Aku pernah mendengar bahwa Istiqlal dan Katedral itu hidup berdampingan namun tidak ditakdirkan untuk bersatu, apakah itu benar?.
Namun entah mengapa aku juga merasakan bahwa kata kata itu benar. Aku merasakan karena aku dan dia yang terhalang oleh dinding yang tidak bisa kami tembus.
Hari ini hari minggu, aku mengantarkan seorang laki laki yang akhir akhir ini selalu bersamaku. Kami tidak memiliki status namun kami membangun sebuah komitmen.
Dia mulai memasuki tempat ibadahnya dan aku yang menunggunya diluar.
Terkadang aku berfikir, apakah kita akan bersatu? atau hanya dipertemukan saja?. Untuk apa kita membangun sebuah komitmen jika akhirnya kita hanya seorang manusia yang ditakdirkan untuk bertemu bukan bersatu.
Tepat dipukul 12 siang, aku melihatnya keluar dari Gereja. Aku berdiri untuk menyambutnya.
“Sudah selesai?” aku bertanya pada Justin. “Sudah, pulang atau ingin pergi jalan jalan?” tanya Justin padaku. “Aku belum melaksanakan ibadahku untuk sholat dzuhur, jika kau mau antarkan aku ke masjid terdekat” ucapku padanya. “Boleh” Justin mulai menyetir mobilnya untuk mengantarku ke masjid.
Beberapa menit diperjalanan akhirnya kita sampai. Aku dan Justin turun dari mobil, sekarang bergantian. Aku yang beribadah dan dia yang menungguku beribadah.
“Nggak sholat, Mas?” tanya seorang laki laki paruh baya yang memakai peci dan sarung, sepertinya baru saja selesai melakukan sholat. “Saya non islam, Pak” Justin menjawabnya dengan tersenyum. “Astaghfirullah maaf Mas, saya tidak tahu” laki laki paruh baya itu meminta maaf. “Gapapa pak” ucap Justin.
Mungkin ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang aku sukai dari Justin, dia selalu bersikap sopan kepada siapapun walau terkadang ada yang tidak sengaja ataupun sengaja menyinggungnya.
Setelah melaksanakan ibadahku, aku keluar dari masjid itu dan menemui Justin yang duduk di lantai menungguku. “Sudah selesai?” tanya Justin. Aku mengangguk dan memasuki mobil bersama Justin.
Justin memandangiku, aku mengernyitkan dahi tidak mengerti. “Rambutmu terlihat, sini aku benarkan” Justin memasukan anak rambut yang terlihat diluar kerudungku. “Terima kasih” aku mengucapkan terima kasih pada Justin, lagi lagi aku semakin jatuh padanya.
“Kita ingin kemana?” tanya Justin. “Hmm ke alun alun kota boleh” aku menyarankan alun alun kota karena disana tempatnya ramai pasti banyak orang berjualan disana.
Beberapa menit kita di perjalanan akhirnya sampai dialun alun kota. Walau cuacanya panas tetapi masih banyak orang yang berada disini, entah orang yang sedang berpacaran ataupun menyenangkan hati anaknya.
Tak sengaja aku melihat sebuah keluarga kecil yang bahagia, aku tersenyum melihatnya. Membayangkan bahwa nanti aku juga ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia bersama Justin.
“Lucu ya adeknya” aku berbicara. “Yang mana?” tanya Justin. “Yang itu” aku menunjuk salah satu keluarga yang sedang tertawa bahagia disana. Justin ikut tersenyum. “Semoga nanti kita bisa bahagia bersama seperti mereka” ucap Justin. “Aamiin”. “Amen”.
Kami lanjut mengelilingi alun alun entah untuk melihat pemandangan lain atau membeli makanan.
“Cuaca semakin panas, aku ingin pulang” ucapku pada Justin. “Ayo”. Dirasa sudah bosan dialun alun kami kembali ke mobil untuk pulang ke rumah. Saat di perjalanan, Justin menyembunyikan kalung salib yang dia pakai kedalam bajunya. Aku hanya terdiam tanpa berkata.
Tok tok tok “Assalamualaikum kami pulang, Ma” Mamaku membuka pintu setelah aku mengetok pintu. Mama hanya diam tanpa menyuruh kami masuk ke dalam rumah, aku bingung dengan sikap Mama. Mama mulai menyentuh baju Justin untuk mengeluarkan kalung yang ia sembunyikan dalam mobil. Hatiku mulai berdebar, aku tidak pernah bilang apa agama Justin. Keluargaku mengira bahwa Justin adalah seorang muslim.
“Mah”. “Jangan disembunyikan, Nak” mamaku tersenyum. “Maaf” Justin berkata lirih. “Ma…” Akupun memanggil mamaku. “Ayo sini masuk dulu” akhirnya mama menyuruh kami untuk duduk.
Aku dan Justin duduk di sofa, perasaanku sedikit tidak enak. Kami hanya terdiam menunggu mamaku untuk memulai pembicaraan.
“Mama tau kalian dekat, bukan sebagai seorang teman tetapi antara perempuan dan laki laki” mama menarik nafas panjang. “Jika serius dengan Haliza, Justin mau meninggalkan kepercayaan Justin?” tanya mama. Justin hanya terdiam, takut salah kata. “Ma, udah” ucapku kepada mama.
“Maaf, saya serius dengan Haliza tetapi saya tidak bisa meninggalkan kepercayaan yang saya anut dari kecil” ucap Justin. “Mama paham, jika kamu tidak bisa meninggalkan kepercayaan yang kamu anut dari kecil tolong akhiri hubungan kalian, karena mama tahu, seperti apa akhir dari hubungan kalian” ucap mama. Aku hanya terdiam, mataku berkaca kaca. Rasanya tidak rela jika harus terpaksa mengakhiri. Baru saja aku berkhayal bahwa kami akan hidup bahagia bersama hingga masa tua mendatang.
“Itu juga susah ma” Justin berbicara. “Mama hanya ingin yang terbaik untuk kalian” mama berkata dengan tegas. Aku tidak menyalahkan perkataan mama tetapi untuk mengakhiri tentu saja sangat menyakitkan.
“Maa, Haliza….” aku tidak berani meneruskan perkataanku. “Jika memang kami harus berakhir, beri kami kesempatan untuk bersama selama beberapa hari setelah itu kami akan benar benar mengakhiri” ucap Justin. Aku menatap Justin dengan pandangan tidak percaya, tentu saja aku tidak mau tetapi aku hanya diam.
“Baik, mama kasih kalian kesempatan” ucap mama.
Ternyata alasan dari Justin meminta waktu beberapa hari pada mama, ia membawaku ke masjid Istiqlal dan ia memasuki gereja Katedral pada hari minggu.
Aku bertanya kepada Justin, mengapa ia membawaku ke masjid Istiqlal?. “Karena aku ingin kau dan aku sama sama ikhlas atas berakhirnya hubungan kita, Istiqlal dan Katedral hidup berdampingan tetapi bukan untuk bersatu sama seperti kita” ucap Justin.
Aku hanya terdiam, banyak kata yang bersarang di otakku saat ini.
“Aku ingin melaksanakan ibadahku kepada Tuhanku dan laksanakan ibadahmu pada Tuhanmu” ucap Justin. “Ini belum waktunya untuk sholat dzuhur” ucapku pada Justin. “Ya aku tahu, tunggulah aku di masjid Istiqlal karena aku masih lama beribadah di gereja Katedral” setelah mengatakan itu ia mulai memasuki tempat ibadahnya.
Akupun memasuki masjid Istiqlal sembari menunggu Justin selesai beribadah. Justin keluar dari gereja pada pukul 12 siang dan bertepatan dengan waktuku untuk memulai sholat dzuhur.
Setelah melakukan ibadahku, aku menemui Justin yang menungguku didepan. “Sudah selesai?” tanya Justin. “Sudah” ucapku.
“Hari ini hari terakhir kita, aku ingin kau dan aku menghabiskan waktu untuk yang terakhir kalinya” Justin tersenyum. “Aku juga ingin” ucapku pada Justin.
Kami mulai memasuki mobil dan berkeliling kota sampai malam hari. Entah melihat sebuah pertunjukan, menonton ke bioskop, bermain di timezone atau makan bersama. Menikmati hari hari terakhir yang tidak akan bisa kami ulang.
Pada pukul 21.00, Justin mengantarkan aku pulang.
Mamaku sudah menunggu di ruang tamu.
“Saya menepati janji, hari ini adalah hari terakhir saya dan Haliza untuk berhubungan” ucap Justin kepada mama. “Kamu lelaki baik dan bertanggung jawab semoga kau mendapatkan jodoh yang sama dengan kepercayaanmu” Mama tersenyum. “Saya pamit undur diri, semoga putri mama mendapatkan pengganti saya, yang bisa membimbingnya ke jalan Allah” Justin mencium tangan mama dan mulai keluar dari rumah. Aku hanya diam melihat tanpa berkata, mulut ini sudah tidak sanggup untuk berkata karena sudah tertutupi oleh air mata.
Hubungan yang sia sia. Terpaksa berpisah karena suatu perbedaan. Meninggalkan sejuta kenangan yang tersimpan.
Aku mulai memasuki kamar dan berdoa kepada Allah untuk meminta pengampunan. Semoga Allah bersedia memaafkan aku yang mencintai seseorang yang berasal dari anak Tuhan.
Cerpen Karangan: Khoirunnisa