Angin berhembus, merpati mengepak. Hanya gadis berparas cantik diantara semuanya. Setidaknya, itu yang Ezra lihat. Namun di atas tebing itu, insiden yang mengerikan terjadi. Ujung tebing runtuh dan seseorang terjatuh.
Ezra Yudhistira, pria berusia dua puluh satu tahun yang baru saja kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Ya, seseorang itu lebih dari sekedar teman, gadis yang menjadi kekasihnya. Semenjak kepergian Lara, Ezra menjadi sangat terpukul. Dia terus mengunci dirinya di dalam kamarnya.
Ibu Ezra sangat khawatir dengan keadaan putranya. Setiap malam beliau mendengar putranya berbicara sendiri di kamarnya, sambil tersedu-sedu.
“Lara…kumohon jangan tinggalkan aku…” lirih Ezra setiap malam.
Akal sehat pria itu sudah hilang. Dia menjadi jarang bergaul dengan teman-temannya. Makan pun rasanya malas. Ia merasa hidupnya tidak berguna. Bagaimana tidak? Gadis yang ia pikir akan menjadi pendamping hidupnya hilang ditelan bumi. Suara manis Lara selalu terngiang di pikirannya, membuat tidurnya tidak nyenyak. Meskipun begitu, ibunya tetap meminta Ezra untuk tetap berkuliah.
—
Sepulangnya dari hari yang membosankan. Ezra memutuskan untuk mengunjungi makam Lara. Di tengah jalan ia melihat seorang gadis kecil. Badannya kurus, kulitnya pucat, dan rambutnya sewarna tinta. Sambil berdiri di depan gundukan tanah tersebut, gadis itu menatap Ezra dengan mata yang berbinar, seperti sedang menanti Ezra.
“Halo, Kak.” Gadis itu melambaikan tangan. ‘Tunggu… itu hantu?’ Pikir Ezra. Seketika seluruh tubuhnya merinding. Ezra mengerjapkan matanya, dan benar gadis itu menghilang. Tiba-tiba Ezra merasakan ada seseorang di belakangnya.
“Hai!” Tersentak, Ezra hampir jatuh. Anak itu!
“K-kamu bukan hantu kan?” Ujar Ezra, tangannya gemetar. “Jelas bukan lah!” Jawab anak itu dengan ketus. “Kok pucat?” “Sudah dari lahir.” “Oh…” ‘Anak aneh…’ batin Ezra. “Orangtuamu dimana?” Dan bukannya menjawab anak itu malah diam. Dia memberi tanda untuk Ezra mengikutinya. Karena penasaran Ezra ikut saja. Sampai di lapangan yang luas, anak itu berhenti.
“Kakak, aku ingin bilang sesuatu.” “Apa?” Tanya Ezra. “Tetapi jangan menertawakan aku ya!” “Iyaa…”
Menghela napas anak itu berkata, “Kalau aku bilang aku seorang penjelajah waktu, kakak percaya tidak?” ‘Tunggu, apa?!’
Mendengar itu Ezra tertawa terbahak-bahak. Penjelajah waktu? Setahu Ezra hal seperti itu hanya ada di cerita sains-fiksi. Tidak mungkin ada yang namanya penjelajah waktu.
“Kalau kamu memang penjelajah waktu, buktikan!” Ujar Ezra, perutnya sakit habis tertawa.
Dengan satu jentikan jari, seketika mereka berteleportasi. Yang semula lapangan luas berubah menjadi sebuah koridor sekolah. Koridor itu penuh murid yang berlalu-lalang, anehnya tidak ada yang menyadari Ezra dan bocah itu. Tempat itu juga terasa familiar bagi Ezra.
“Kamu beneran penjelajah waktu?!” Teriak Ezra “Kan sudah aku bilang, tapi kakak malah mengejekku!” Balas anak itu.
Ezra tidak tahu harus berkata apa. Otaknya sedang mengolah informasi baru yang ia dapatkan. Penjelajahan waktu saja belum diciptakan. Anak kemarin sore ini malah bisa melakukannya?! Itu yang Ezra pikirkan.
Mengamati sekelilingnya, dia semakin yakin siswa-siswi di situ memang tidak bisa melihatnya. Lalu sesuatu menangkap matanya, dan membuatnya merinding. Lara saat masih SMA berada di seberang Ezra.
Dada Ezra terasa sangat sakit, seperti seribu jarum menusuknya. Melihat Lara tersenyum dan bercengkrama dengan teman-temannya membuat rasa rindunya semakin besar. Pandangannya memburam. Pelupuk matanya tidak bisa menahan air matanya yang meluap. Pria itu menangis untuk kesekian kalinya sejak Lara meninggal.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?” Tanya Ezra. “Maaf kak. Aku harus.” Anak itu ikut terlihat sedih. “Siapa kamu sebenarnya?” Menghela napas anak itu menjawab, “Namaku Arutala, aku seorang penjelajah waktu. ” Mendengar itu tidak membuat Ezra puas. Entah kenapa ia malah makin marah, tetapi dia berusaha menahan amarahnya.
“Aku tanya sekali lagi. Kenapa kamu membawaku ke sini?” “A-aku tidak bisa memberi tahu kakak, tapi aku bisa membawa-” “KALAU KAMU TIDAK MEMBERITAHUKU SEKARANG JUGA, AKU TIDAK AKAN IKUT!!” Bentak Ezra. Sebenarnya Ezra tidak bermaksud membentak. Kesabaran seseorang bisa habis kan? Itu yang terjadi pada Ezra. Dia dibawa kemana-mana seperti boneka. Masih kebingungan, dia malah dibawa ke waktu yang membuat dia sedih.
Arutala terdiam. Dia terlihat akan menangis. Ezra tidak menyadarinya, karena sedang marah. Seketika sekeliling mereka menjadi seperti layar televisi rusak atau glitch.
Ezra menjadi panik dan berusaha untuk menyadarkan Arutala. “Arutala! Sudah hentikan, aku minta maaf oke!”
Meskipun sudah dipanggil, Arutala sepertinya tidak bisa mendengar suara Ezra. Pemandangan di sekitar mereka seperti itu selama beberapa menit, sampai mereka berakhir di sebuah pantai.
Ezra tidak tahu mereka ada dimana atau pada tahun berapa. Sebenarnya dia agak merasa bersalah pada Arutala, jadi mau tidak mau dia harus mencari anak itu.
Setelah mencari beberapa menit atau mungkin hampir setengah jam, entahlah Ezra tidak tahu, ia menemukan Aru sedang bersama seseorang. Mereka sedang mengobrol, dan orang itu adalah… Lara? Benar! Itu Lara! Tapi… kenapa Lara bersama Arutala? Ezra yang penasaran pun mendekati mereka, mengabaikan rasa sakit di dadanya yang kembali. Ezra tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tidak sempat mendekat, Aru dan Lara menghilang.
—
Arutala terkejut karena tiba-tiba bertemu dengan Lara. Setahu dia kekuatannya hanya bisa untuk melihat masa depan dan masa lalu, bukan berinteraksi dengan orang di masa itu. Jadi dia memilih untuk diam, karena dia takut akan merusak alur waktu.
“Halo, dik.” Panggil Lara. ‘Ya ampun! Kenapa Lara malah berbicara denganku?!’ Pikir Arutala dengan panik.
Namun Lara hanya diam di situ, tidak bergerak. Itu membuat Arutala semakin tegang. Daripada hanya diam disitu, Aru memutuskan beranjak dari batang pohon yang ia duduki. Belum sempat berdiri, lengan Arutala dipegang oleh Lara. “Jangan khawatir, aku tahu tentang kemampuanmu kok.” Kata Lara, dengan santai. Namun yang diajak bicara malah semakin tegang. “K-kemampuan apa? K-kita kan baru pertama kali bertemu.” Arutala tersenyum dengan kaku. “Kamu bisa menjelajah waktu.”
Otaknya kosong, tidak tahu harus apa. Arutala panik, misinya kan hanya membantu Ezra. Tapi sialnya malah bertemu dengan Lara, yang berkemungkinan bisa mengubah waktu.
“Masa kamu tidak ingat aku?” “Apa maksudmu?” “Arutala, aku adalah dirimu sendiri di masa depan.” ‘APA?! Serius? Bagaimana bisa?’ Pikir Arutala.
Seolah membaca pikirannya Lara menjawab. “Aku kehilangan kekuatanku saat beranjak dewasa, jadi aku tidak tahu tentang siapa yang menjadi kekasihku di masa depan. Tapi aku mengingat bertemu seseorang yang mirip sekali dengan Ezra, saat aku iseng ke masa depan saat aku masih kecil. Jadi saat kusatukan semua, yah… jadilah dugaanku.”
Arutala terdiam. Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Namun keheningan itu pecah saat Lara tiba-tiba berdiri.
“Yah, aku sudah harus pergi. Jadi-” “Ezra sangat merindukanmu, Lara.” Kata Arutala. Lara hanya tersenyum dan menjawab. “Aku juga.”
Lara berjalan pergi.
—
‘Aru kemana sih?’ Pikir Ezra. Sedari tadi ia mencari Arutala. Namun jejak kaki Aru pun tidak kelihatan. Tiba-tiba terdengar suara dari semak-semak di belakangnya. Arutala kembali.
“Aru, kakak minta maaf,” kata Ezra, “ayo kita-” Gadis itu menggelengkan kepalanya. Jarinya menunjuk ke arah tebing di belakang mereka. Tebing yang sama dengan tempat meninggalnya Lara. Seperti yang sudah dilihat Ezra, tebing itu ambruk. Lara jatuh dari ketinggian.
“Arutala, bawa aku kembali ke beberapa menit yang lalu.” Perintah Ezra. “Tidak kak Ezra,” Arutala menatap Ezra dengan tatapan kosong, “kita tidak boleh melakukan itu. Aku tahu apa yang ingin kakak lakukan.” “Memangnya kamu pikir apa yang ingin aku lakukan?” Tanya Ezra. Aru mengangkat alisnya. “Bukankah sudah jelas? Kakak ingin mengubah takdir.”
Ezra diam.
“Lagipula takdir itu Tuhan yang tentukan kak. Kita harus menerimanya.” Kata Arutala, tersenyum getir. Senyum itu bukan ditujukan untuk Ezra, namun dirinya sendiri.
“Jika saja aku tidak membawa Lara ke atas tebing itu, dia tidak akan mati.” Arutala terdiam sebentar, lalu menatap Ezra. “Lara sudah tahu.” Katanya singkat. “Apa?” “Kak, Lara sudah tahu takdirnya.” Ulang Arutala.
Arutala menggenggam tangan Ezra, menatapnya dalam-dalam. Ezra balas menatapnya memastikan Aru tidak berbohong.
“Meskipun begitu, Lara menerimanya. Kenapa? Aku tidak bisa memberi tahu kakak.”
Ezra mengangguk pelan.
Arutala menghela napas. “Kak… kakak tidak boleh terus berlarut dalam kesedihan. Masih banyak hal yang bisa kakak lakukan, semakin banyak juga orang yang yang bisa kakak temui. Takdir tidak ada yang tahu makanya jangan menyalahkan diri sendiri.”
Meskipun hanya kata-kata seperti itu, sudah membuat Ezra merasa lebih baik.
“Kamu yakin kalau kamu masih kecil? Caramu berbicara seperti orang dewasa. Bahkan lebih dewasa dariku.” Kata Ezra sambil tersenyum. Arutala membalasnya dengan senyuman.
“Matahari mulai terbenam di waktu kakak. Aku harus membawa kakak pulang.” Kata Arutala. Ezra mengangguk.
Dengan satu jentikan jari, Ezra kembali ke masa kini. Ezra berada persis di depan pintu rumahnya. Ia berbalik menatap Arutala.
“Arutala, terima kasih.” “Sama-sama, dan maaf ya kak.” Arutala nyengir. “Kira-kira, kita bisa bertemu lagi tidak?” ‘Percayalah kak kita pernah bertemu.’ Itu yang ingin Arutala ucapkan namun, dia memutuskan hanya membalasnya dengan anggukan. Lalu gadis kecil itu menghilang.
Ezra membuka pintu rumahnya dan melangkah masuk.
Cerpen Karangan: Adelpha Blog: Lilacpeachy.blogspot.com Seorang gadis muda yang bermimpi menjadi seorang penulis profesional. Terus gigih mengasah kemampuannya.