Mentari sudah berpamitan tepat setelah jingga senja sempurna memudar dan menghitam. Disaat itu pula awan-awan yang biasanya membumbung tipis, kini tak terlihat sama sekali, mereka bersembunyi memberikan giliran pada Si Rembulan bermesra-mesraan dengan Sang Bumi. Bercumbu rayu ditengah keheningan malam.
Kebetulan, malam ini Si Rembulan sedang dalam cantik-cantiknya, ia tengah Purnama dan Sang Bumi tak mau kencan spesialnya malam dikacaukan siapapun. Angkasa seakan hanya milik mereka berdua, oleh karena itulah semua gumpalan awan memilih menepi dan para bintang mencoba meredupkan sinarnya yang terang.
“Kak Luna, masuk yuk.” Tegur adikku, Ghea. Ia menghampiriku sambil menguap dan memeluk bantal. “Iya Ghea, bentar lagi. Kamu tidur dulu sana, gih.” Jawabku, mengusir halus. Ghea langsung masuk lagi kedalam, mungkin sudah tak kuat menahan kantuknya.
“Luna, masuk kedalem aja, yuk nak,” panggil Mama. Ah, Sayang sekali, durasi me timeku di balkon rumah sembari menghayal cerita-cerita angkasa harus terhenti karena panggilan mutlak dari Mama. Jika bukan Mama, aku tak mau. “Iya, Ma.” Jawabku sembari bergegas mengampiri.
Oh, iya. Namaku Luna Nur Elea. Panggil saja Luna. Kata Mama namaku berarti Rembulan yang benderang. Dan entahkah kebetulan, aku gemar melihat saudara kembarku -Sang Rembulan- setiap selesai makan malam.
“Oh, iya. Tadi mama nggak sengaja lihat, Ada telepon masuk dari Damar.” “Bener, Ma?” Responku terkejut. Kemudian segera berlari ke meja makan, karena memang sengaja telefonku kutinggal disana. “Ciee, yang mau pacaran.” Sindir Mama setelah aku melewatinya. Wajah Mamaku sangat cantik malam ini, apa lagi saat tengah tersenyum tadi. Mau apa beliau kira-kira? “Hehehe. Mama pacaran sama Ghea aja. Jangan ganggu Luna.” Candaku malu-malu kemudian benar-benar berlari ke ke pintu kamar.
Damar. Jarang sekali ia menghubungiku, kiranya sudah hampir satu tahun. Itulah sebabnya sekali ia menelfon, jantungku berdegub tak karuan. Aku bahagia, dan saking bahagianya sampai salting tak tahu harus bagaimana. Antara ke kamar mandi dulu dan membasuh muka atau langsung mengangkat telefonnya.
Jujur, aku sangat mencintainya. Dan kalian tahu sendiri bahwa hal seperti ini wajar dirasakan setiap perempuan yang akan berbincang dengan lelaki pujaannya. Damar. Aku rindu sekali dengannya.
“Halo, Damar”. Ucapku membuka pembicaraan. Sembari sibuk merapikan rambut dan bulu mata, aku menunggu suara balasan. Memang benar, ini hanyalah panggilan audio. Lalu kenapa aku merapikan rambut segala? Karena mencoba tampil cantik saat berbicara dengan lelaki yang dicintai, bukan suatu hal bisa disalahkan, bukan? “Damar?” Hening. “Damar?” Kenapa tak ada balasan. “Damar?” Tegurku sekali lagi, memastikan suaraku keluar di speaker telefon Damar.
“Halo, ini Luna?” Syukurlah, ada balasan. Hampir mati aku dibuatnya. “Kenapa, harus diam dulu damar?” Tanyaku nada mencecar. “Iya, lah. Aku Luna.” Terangku, menjelaslan hal yang sebenarnya tak perlu diterangkan. “Kamu itu, ya. Mentang-mentang udah sering denger suara cewek luar negeri, sekarang lupa sama suara ceweknya sendiri.” Candaku ringan sambil menyindir diikuti tawa renyah dari Damar. “Nggak gitu, aku cuma masti’in pacarku masih hidup, nggak? Wkwkwk” Balas Damar dengan candaan. Aku menyambutnya dengan kekehan.
Kira-kira aku dan Damar sudah berpacaran hampir dua tahun. Satu tahun penuh di SMA, dan setelahnya harus bertahan dengan rintangan Long Distance Relationship, -atau LDR-an- saat Damar memutuskan untuk kulah di Luar negeri.
“Damar bagaimana disana? Sehat kan?” Tanyaku benar-benar perhatian. Damar terdiam. “Kalau Luna?” Ucap Damar bertanya balik. “Aku sehat, kok. Kuliahku juga lancar. Nggada kendala. Yang masih jadi kendala, kalo selama ini kangen Damar tiba-tiba bingung mesti gimana.” Jawabku panjang. “Telefon aja, lah. Bisa nggak?” Cletuk Damar. “Oh, iya ya. Baru kepikiran.” Ucapku ringan sambil menertawakan kebodohanku.
“Kak, Luna?” Ghea memanggilku. Biasa. Mungkin hanya ingin tidur bareng. Sebentar saja kuhiraukan nanti juga tidur di kamarnya sendiri. Nggak enak juga kan kalo telfonan disamping orang tidur. Malah ngeganggu tidurnya Ghea nanti.
“Damar kapan pulang? Tanyaku melanjut perbincangan. “Loh, ini kan udah pulang?” Jawab Damar. Aku terkejut, antara tak percaya dan terlampau bahagia. “Emang bener udah pulang? Kalo beneran udah pulang, besok main kesini dong.” Pintaku sembari memastikan kalau apa yang dikatakan Damar benar. “Yah, sebenernya pengen, tapi nggak bisa Luna.” Damar menjawab dengan nada memelas. “Maaf, ya,” sambungnya.
Tok! Tok! “Kak Luna?” Ghea kembali menegur, mungkin dia takut tidur sendiri. Apa boleh buat. “Sebentar Damar, adikku ngetok pintu.” Ucapku lalu beranjak membukakan pintu.
Ghea ternyata sudah berdiri tepat ditengah pintu yang baru saja kubuka. Ia kemudian masuk dengah pelan. Sekilas kulihat tangannya menenteng majalah. Berarti, ia belum mau buru-buru tidur saat ini. Jadi, aku masih bisa melanjutkan telefon walau hanya sebentar lagi. disini, Ghea masih berdiri disampingku.
Kugapai kembali telefon yang kuletakkan di ranjang. Duduk kemudian melanjutkan perbincangan yang masih syarat dengan kerinduan. Aku benar-benar merindukan Damar. “Damar, aku rindu kamu.” Terangku pada damar penuh kejujuran. Damar terdiam. Kubayangkan, ia masih bingung harus berkata apa. . Damar sama sekali tak kunjung bersuara. “Jujur, aku rindu Damar.” Ucapku lagi menegaskan. “Damar?” Damar masih terdiam.
“Luna, …” jawab damar. Sesaat setelah Damar menyebut namaku setelah keheningan, kudengar suara tangisan yang tak tertahankan. Isak tangis yang tersedu-sedu. Aku faham, dan aku sadar. Itu suara tangisan Damar.
Perlahan, ia mencoba berbicara lagi. Tak mampu kubendung, air mataku pun ikut menetes menyertai setiap tetes air mata damar. Aku harap, ia pun menangis karena merindukanku. “Luna, aku juga merindukanmu. Kamu sama Ghea sehat-sehat, ya.” Ucap Damar sesenggukan. Aku terdiam. Menyeka air mata yang turun perlahan. Tak bosan kuucapkan lagi, aku benar-benar mencintai lelaki ini. “Luna, … -”
“Kak!” Teriak Ghea sekeras-kerasnya. Kemudian mendekapku dengan tangisan. Erat tubuhku digenggam. “Kak, kakak kenapa?” Tanya Ghea bernada perihatin. Dia kemudian menunjukanku salah satu judul artikel dari majalah yang ia buka. Seketika! Aaaa!!! Aku melempar telfonku ke tembok, mundur kebelakang dan ketakukan. Jelas! Aku benar-benar mendengar suara Damar. Bukan imajinasi atau halusinasi. Mama? Mama yang memberitahuku ada telefon dari Damar.
“Dimana Mama?” Tanyaku pada Ghea yang masih erat mendekap. “Kak, -” “Ghea? Mama dimana?” “Kak!” Bentak Ghea, kemudian ia menuntunku memandang artikel itu kembali. Ah, aku baru saja gila. Baru saja amnesia.
Semua memori itu kini terputar kembali di otakku. Memori malang yang seharusnya tak pernah kulupakan. Tahun lalu, kami berempat berlibur di wisata alam perairan untuk pesta perpisahan Damar yang mau berangkat ke luar negeri. Aku, Ghea, Damar dan Mama. Naas, di perjalanan pulang kaki Mama tergelincir dan seketika terseret aliran sungai. Damar refleks melompat. Ali-alih membawa Mamaku pulang. Hingga sekarang, aku haru kembali sadar, bahwa rimba dari mereka berdua belum pernah ditemukan.
Lalu? Siapa wanita yang tadi menyuruhku mengangkat telefon dari Damar? Aku yakin, wajahnya sama seperti Mama? Dia benar-benar Mama! Namun lebih cantik dari biasanya.
Lalu? Dengan siapa aku selama ini berbicara bersama seseorang di seberang telefon sana. Jika bukan Damar, dia siapa? Kenapa aku bisa jelas mendengar suaranya.
Jika memang Mama dan Damar tiada, yang barusan berbicara denganku siapa? Siapa!!
Kembali harus mengakui sengan segala keterpaksaan. Hanya tersisa Ghea disampingku.
Suara Mahasiswa | 03 Mei 2007 CALON PERAIH BEASISWA DARI SALAH SATU UNIVERSITAS DI NEGERI BALKAN. DINYATAKAN HILANG TERSERET ARUS.
Cerpen Karangan: Said Aksoro sa.id.aksoro (IG)