Setelah sekian rasa sakit yang Alunika terima, akhirnya Alunika dapat kembali memaknakan apa itu rumah. Adnan, menjadi satu-satunya tempat paling nyaman untuk bercerita, baik dalam kondisi senang, sedih, maupun bahagia. Kedua kalimat panjang barusan membuat mereka semakin jelas dalam menjalani hubungan. Mereka saling mencintai, maka mereka juga ingin saling memiliki.
“AKU UDAH BELAJAR KERAS SELAMA INI APA KURANG, MA?” Alunika berteriak tanpa aba-aba. “Belajar belajar.. Belajar apa nilaimu segitu? Gak usah kau main-main lagi dengan laki-laki yang selalu mengantarmu pulang ketika kau sudah basah kuyup” Ibu dari Alunika mangucapkan kalimat yang kian menyakiti hati Alunika. “ANDAI MAMA TAU, KALO GAADA DIA GA MUNGKIN AKU MASIH DISINI SEKARANG, MA” serang Alunika beriringan dengan tangisnya. “Kamu itu terlalu memikirkan dia, tugas kamu itu cuman belajar, belajar dan belajar” Mama mengiris hati Alunika. “LALU KALAU TUGAS AKU BELAJAR TUGAS MAMA APA?! TERUS-TERUSAN MENUNTUTKU? APA PERNAH MAMA SEKALIPUN DUKUNG DAN KASIH AKU MOTIVASI? NGGA KAN MA? AKU DAPET ITU SEMUA DARI ADNAN MA, DIA SELALU APRESIASI APAPUN YANG BERHASIL AKU LAKUIN.” Tutup Alunika.
Alunika kembali berlari ditengah hujan sambil berusaha menghubungi Adnan. Kini, hanya laki-laki itu yang Alunika harapkan untuk mengerti perasaannya. Namun, semua sosial medianya tak aktif. Alunika mengunjungi rumahnya, mengetuk pintu sambil memanggil namanya, namun tak kunjung ada jawaban.
Terakhir pria itu menghubungi Alunika adalah ketika ia bercerita bahwa ia harus mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, setelah itu tak lagi nampak sapaan sisa dari dirinya. Alunika berlari pasrah, menuju ke perpustakaan kota tempat dimana dirinya dan Adnan pertama kali bertemu. Kiranya hanya ini harapan yang dapat Alunika lakukan untuk menangis betapa malangnya hidup Alunika. Bukankah semesta kejam? Mengahdirkan seseorang yang telah menjadi jembatan penyelamat dari jembatan yang akan membuat tubuhnya kaku, kemudian menghilangkan seseorang itu tanpa pamit yang jelas.
Alunika menangis tanpa suara, sesak rasanya memimikirkan bagaimana dirinya ditinggalkan dalam kondisi terendah dalam hidupnya. Alunika memakai earphone, mendengar lagu-lagu favoritnya juga favorit Adnan yang sering mereka dengar bersama. Besar harapnya Adnan tiba-tiba menghampirinya dengan maksud khawatir. Namun kondisi hari ini berbeda dengan hari lalu. Hujan kian deras tak menunjukkan tanda reda, maka tak akan ada pelangi yang Alunika maksud. Alunika lupa fakta, bahwa semu ataupun nyata, pelangi akan tetap pergi. Dan Alunika, tidak pernah tau dimana ujung pelangi itu, dimana sang pelangi melabuhkan dirinya menjadi tempat untuk beristirahat terakhir, sebelum akhirnya benar-benar menghilang.
Pikiran Alunika kacau, kepalanya sangat berisik. Adnan memang menyelamatkan dirinya dari bunuh diri, namun Alunika bisa saja mengulang hal itu hari ini, jika ia menuruti ego dan isi kepalanya. Namun, Alunika masih tetap menunggu hadirnya Adnan. Bagaimanapun, ia sudah jatuh cinta terlalu dalam pada pria itu. Tak pernah Alunika merasa bahagia sebahagia ketika ia bersama Adnan. Bermain dibawah hujan, membaca buku sambil mendengar musik bersama, dan mengapresiasi hal-hal yang telah dilakukan selama hidupnya. Alunika tidak pernah diperlakukan sebaik ini oleh orang lain. Kalaupun orang lain ada yang memperlakukan dirinya dengan baik, Alunika tidak mau jika ia bukan Adnan.
Butuh waktu lama untuk mengganti tempat Adnan di hatinya. Adnan adalah orang yang ada disampingnya ketika ia rapuh, juga orang yang meninggalkannya ketika ia jatuh. Adnan adalah obat sekaligus luka baginya sekarang. Namun adakah barang sedikit kebencian Alunika terhadap Adnan? Maka jawabannya tidak. Ya, Alunika tidak dapat membenci Adnan sesering apapun pria itu menyakitinya. Karena justru, ia lebih bahagia jika bertemu Adnan daripada tidak ada Adnan dihidupnya sama sekali. Sebut saja bahwa Alunika menggantungkan nasib hidupnya pada Adnan. Adnan sendiri yang menuntun Alunika ke tengah jembatan agar tidak terjatuh kedalam arah yang sesat. Namun kini Alunika berada ditengah jembatan itu tanpa tuntunan. Maka, Alunika tidak akan bisa melewatinya kecuali Adnan menuntunnya. Adnan bilang, Alunika adalah Tinker Bell. Maka, langkah Alunika terlalu kecil untuk mengarungi jembatan rapuh ini sendirian. Ditambah, kakinya tak lagi kuat menopang tubuhnya yang kian lemah dijahati semesta.
Hujan kini telah reda. Langkah Alunika terseret membawa kembali ke tempat dimana ia merasakan rasa sakit seperti tadi. Alunika tidak memiliki tujuan lain. Adnan telah pergi tanpa jejak, kalau tinggal jauh dari rumah Alunika hanya akan menjadi gelandangan semata. Dirinya belum memiliki cukup materi untuk hidup sendiri.
Alunika masuk kedalam rumah yang terasa begitu dingin dan sunyi bagi dirinya. Alunika memasuki kamarnya sambil sedikit membanting pintu. Dirinya perlahan terduduk lemas sembari menyender dibalik pintu. Air matanya kembali turun, Alunika masih menaruh harap dengan kembali melihat ponselnya. Namun hasilnya sama, masih tak ada jawaban. Hanya pesan-pesan spam yang Alunika kirim dan telfon yang tak diangkat oleh sang pemilik nomor. Alunika pasrah, dirinya sudah terlalu sering dikhianati oleh keadaan.
Alunika selalu berpikir, apa salah dirinya sehingga semesta menganggap hidupnya hanya sebuah lelucon. Alunika seperti menaiki roller coaster, dirinya akan dibuat bahagia sesaat lalu diberikan sakit yang bertubi-tubi menyerang dirinya. Lalu kenapa Tuhan menyakiti Alunika perlahan-lahan jika Alunika bisa membuat dirinya sendiri mati? Alunika masih belum menemukan jawaban soal itu. Dirinya masih terus sibuk melawan pikirannya yang terus-terusan mengajaknya mengakhiri untuk melihat indahnya dunia.
Jika boleh jujur, melawan ego sendiri lebih sulit ketimbang harus adu mulut dengan orang lain. Bagaimana pedihnya menahan rasa sakit tatkala diri bahkan tak memihak pada diri kita sendiri. Terlebih, ditambah pedih dimana Alunika harus menahan suara tangisnya, dengan membekap mulut ataupun wajahnya. Alunika seharusnya kagum, dengan apa yang telah ia lewati sejauh ini. Namun dirinya belum sadar akan hal itu, terkecuali jika Adnan yang memberitahu sehebat apa Alunika sudah bertahan sejauh ini. Namun mimpi hanyalah mimpi. Adnan kini tiada, semakin meinipiskan keinginan Alunika yang bahkan memang sudah tipis.
Tapi Tuhan, jika memang benar Adnan akan dihilangkan dari kehidupan Alunika, tidakkan setidaknya Tuhan mengizinkan Alunika berpamitan pada Adnan? Cukup hati Alunika tergores dengan kepergian Adnan, tapi tidak dengan pergi tanpa berpamitan. Alunika sudah hancur berkeping-keping, butuh sehancur apalagi Alunika agar permintaannya dikabulkan?.
Tubuh Alunika kian melemah, selain rasa sakit karena orang lain, Alunika kerap menambahkan rasa sakit sendiri. Atau setidaknya, izinkan juga Alunika pergi. Tanpa diketahui, dan tanpa berpamitan dengan orang-orang. Alunika hanya ingin tenang, beristirahat, dan tidur tanpa beban pikiran. Sebuah kondisi yang tidak sulit namun sudah lama Alunika tidak merasakannya. Jika terlalu banyak kata, hanya satu kalimat yang akan Alunika ucapkan. Alunika lelah dipermainkan semesta.
Cerpen Karangan: Nana Kasilda Ivana Windi SMP Tarakanita 1