Duniaku sudah lama gelap. Matahari enggan memberi kelap-kelip cahayanya di timur, bahkan aku tak berpikir lagi kalau sekarang dunia sedang berputar. Walau nyatanya matahari masih terbit disana, tapi dia tidak terbit di duniaku, kehidupanku. Semakin dipaksa untuk tidak melihat dunia luar, semakin gelap langitnya.
Kenapa aku diam? Kenapa aku mati rasa? Aku tak mencintai, dan tidak dicintai.
Langit itu sudah sangat gelap, pandangan dunia menjadi kabur, ditambah manusia-manusia berhati gelap, membuat langit itu tidak bisa disebut gelap, tapi hitam.
Kadang aku bertanya kemana lagi aku harus mencari cahaya? Mungkin ada lampu, atau bahkan bulan yang melayang di atas sana? Tapi tetap tidak membuat langit menjadi terang dan biru cerah seperti hamparan lautan.
Dunia terlalu monoton, dengan aku yang juga monoton.
Akhir-akhir ini, tak ada yang lebih hidup daripada puisi-puisi yang selalu terdengar di telinga, seorang gadis yang selalu menghampiriku yang hanya sendirian di rooftop sekolah. Di siang yang selalu terik, ia selalu memintaku mendengar semua puisi yang dibuatnya.
Dari semua puisi yang ia buat, hanya ada satu puisi yang selalu terngiang di segala indraku.
“Bulan.
Terlihat cantik dari tanah bumi. Cahaya putih yang selalu terlihat dari sini. Kupikir ia mutiara terbesar yang alam ini miliki. Bersama bintang, kau membuat lautan versi dirimu sendiri,
Namun saat kudekati, kau terlihat lesu. Berada di langit yang hampa dan sendu. Karena hampa kau tak mampu membuat suaramu. Warna aslimu pucat layaknya hantu.
Tidak masalah, Sang Pelita Malam. Itu terlihat cantik dan tenang di pandangan mata. Aku selalu mencoba membuat dirimu lebih hidup dan cerah. Dan, malam ini bulan sangat indah bukan?”
“Aku ingin kau membalas ini dengan puisi buatanmu, buat sebisamu saja ya.” “Aku tunggu balasan puisimu!”
Setelah itu, ia tak pernah menghampiriku untuk mendengarkan puisinya, bahkan tak menanyakan tentang balasanku berua puisi tersebut.
Ia tak pernah terlihat lagi, bahkan terkadang aku mencarinya sampai keliling sekolah, ia tak mampu kutemui lagi, aku mencoba bertanya dengan mental yang tak stabil karna kegugupan di hadapan orang, tetap tak kunjung dapat kabar, dia datang dan lenyap secara tiba-tiba.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan. Selama itu yang kuliat di siang hari hanyalah langit yang berawan, mendung dan hujan, tak pernah terik lagi seperti sebelumnya, seperti saat dia bersamaku, seolah dia gadis yang bisa menggeser awan hujan, demi apapun benar-benar tak pernah ada matahari yang terik lagi di mataku setelah ia hilang.
Itu membuatku selalu membawa jaket dan payung, aku tak bisa menikmati pemandangan cerah lagi dan hanya berteduh dengan payungku, dari atas sini udara sangat kencang dan dingin, membuatku merasa ini seperti skenario hidupku yang hanya hampa, gelap dan dingin.
Karna mengingat dia selalu menungguku untuk membalas puisinya, terkadang aku sambil memikirkan kata per kata puisi yang ingin kutulis, dan sambil menunggu kedatangan dia.
Semakin lama aku menulis puisi ini, semakin terasa dalam perasaanku yang tak bisa terlihat ini, aku merasa sesuatu masuk ke dalam diriku yang ‘kosong’ ini, seperti gerimis kecil yang jatuh dari langit, dia menetes satu persatu secara teratur… … yang nantinya akan menjadi hujan deras yang tak terkendalikan.
—
“Kau mencari Asami?” “Ya, aku dulu sering bertemu dengannya, apa kau tau kabar dia sekarang? Dia sudah jarang terlihat.” Orang yang kutanyai ini adalah salah satu teman sekelasnya perempuan itu yang sering kutemui, perempuan yang bernama Asami.
“Hhmm, aku seperti pernah melihatmu, namamu siapa?” “Kazuki” “Ah baiklah, aku juga tak mendengar lagi kabar dari Asami, dia sudah tak kembali ke sekolah beberapa bulan ini, nanti kalau aku mendapat kabarnya aku akan beritahu, oh ya ngomong-ngomong kau bisa panggil aku Omi.” “Terima kasih banyak, Omi.”
Pertemuanku dengan teman sekelas Asami membuatku sedikit tenang, setidaknya nanti aku bisa tau keberadaannya kalau dia sudah mendapatkan kabar darinya.
Aku memegang kertas berisi puisi yang sudah kuselesaikan khusus untuk Asami, yang akan kubacakan nanti kepada Asami jika sudah mendapat kabarnya dan bisa bertemu lagi dengannya, aku harap dia menerimanya.
Sore ini, sekolah terlihat sangat sepi, murid-murid kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat esoknya, namun aku masih disini, aku masih ada sesuatu yang harus kuurus di sekolah, yah walaupun aku terlihat seperti lelaki yang pendiam tak ada kerjaan, namun aku tetap aktif mengikuti ekskul, walaupun di ekskul aku juga jarang punya teman.
Setelah ekskulku selesai aku bersiap untuk pulang, aku sudah bersiap dan akan melangkahkan kaki keluar dari sekolah, sebelum tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.
“Kazuki, tadi temanku memberi pesan kepadaku, dia ingin bicara sebentar denganmu, dia menyuruhmu untuk ke rooftop sekolah saat subuh, sebelum matahari terbit.” “Rooftop? Buat apa?” “Entahlah, katanya dia sudah mendapat kabar dari seseorang yang kau cari.” Spontan aku mengatakannya dalam hati, ‘Ah, apa mungkin itu Omi? Mungkin dia sudah dapat kabar tentang Asami.’ “Ya sudah, aku akan kesana.” Aneh, kenapa harus di waktu subuh?
Aku coba mengirim pesan kepada Omi, bertanya berbagai alasan yang masih dalam bentuk pertanyaan, dia hanya berkata kalau kabar tentang Asami ini cukup darurat, ia ingin memberitahu tentang ini padaku secepatnya, padahal ia bisa saja memberi tau kabarnya lewat pesan, permintaannya cukup janggal, namun mau tak mau demi kabar Asami, terpaksa saja ikuti katanya, lagipula aku sudah berusaha dan menunggu lama untuk mencari.
Saat subuh, sampailah di puncak tertinggi gedung sekolah, aku berdiri di rooftop melihat seluruh sisi yang ada di situ, tapi nihilnya tak ada seseorang disana, entah belum datang atau bagaimana, aku tak mengerti.
Aku coba melangkah perlahan, mencoba sekali lagi melihat seluruh sisi yang mungkin belum kulihat dengan baik-baik. Namun sekejap aku merasakan hawa seseorang di belakangku, dan hal yang sangat menusuk punggungku.
“Kamu sangat berani mengincar gadis yang sedang kukejar yah.” Suara itu sangat tajam dibandingkan benda yang sedang menusuk punggung ini.
“Dia berlari mencari rumahmu saking inginnya dia menunjukkan bahwa dia menang lomba puisi, lalu truk menabraknya di tengah hujan deras.” “Dia rela menjumpai bahkan rela mati… hanya karna kau.” “Kau tidak tahu bahwa hanya akulah yang pantas untuknya kah?”
Lelaki itu, dengan hawa obsesi cinta gilanya, rasa sukanya hanya berujung pada kegilaan akan terhipnotisnya ia pada seorang wanita, aku perlahan mencoba melihat ke belakang.
Omi. Cowok yang nyatanya seorang yang gila dan cukup psikopat, bagiku.
“Bahkan Tuhan pun mengambil dia karna tau jika dibiarkan hidup denganmu, dia akan tersiksa.” Setidaknya hanya itu yang bisa aku ucapkan ke lelaki brengsek itu, sebelum ia melakukan hal yang lebih keji. “Pergilah kau jika ingin menjumpainya.” Ia mendorongku dari atas gedung.
Badanku terasa terbang ke akhirat, tapi nyatanya aku masih sadar, aku belum benar-benar ke akhirat, tapi rasa sakitnya cukup luar biasa saat mendarat.
Nafasku mulai menipis, dengan darah yang mengalir dan menyebar ke tanah, kepalaku yang mulai pusing, pemandangan mataku yang mulai buram ini melihat langit fajar yang mulai bersinar.
Dari sejak dia tak ada, baru kali ini langir di pagi hari disambut oleh Sumber Cahaya yang hangat dari angkasa.
Hujan selalu turun di pagi hari, dan dia tak ada lagi disini, sweater atau jaket tak ada satu pun yang mampu melindungiku dari hawa dingin itu, namun sekarang aku sudah tak butuh itu, ia datang sebagai matahari.
Aku mengambil kertas yang sudah ronyok dari sakuku, aku harus membacanya, setidaknya aku masih bisa membalas puisinya sebelum terlambat.
“Matahari.”
Aku mencoba memanfaatkan kesempatan untuk menghembuskan nafas yang semakin sedikit, untuk membalas puisinya.
“Sumber dari semua cahaya. Semuanya nampak suram tanpanya. Mengambil celah untuk memperlihatkan sinarnya. Kepada yang sudah putus asa.”
“Kau memintaku untuk membalasnya. Memang tak bagus namun sudah kucoba. Selama hidupku, matahari slalu menyiksa. Tak ada rasa hangat yang nyaman darinya…”
“Sekarang matahari yang tulus terlihat di mata. Izinkan aku untuk tidak menjadi bulan yang suram cahayanya. Biarkan aku menjadi bumi. Yang selalu berotasi mengelilingimu, selamanya.”
Satu hembusan nafas, kalimat terakhir terucap, dan hanya matahari ter
“Sepertinya, kau sudah jadi matahari yang asli di atas sana… Aku akan jadi bumi untukmu, sampai jumpa.”
Matahari terbit yang kulihat adalah matahari asli pertama dan terakhir yang kulihat, sebelum ku menyatu dengan bumi, dan selamanya mengelilingi matahariku.
Cerpen Karangan: Nazahra