“Aku harus pergi.” “Kemana?” “Ke London.” “London? London itu dimana?”
Bocah lelaki itu menatap bingung gadis kecil di sampingnya. Gadis kecil yang setiap hari bersamanya. Bemain dan belajar bersama setiap harinya, membuat persahabatan mereka sangatlah dekat. Warna orange dari langit sore hari ini masih menyelimuti mereka berdua, ketika gadis kecil itu memberi kabar akan pindah ke kota London. Ibukota negara Inggris.
“Hmmm.. Aku juga tidak tahu. Yang aku tau London itu jauuhh banget dari Indonesia. Katanya disana ada menara jam yang tinggi sekali. Kakakku ingin bersekolah disana, kami sekeluarga juga ikut pindah.”
“Sejujurnya aku benci sore hari! Kita harus kembali ke rumah pada sore hari, artinya kita tidak bisa bertemu setelah sore hari. Aku harus menunggu esok hari untuk kembali bertemu denganmu. Bahkan sore ini, kau mengatakan akan pergi ke tempat yang sangat jauh. Aku jadi semakin membenci sore hari.” Bocah lelaki itu mendengus kesal. Ia sedih bahwa teman bermainnya itu akan pergi meninggalkannya.
Mendengar sahabatnya mengatakan hal itu, gadis itu hanya tersenyum. Ia sebenarnya juga tidak ingin pergi meninggalkannya, tapi ya mau bagaimana lagi. “Oh iya, tadi bu guru menyuruh kita untuk menuliskan cita-citakan? Coba lihat!” Si gadis mengambil buku milik bocah lelaki itu, dan memberikan miliknya.
Namaku Bima Sakti Umurku 8 tahun Cita-citaku menjadi pilot
Namaku Clara Sudirman Umurku 7 tahun Cita-citaku menjadi dokter
Itulah yang ditulis kedua anak itu di buku mereka. Menjadi dokter adalah cita-cita Clara yang sudah lama ia impikan. Kakaknya yang bercita-citaku sama membuatnya ingin menjadi dokter juga. Sedangkan Bima, ia ingin menjadi pilot karena ia suka melihat pesawat terbang melintas diatas awan. Jadi Bima ingin suatu saat ia dapat mengendarai transportasi udara tersebut.
“Wah Bima ingin menjadi pilot ya? Kata papa Clara jika ingin menjadi pilot harus belajar yang rajin.” “Iya Clara, keren kan? Memang benar menjadi pilot itu susah, tapi Bima akan berusaha. Clara ingin menjadi dokter ya?” “Iya Bim, kakak Clara juga ingin menjadi dokter. Bima mau tidak? Janji sama Clara jika sudah besar nanti Bima ajak Clara terbang. Pasti saat itu Clara juga sudah menjadi dokter.” Gadis yang memiliki rambut panjang kecoklatan itu mengacungkan jari kelingkingnya. Berharap sahabatnya melakukannya juga. “Iya, Bima pasti ajak Clara nanti. Janji.” Dua jari kelingking bersatu, menandakan bahwa dua bocah itu sudah berjanji dan harus ditepati. “Baiklah Clara pulang dulu ya.. Sampai jumpa Bima” Gadis kecil itu berlari menuju rumahnya sambil melambaikan tangannya pada Bima. Ia meninggalkan bocah lelaki itu duduk sendirian di taman, dibawah sinar matahari berwarna orange itu. Setelah bahu cantik Clara sudah menghilang dari pandangannya, ia merasakan kesepian yang berbeda dari biasanya. Berpikir, apakah sang gadis akan kembali bertemu dengannya lagi atau… tidak.
—
Bima memasuki rumahnya dengan lesu. Disambut sang ibu yang sudah menantiinya. “Loh.. Bima sudah pulang? Eh itu kakinya kenapa? Kok memar gitu?” Sang ibu khawatir melihat kaki putra tunggalnya itu tampak kebiru-biruan. “Tadi jatuh.” Detik berikutnya, air matanya mulai bercucuran. Entah karena kesakitan atau karena sahabatnya yang pergi meninggalkannya. Ibunya pun memberi obat oles ke luka memarnya. “Anak ibu, biasanya tidak seperti ini. Luka kecil seperti ini sudah biasa kan? Biasanya juga kamu anak kuat kok.” “Biasanya sudah diobati Clara bu. Sekarang Clara sudah pergi, tidak ada yang ngobatin Bima deh.” Ibunya tertegun. Ia sebenarnya sudah mengetahui jika sahabat anaknya itu akan pindah ke luar negeri. Tapi tak sanggup hati ia menyampaikan pada putranya itu. Memang benar, biasanya ketika putranya pulang dengan tubuh luka. Bima akan berkata ‘sudah diobati Clara’.
Tujuh belas tahun berlalu, Bima tidak lupa dengan janjinya pada gadis berambut kecoklatan itu. Kini ia sudah berhasil menepati janjinya pada Clara untuk menjadi pilot. Tapi janjinya untuk mengajak Clara menaiki pesawat yang ia kemudikan belum dapat ditepati. Sejak saat kepergian Clara hari itu, ia belum pernah sekali pun bertemu dengannya lagi. Bahkan sekedar memberi kabar pun tidak.
Pagi ini di akhir tahun, sang kapten ingin menjemput penumpangnya. Penumpang yang sangat spesial baginya. Pukul 6 pagi, gerimis sudah mengguyur kota Jakarta. Matahari yang masih malu-malu untuk memperlihatkan dirinya, membuat udara pagi ini lebih dingin dari biasanya. Sang kapten sudah berada di pesawat saat ini. Bukan untuk mengantar para penumpang, kali ini dialah yang menjadi penumpangnya.
Bima memutuskan untuk pergi ke London, menemui Clara. Meskipun ia tau bahwa Clara berada disana, tapi ia tidak tahu pastinya dimana sang gadis itu tinggal. Keberangkatan pesawat ke London juga membawa harapan Bima untuk bisa bertemu lagi dengan Clara. Ia penasaran, seperti apa Clara saat sudah dewasa. Sudahkah ia menjadi dokter? Tidak tahu. Untuk itulah ia ingin menemui Clara. Gadis yang bisa dibilang membuatnya menjadi pilot sekarang. Kurang lebih 17 jam berada diatas awan. Akhirnya ia dapat mendarat di kota London.
Sampai di kota ini, tidak membuat kebingungan Bima hilang. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mencari Clara. Hanya satu informasi yang ia terima dari ibunya ‘di dekat St. James’s Park’. Namun karena sudah tengah malam, ia memutuskan untuk memesan hotel terlebih dahulu dan melanjutkan perjalanannya esok. Bima sengaja memesan hotel yang tidak jauh dari Westminster Bridge. Pemandangan kaca di kamarnya memperlihatkan menara Big Ben yang indah.
Singkat cerita, pagi harinya ia sudah berada di daerah dekat St. James’s Park. Ada terdapat banyak rumah dan pertokoan. Satu persatu, ia menanyakan pada orang yang bersedia membuka pintu untuknya ‘apakah ini rumah dari keluarga Sudirman?’ ‘No’ hanya itu yang ia dengar. Hingga sampai pada apartemen dengan pintu no 19. Ia menekan bel yang terdapat di sebelah kanan pintu. Dua kali ia menekan bel, tidak ada jawaban. Tiba-tiba ada seseorang yang membukakan pintu. Wanita paruh baya yang kira-kira sudah berumur 50 tahun lebih menyapanya.
“Good afternoon sir” “Good afternoon, maaf mengganggu. Apakah ini rumah dari keluarga Sudirman?” Bima bertanya dengan harapan bahwa wanita itu mengatakan ‘ya, benar’ “Ya, benar. Siapa yang Anda cari?” Mendengar hal itu Bima tersenyum sumringah. “Clara, Clara Sudirman.” Wanita itu tersenyum “Silahkan masuk, tolong tunggu dekat dengan perapian itu tuan. Hari ini benar-benar sangat dingin.” Memang benar, hari ini sangat dingin. London sedang musim dingin. Untuk seorang dari negara tropis, tentu membuatnya menggigil.
Tidak lama, wanita tua yang sepertinya pembantu di rumah ini membawakan secangkir teh hangat. “Silahkan tuan, aku sudah memberi tahu Mrs. Sudirman jika ada tamu.” “Thank you.” Kemudian wanita itu pergi. “Mrs? Apakah Clara sudah menikah? Bukankah seharusnya ia dipanggil Miss?” Bima bergumam.
Hampir lima menit, namun seseorang yang Bima tunggu belum juga turun. Suara langkah ditangga membuat Bima berdiri, bukan dia yang ia cari namun ia mengenal sosok yang keluar dari balik pintu. “Tante Melisa?” Sontak wanita tersebut terkejut karena tamunya itu ternyata mengenalnya. “Saya Bima tante, tante masih ingat?” Sejenak wanita itu berpikir. “Ya ampun, nak Bima.. Sudah lama sekali. Kamu sudah dewasa Bima.” Ya, wanita itu adalah ibu Clara. “Tante apa kabar?” “Baik nak, kamu juga sehatkan? Bagaimana keluargamu di Indonesia?” “Alhamdulillah sehat semua tante. Emm.. Tante, kalau boleh tahu… Clara dimana ya? Saya sudah lama tidak berjumpa dengannya. Saya datang untuk menepati janji saya padanya. Untuk mengajaknya terbang dengan pesawat yang saya kendarai. Alhamdulillah saya sudah menjadi pilot sekarang.”
Tante Melisa tersenyum simpul. “Maaf nak, tante rasa… kamu tidak bisa menepati janjimu itu?” Bima terkejut. “Tidak bisa? Mengapa? Apa Clara sudah tidak tinggal disini lagi?” Tante Melisa tampak ragu menjawab. “Clara.. Sudah pergi ke surga tiga tahun lalu.”
—
Setelah berpamitan pada tante Melisa, Bima berjalan menyusuri jalanan kota London. Pernak-pernik Natal dan tahun baru menghiasi sepanjang jalan yang ia lewati. Hari ini 31 Desember, merupakan tahun baru yang menyedihkan bagi Bima. Seseorang yang meninggalkannya tujuh belas tahun lalu, kini meninggalkannya untuk selamanya. Lagi, di sore hari.
Hatinya bagaikan pesawat yang mengalami turbulensi, berguncang hebat. Oleh angin besar, oleh rasa kehilangan, seolah-olah dunia hanya memintanya untuk jatuh. Air matanya jatuh tak berujung. Sebuah perjalanan demi menepati janji, terjawab dengan kenyataan yang melukai hati. “Mungkin memang benar. Janji diucap hanya untuk diingkari. Janji diucap hanya sebagai kata pemanis sebelum pergi. Jika seperti ini, siapa yang mengingkari janji? Aku atau kau Clara?” Bima membatin.
Bima menaiki kapal yang menyusuri sungai Thames, sekedar untuk menghibur dirinya sendiri yang tengah patah hati. Menara Big Ben, St. Paul’s Cathedral, London Bridge, hingga Tower Bridge ia lewati. Namun hatinya masih kalut tidak karuan. Ia lalu kembali ke hotel tempatnya menginap, menatap menara Big Ben yang terlihat jelas dari jendela kamarnya. Tidak ada tujuan. Tujuannya datang ke kota London adalah untuk menemui gadis kecil berambut kecoklatan itu. Namun yang ia tujuan itu sudah tidak berada ditempatnya. Keramaian malam tahun baru dan gemerlap kembang api yang menghiasi langit malam kota London, tidak membuat sang kapten ini terhibur.
“Clara.. Kita yang saat itu bahagia, ketika rasa hati itu terbentuk… Kau.. Yang saat ini tidak bersamaku lagi. Bagiku ini adalah sebuah keajaiban, untuk semua hari itu. Sampai sekarang aku merasa sangat bahagia. Kamu mengajariku apa itu kebahagiaan. Jadi aku bisa selalu tersenyum. Aku merasa sangat bahagia sampai sekarang.”
Cerpen Karangan: Ilfina Azka Najah