Dalam sudut pandangnya yang telah kabur, seorang perempuan berlari mengejar asa yang kiranya masih tersisa. Menyelamatkan batinnya dari rasa sakit yang menyiksa. Jika bagi sebagian orang rumah adalah tempat berpulang, namun hal itu kiranya tidak berlaku bagi Alunika Anindita. Rasa yang harusnya bertajuk adalah kehangatan nan kenyamanan, namun hanyalah membuang pikiran dan membuatnya mencari makna apa itu rumah. Tangannya sudah penuh oleh titik-titik kecil yang ia ciptakan sendiri. Sebuah mahakarya dosa yang jadi pelampiasan atas rasa sakitnya.
“Aku juga punya luka seperti kamu, tapi aku tidak menangis tak karuan di bawah hujan seperti ini” Seorang pria berperawakan tinggi tiba-tiba menarik tangan Alunika untuk berteduh di perpustakaan kota. Beruntung suasana sepi, jadi tak begitu banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. “Tunggu disini sebentar. Kalau kau coba-coba lari yang ada orang-orang akan memperhatikanmu” titah pria tersebut. Entah sihir apa yang ia bawa dalam ucapannya, membuat Alunika patuh begitu saja bak diperintah seorang raja.
Tangan pria itu kembali menarik Alunika ke dalam sisi perpustakaan yang tidak terlalu banyak orang. Menenggelamkan tubuh keduanya diantara rak-rak buku yang berbaris rapi di belakang. Alunika terduduk di samping pria yang baru saja dikenalnya. Pria itu membersihkan luka pada tangan Alunika, dengan lembut dan hati-hati. Jika boleh berucap tanpa ada yang mendengar, Alunika kagum dengan perlakuan selembut ini. Sudah lama sejak Alunika merasakan merasakan perlakuan seperti ini, hingga sejujurnya Alunika lupa bagaimana rasanya.
“Kamu melukai tanganmu menggunakan apa?” pria itu tetap berbicara pada Alunika meskipun 2 kalimat pertamanya tak mendapat jawaban dari Alunika. “Pisau buah” Alunika menjawab singkat sembari kembali menarik tangannya yang sudah berbalut perban yang pria itu dapatkan dari kotak P3K milik perpustakaan kota.
“Aku tau sebenarnya tujuanmu menuju jembatan penyebrangan di depan” pria itu seolah mengetahui tujuan awal Alunika. “Kau ini memang kecil, seperti tinker bell. Tetapi bukan berarti kau bisa loncat disana.” Lanjut pria itu. “Aku pikir kau menarikku karena memiliki tujuan yang sama, karena kau bilang kau memiliki luka yang sama denganku” balas Alunika. Pria itu terkekeh, lalu berkata “Jikalau adakah pasien rumah sakit yang divonis hidupnya tak lama lagi, aku lebih baik menyerahkan nyawaku pada mereka. Daripada membuang nyawaku begitu saja” Kalimat itu membuat Alunika terdiam, dan sedikit tersadar.
“Kamu ini sebenarnya kenapa melukai lengan mu begitu?” pria itu bertanya. “Dengar, kita adalah dua asing yang bertemu. Aku tak masalah akan menceritakan betapa pedihnya hidupku belakangan terakhir. Asal setelahnya, kita tidak pernah bertemu” kalimat Alunika tersebut Alunika lanjutkan dengan menceritakan bagaimana pedihnya menelan mata pelajaran untuk memantaskan diri tanpa pernah mendapat apresiasi. Bagaimana dirinya selalu mendapat tuntutan tanpa pernah mendapat dukungan.
“Kalau begitu, aku tidak mau untuk berhenti bertemu denganmu. Adnan Evano, kita berteman mulai sekarang” pria yang Alunika ketahui bernama Adnan itu, menjulurkan tangannya hendak bersalaman. Alunika menatap tak percaya pada pria di hadapannya. Bagaimana bisa ia berteman dengan orang yang baru dikenalnya, meskipun memang begitu jalan sebuah pertemanan, tetapi mereka benar-benar bertemu secara tak sengaja. “Alunika Anindita” bagaimanapun, Alunika tetap membalas jabat tangan Adnan, ia tidak ingin pria itu malu.
Setelah perbincangan singkat dan perkenalan yang tiba-tiba, hujan kian reda. Begitupun dengan tangis Alunika. Ini waktunya ia pulang ke tempat dimana ia merasakan sakit sebelumnya. “Terimakasih untuk perbannya, aku mau pulang” pamit Alunika dengan sopan. “Aku antar kau pulang” Adnan menawarkan diri, Alunika jelas menolak. “Kau jangan takut, aku tidak bermaksud jahat. Lagipula kita sudah berteman, aku jadi lebih mudah mencarimu kalau aku tau rumahmu” rasanya tidak cukup sekedar bertukar sosial media, Adnan juga ingin mengetahui dimana rumah Alunika. “Sebenarnya apa tujuan utamamu membantuku?” Alunika bertanya keheranan.
“Alunika, Tuhan itu memberikan cara untuk menyelamatkan hidup seseorang berbeda-beda. Kalau aku bisa menjadi perantara, kenapa tidak. Aku yakin, bukan hanya satu kali ini niatmu mengakhiri hidup, hal seperti ini berkelanjutan. Di masa mendatang bukan tak mungkin kau akan melakukannya lagi” jelas Adnan membuat Alunika kembali kagum.
Alunika tidak bisa menolak fakta bahwa memang Adnan telah menyelamatkan hidupnya. Namun bukankah perkenalan ini terlalu cepat? Alunika membiarkan dirinya berada dibawah kucuran air di dalam kamar mandi. Ia sengaja ingin membilas tubuhnya dari dinginnya air hujan. Pikiran Alunika tetap mengawang-ngawang tentang sosok Adnan yang barusan mengantarnya pulang. Setelah selesai dengan bilasnya, Alunika keluar dari kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.
Sebuah notifikasi pesan masik dari ponsel mengalihkan fokus Alunika. “Aku mau kita bertemu lagi, tapi aku tidak suka melihat tanganmu. Pastikan ketika kita bertemu nanti, tanganmu sudah bersih dari luka” Sebuah pesan peringatan yang membuat Alunika terdiam. Bukankah artinya, Adnan sedang bersikap peduli pada Alunika? Tapi kenapa? Entah apapun alasannya, Alunika tetap membalas pesan itu. Kalimat-kalimat ringkas berubah menjadi obrolan yang seru diantara mereka. Bukan tanpa tapi, Anulika dan Adnan kian dekat karena saling berbagi cerita.
Tibalah saat dimana Alunika kembali bertemu dengan Adnan. Derap kakinya kian cepat dengan peluh menetes seolah ia berjalan diatas bara api. “Adnan, sudah menunggu lama?” sapa Alunika sembari mengatur nafasnya. “Kenapa lari-lari?” Adnan sedikit panik melihat Alunika. “Aku pikir disini juga hujan, ternyata hanya rintik kecil. Aku sudah membawa jaket takut kamu basah kuyup” jawaban Alunika membuat Adnan sedikit tertawa. Adnan menarik tangan Anulika dengan lembut, membawa tubuh Alunika untuk terduduk di sampingnya. Adnan memutar tangan Alunika untuk melihat pergelangan tangannya. “Tangan kamu sudah bersih. Sudah kembali cantik, kamu hebat” ujar Adnan membuat Alunika ingin menangis, beruntungnya air mata itu masih bisa tertahan. “Terimakasih ya” Alunika berucap sambil tersenyum sendu menatap Adnan. “Kenapa terimakasih?” Adnan bertanya tak tahu maksud Alunika. “Karena kau selalu memberikan apresiasi terhadap hal-hal kecil yang aku buat, yang aku sendiri belum pernah mendapatkan itu” jelas Alunika
“Kau harus selalu percaya akan ada pelangi setelah hujan. Sebasah apapun kamu dibuat hujan, namun pelangi bisa tiba kapan saja. Kamu juga harus selalu percaya bahwa langit malam yang gelap akan selalu terang dengan bulan. Aku pikir, dengan aku memberikan apresiasi, aku telah meredakan hujan dan menerangkan malam untuk seseorang” Adnan berkata tak kalah jelasnya.
Alunika semakin tersenyum dibuatnya. “Kalau begitu, terimakasih sudah menjadi pelangi dan bulan secara bersamaan” Alunika bersyukur dengan ikhlasnya. Pertemuan tanpa sengaja yang diskenariokan oleh Tuhan ternyata membuahkan hasil baik. Alunika kian jatuh cinta terhadap sosok yang ia kira buruk pada awalnya. Tuhan selalu memiliki cara unik untuk membuat dua orang saling jatuh cinta. “Kau kenapa seperti kagum begitu?” Adnan bertanya setelah melihat raut wajah Alunika. “Yang bikin aku kagum sama kamu itu karena cara kamu memperlakukan aku dengan cara yang baik. Cara kamu bikin aku nyaman, aku bebas cerita sama kamu apapun itu yang bahkan dari dulu aku ga berani cerita ke siapapun. Kamu pendengar yang baik, kamu sandaran terhebat yang pernah aku punya. Di dekat kamu, aku bukan hanya merasa nyaman tetapi aku juga merasa tenang. Tenang seperti yang benar-benar tenang, seperti rumah terbaikku. Kalau aku adalah Tinker Bell, maka kau adalah Peterpan bagiku.” begitu jelas Alunika.
Cerpen Karangan: Nana Kasilda Ivana Windi SMP Tarakanita 1