Ningsih, gadis cantik rupawan yang berasal dari Manggarai. Tak ada sama sekali di benaknya bahwa Ia akan kuliah di tanah Jogja. Setelah lulus dari SMK, Ia dengan pilihannya sendiri ingin kuliah di tanah Jogja.
Meninggalkan orang-orang terdekat merupakan hal yang sulit baginya. Namun, demi sebuah cita-cita maka Ia harus menjalani semuanya itu dengan baik. Dia juga harus meninggalkan orang yang cukup berarti baginya setelah Bapak dan Ibunya. Orang tersebut adalah laki-laki yang selalu setia menemani kesepiannya disetiap waktu.
Sebelum Ia berangkat, pacarnya pun menitipkan sebuah pesan untuknya. “Ni… Meskipun jarak akan memisahkan kita. Namun, yang pasti aku akan menantimu di hari wisuda nanti.” “Baik kak, aku akan menjaga segalanya untukmu” Ia pun membalas pesannya ditengah perjalanan dari Manggarai menuju Jogja.
Ribuan waktu berlalu, di tanah Jogja Ia berjejak. Gaya hidupnya tak pernah berubah, masih saja sederhana sama seperti saat Ia berada di kampung halamannya.
Di ujung petang, Ia duduk di teras kos-kosan. Menunggu kabar untuk kesekian kalinya. Namun, tak seperti yang Ia harapkan. Kekosongan kabar membuatnya semakin gelisah. Hampir setiap hari menunggu dan bertanya-tanya; “Hari ke hari aku menunggu. Dalam kejauhan pun aku lantunan sabda rindu untukmu. Ditengah banyaknya tugas kuliah yang harus aku kerjakan, masih saja aku sisakan 1/4 waktu menunggu kabarmu.”
Kehangatan kopi menemani kesunyian darinya. Baginya semua hal tak selalu diberikan kepadanya. Ia hanya mampu menunggu bersama waktunya. Namun, tak pernah Ia berpikir tentang kenapa pacarnya tak menghubunginya selama ini.
Petang sudah tenggelam dan malam menghantamnya dengan keras. Ia pun bergegas menuju kamar lagi, kamar yang menyimpan ribuan kerinduan. Perlahan-lahan Ia pergi ke sisi kiri kamar itu, dan membukakan tirai untuk menatap langit malam. “Hay bintang di awan gelap, cahayamu menawan. Bolehkah aku menitipkan secawan rindu untuknya disana.” Tak lama berpapasan dengan cahaya bintang, Ia pun pergi tidur. Karena bagaimana pun bintang hanya bisa membisu dan kata-katanya akan sia-sia.
Keesokan harinya Ia bergegas berangkat ke kampus. Namun di kampus Ia terlihat murung dan gelisah. “Hay Ningsih… Kok mukamu murung begitu sih” “Tidak apa-apa San, pengaruh tadi malam saya agak lambat tidurnya. Jadi, mukaku seperti ini.” “Tapi… ya sudahlah.”
Setelah jam perkuliahan selesai, Ia langsung pulang ke kosnya. Sesampainya di kos, Ia langsung istirahat. Tak keluar kamar sedikit pun.
Singkat cerita. Satu tahun berlalu, selama itu pula Ia berlabuh. Namun, Ia tak pernah lupa pada cintanya di tanah Manggarai. Satu hal yang tak pernah Ia sadari, bahwa laki-laki yang selalu saja Ia cintai telah pergi waktu semalam. Tepat jam 07:47 WIB Ia terlihat sangat sibuk dengan tugas kuliah. Tiba-tiba ditengah kesibukannya, notifikasi handphone berbunyi dengan nyaringnya.
“Selamat malam Ni. Maaf, ini dengan saudarinya kak On.” Chatingan dari Manggarai. “Malam juga dek. Ada apa ya? Kok sekarang baru kasih kabar” “Mohon maaf sebelumnya Kak Ni, kami disini lagi banyak kesibukan, jadi tidak sempat kasih kabar.” “Tidak apa-apa Lis. Kalau boleh tahu, On bagaimana kabarnya?” “Itu dia kak, sebenarnya aku juga tak mampu menceritakannya sekarang.” “Kenapa emangnya Lis?” “Jadi begini kak, Kak On sudah pergi.” Sambil mengusap air matanya. “Pergi kemana dek?” Hati dan pikirannya sudah tak karuan. “Ke rumah Bapa di Surga, kak. Selama ini dia sakit, jadi tidak bisa kasih kabar apapun ke kakak.” “Apa…” Langsung menangis dan tak sanggup lagi melanjutkan percakapan malam itu.
Airmatanya tak lagi tertahankan, dan malam itu ia terlelap dalam tangisan. Tanpa Ia sadari, Alin telah mengirimkan pesan dari kakaknya untuk diberikan kepada adiknya. “Kak Ni, ini ada titipan pesan dari kakak On. Sebelum Ia meninggal;
Dear Ni…! Salam rindu dari jauh. Ribuan waktu berlalu, ribuan tahun berganti. Sampai hari ini pun kita tidak sempat bertemu. Maafkan jika kehadiranmu nanti hanya disambut kubur. Seutuhnya ini semua bukan keinginanku sendiri. Tapi mungkin ini adalah jalannya takdir yang dengan cepat Ia hadir. Dan aku harus pergi dan takan kembali lagi disisimu. Namun, Satu yang harus kau ingat; “Carilah pengganti yang sama sepertiku, setia menunggu dan setia mencintaimu dalam jarak dan waktu.” Salam semangat sayangku.
“Terima kasih Alin.” Membalas pesan di pagi buta.
Rindu dan keinginan untuk bertemu pun tidak ada lagi. Jika Ia pulang suatu hari nanti, yang Ia temui hanyalah tumpukan tanah kubur dari On yang Ia cintai.
Berakhir…!
Cerpen Karangan: Ronaldus Heldaganas Blog / Facebook: Ronaldus Ronaldus Heldaganas merupakan salah satu mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.