Musim semi kali ini seharusnya menjadi yang menggembirakan—pikir Rohan—jika saja ia tak menggerutu karena kegiatan paginya terusik. Ayolah! Ini Minggu pagi, ia harusnya berada di kasur empuk nan hangat miliknya dan bukan berdiri di pinggir lapangan seperti orang kurang kerjaan hanya untuk menemani saudari kembarmu lari pagi. Catat! Kembar.
“Ihh! Lemah sekali jadi laki-laki, kamu seharusnya sudah memikirkan bagaimana cara merawat tubuh agar para perempuan di kampus semakin menempelimu”
Rohan melihat paras yang seperti jiplakannya itu, hanya saja dalam wujud perempuan dengan rambut hitam arang sebahu dan pipi yang berisi—tapi dia kurus.
Peluh membasahi pelipis perempuan itu, setelah dua jam berlari-lari kecil tentu membuat Rohan khawatir karena ia takut tubuh kecil saudarinya itu akan menyusut (dan jangan pernah beritahu pada Rohana jika ia barusan mengejek saudarinya).
Laki-laki itu bergeming, yang ia lakukan hanya mengangguk atau menggeleng pada setiap perkataan Hana—nama panggilan Rohana—membuatnya menyerah pada sifat kelewat acuh Rohan.
“Seminggu lagi ulang tahun kita yang ke dua puluh, aku tidak sabar untuk merayakan bersama semuanya” “Seharusnya kamu juga sadar untuk memperbaiki sikap, agar para laki-laki di kampus bisa melihatmu sebagai seorang perempuan” Hana mendelik, “Aku adukan kak Bima. Itu menghina namanya” “Dasar tukang pengadu! Kenapa, sih dia bisa mau sama kamu?” Begitu terus acara ‘mari saling mengejek menyayangi saudara kembar’ hingga mereka tiba di rumah. Hawa sejuk di kamar langsung berembus mengenai kulit,—karena pendingin ruangan—setidaknya mereka berhenti saling mengoceh.
“Ayo turun, kita sarapan bersama!”
Ketika panggilan ibu dari luar kamar telah ia jawab, laki-laki itu bergegas mandi dengan meninggalkan Hana yang masih bergelut manja di kasur berwarna peach miliknya.
Setelah kegiatan bersih-bersih, Rohan melangkah menuju ruang makan lalu duduk dengan berbagai hidangan lezat di atas meja.
“Ibu lihat kamu senang sekali, ada sesuatu”? “Tidak, bu. Hanya tidak sabar menyambut pesta ulang tahun” “Sudah sebesar ini masih memikirkan pesta kejutan? Kamu sudah dewasa, Han”
Lama mereka terdiam, hingga sang kepala keluarga mengeluarkan suara. “Apa Bima sudah diberitahu? Anak itu saking sibuknya, ayah sampai khawatir” “Tentu, justru dia yang mengingatkanku. Aku tebak, Hana pasti terkejut melihatnya. Bima semakin tampan” “Oh! Tetap anak ibu yang paling tampan—” “Rohan memang—” “Setelah ayahmu” Tawa hangat menyelimuti keluarga kecil mereka, di minggu pagi musim semi.
—
Udara malam lantas tak membuatnya merasakan kantuk, ia masih sibuk dengan setumpuk kertas menyebalkan dari dosen dan sebagai asisten yang baik ia harus membantu memeriksa nilai hasil kuis.
Kopi hangat dengan sepotong vanilla cake—terlihat separuh—sudah cukup menemaninya malam ini, terlebih dengan sosok bermata lebar yang duduk di hadapannya menemani.
Bima masih santai mengerjakan tugasnya.
“Kak, jangan lupa kopinya, sudah hampir dingin” Bima tersenyum manis lalu menyesap kopi yang memang sudah dingin, ia memesan kopi panas sebelumnya.
Mata itu memandang wajah Rohana, yang selalu membuatnya kalah dari kata rindu, setidaknya ketika ada waktu luang mereka harus bertemu.
“Tidak dingin?” “Aku sudah pakai jaket sesuai perintah kakak” Bima terkekeh, beralih memandang mata indah itu.
“Aku masih heran, bentuk mata kalian benar-benar berbeda” Hana mendengus, “Beruntungnya cuma itu, mata kita berbeda” Bima terkekeh ringan.
“Sebentar lagi aku selesai, lalu kita pulang” Melihat Hana yang mengangguk, Bima kembali memeriksa kertas-kertas itu. Angin malam semakin terasa dingin.
—
Suara dengung pendingin ruangan lantas tak membuatnya terusik, mungkin karena tempat ini masih sepi. Tetapi, Jumat pagi adalah waktu terbaik untuk membaca di perpustakaan kampus- apa karena ini masih jam kuliah?
Bima masih betah menatap buku tebal yang dibacanya, itu adalah novel yang disarankan oleh Hana. Katanya, cerita di novel itu indah dan kau tak akan pernah merasa bosan meski sudah dibaca berulang kali. Bima yang awalnya sempat ragu karena ia yang tak punya hobi membaca sekarang benar-benar hanyut dengan dunianya.
Perkataan Hana benar, saking benarnya ia tetap tak terusik meski kekasih hatinya itu memainkan lengan baju miliknya—sekarang Hana yang merasa bosan karena diabaikan.
“Kakak tidak ada kelas? Di sini sepi, di luar juga tidak terlalu banyak mahasiswa yang lewat”
Tangan Bima membalik halaman, membiarkan Hana yang menatap jedela di samping mereka. Membiarkan perempuan itu menatap bunga-bunga berjatuhan oleh hembusan angin, aneh sekali … sekarang musim semi, tetapi cuaca terlihat mendung.
Mata bulat Hana masih menatap luar jendela, gemas ingin mengumpulkan bunga-bunga itu lalu ia bawa pulang— Rohan akan mengomeli dirinya karena membuat lantai rumah kotor.
Hana menghadapkan diri pada Bima, berdecak pelan. “Abaikan saja aku terus” “Tidak, sayang” “Ya” Bima menutup bacannya lalu ikut menghadapkan diri pada Hana, menatap teduh. Tangan dingin Hana terulur mengelus pipi tirus Bima, laki-laki itu semakin lama semakin kurus dan Hana benci itu.
“Kakak semakin kurus, aku tak suka” Sedang Bima enggan berbicara, menatap paras ayu yang masih membuatnya betah untuk diam. Kini tangannya menggenggam tangan dingin di pipinya, dengan sedikit remasan lembut. “Sebentar lagi kamu dan Rohan ulang tahun, ingin sesuatu? Atau kamu saja yang ingin sesuatu dariku?” Bima berusaha tersenyum meski ia tahu ada gejolak yang ingin keluar melalui mata tajamnya, ia tahan. Kenapa sulit sekali? Oh tidak! Sesuatu itu dengan lancang mengalir melewati pipi dan ibu jari milik Hana,
“Aku yang khawatir, kenapa kakak yang menangis?” Ia menggeleng pelan, masih betah menggenggam tangan dingin Hana. “Aku ingin merayakannya bersama Ayah, Ibu, Rohan, dan dirimu. Pasti seru!” Napas Bima terasa cekat. “Iya, pasti, Han” Ya Tuhan. “Kakak cinta kamu, Rohana. Selalu”
Bima tak dapat menahan diri, tangis itu semakin menjadi bersama dengan gemuruh hujan di luar membasahi bunga-bunga yang berserakan di tanah. Alam pun tahu ia tengah bersedih.
Masih menghadap ke arah jendela dengan memegang pipinya yang basah. Menunduk untuk menyembunyikan suara lirih yang selalu berucap kata maaf, alam tahu dirinya terpuruk, dan karenanya semakin kencang gemuruh. Terdengar lirih, terdengar pilu.
Angin berhembus membuka lembaran novel hingga halaman terakhir. ‘Ini tentang meninggalkan, dan tentang yang ditinggalkan’
—
Hujan deras justru membuat Rohan betah berlama-lama duduk di ruang makan, meski suara guntur bergemuruh keras terdengar—memangnya ia takut hanya karena suara guntur?
Ia membuka album foto lama, dimulai dari dua bayi mungil saling memeluk, lalu dua balita berwajah cemberut karena memperebutkan sebuah bola, dilanjut dengan dua anak saling menatap tak suka.
Cukup sadar jika tak ada foto manis sebagai saudara kembar—setidaknya pelukan atau ciuman pipi—masih beruntung foto bayi mereka terlihat menggemaskan ketika berpelukan. Rohan terkekeh dengan mata yang melengkung bagai bulan sabit.
“Sekarang kamu sadar siapa yang paling menggemaskan” Rohan menoleh, Hana terduduk di sampingnya dengan segelas coklat panas yang mengepul. Rohan kembali memandang foto di album, tak menjawab perkataan saudarinya. “Abang” Tersentak dengan panggilan itu, namun ia simpan rasa terkejutnya dalam hati. Kembali membalik halaman foto. “Abang Rohan, Rohana sayang abang”
Matanya tak teralih, masih betah menatap foto bayi perempuan itu yang—benar kata Hana—terlihat menggemaskan. Segaris senyum tipis membingkai wajah Rohan mendengar panggilan untuknya, namun tak bertahan lama karena mata itu mulai berkaca.
“Abang, maaf jika aku banyak salah padamu, ibu dan ayah, juga kak Bima. Aku sayang kalian semua” Rohan berusaha menjaga agar senyumannya tetap ada, bulir-bulir air menetes dari pelupuk mata.
“Abang, kalau Hana dewasa nanti, Hana mau pesta pernikahan yang meriah seperti negeri dongeng” “Abang, kalau Hana sudah punya kekasih, abang tenang aja! Hana masih sayang sama abang” “Abang, sayang Hana terus kalau kita sudah menikah nanti, ya?” “Abang Rohan, Rohana sayang abang” “Rohan?”
Ibu menepuk pundak bergetar itu, ia menoleh dengan kedua pipi yang basah. Perlahan ibu menarik kepalanya lalu dipeluk erat.
Hujan belum reda, guntur masih enggan pergi. Halaman terakhir album foto, Rohan merangkul Rohana erat dengan senyum lebar.
—
Tangisan dua bayi memenuhi ruangan bersalin, satu laki-laki dan yang satu perempuan. Si laki-laki lahir lebih dulu, disusul lima menit kemudian oleh si perempuan.
“Untung kamu yang lahir duluan, aku tak mau jadi kakak” Secara fisik mereka mirip, bahkan letak tahi lalat mereka sama-sama di bawah mata. Rohan mata kanan, sedang Rohana mata kiri. Bentuk mata mereka pun berbeda.
Ayah memberi nama mereka berdua dengan arti “yang selalu di atas”, mereka adalah kebahagiaan Ayah dan Ibu.
Rohana memiliki tubuh kurus, sedang Rohan terlihat berisi. Rohana sehat, sedangkan Rohan sakit. Kelainan jantung sudah ada sejak ia lahir, hingga beranjak remaja belum ada pengobatan yang berhasil dilakukannya. Ia harus mendapatkan donor jantung.
Saat beranjak remaja pun, Rohana sakit parah sekali. Bahkan langkah terakhir yaitu kemoterapi pun sudah tak mempan baginya, kanker darah ini terlalu ganas. Ayah dan ibu yang selalu mementingkan mereka berdua, mereka tetap harus berada di atas apapun itu caranya.
“Abang, pakai jantung Rohana, ya? Jantung ini kuat … abang pasti sembuh” Rohan menolak, tentu saja. Karena hidup saudari kembarnya sudah hampir melewati ambang batas dan masih sempat mengkhawatirkan dirinya.
Rohan menangis menggenggam tangan dingin Rohana, pun dengan Bima yang mengelus tangan satunya, sama dingin. Ayah dan Ibu hanya menunggu kata ‘keajaiban’ jika memang putri mereka masih diberi izin untuk bernapas.
Tuhan tak mengizinkan. Ayah dan Ibu merasa dunia mereka gelap gulita, cahayanya sudah padam. Bima masih berbisik lirih di telinga Rohana dengan mata bengkak yang terpejam. Rohan merasa, hidupnya selama ini sia-sia.
—
Seharusnya, matahari musim semi di bulan April bersinar pagi ini, tetaoi hanya ada awan hitam dengan tiupan angin dingin.
Karangan bunga tulip putih tergeletak banyak sekali di atas gundukan tanah, serta bingkai foto perempuan manis—tangan Rohan tak berhenti mengusap—dengan ukiran nama pada nisan.
“Kamu pasti terkejut, semoga kamu suka dengan bunga ini. Aku susah-susah mencari, kamu selalu senang jika aku kesusahan” pelan Rohan.
Bima diam memandang foto, bukti bahwa tak ada apapun yang berarti lagi ketika terkasihnya memilih pergi lebih dulu.
“Selamat ulang tahun, abang sayang sama Rohana” Bima menghela napas. “Jaga jantung itu untukku, Rohan” Ia mengangguk, menatap Bima sendu. “Terima kasih sudah menerima Hana di jantungmu juga” Bima menatap batu nisan di hadapannya.
“Selamat ulang tahun, sayang. Terima kasih untuk membuat jantung ini terus berdebar”
Cerpen Karangan: Affani Laila Blog: affani212.blogspot.com Affani Laila. Samarinda, 2022