Ndoro Arum, Wonosobo. 28 November 2017 “Pa-ra-ra-ra-ra-ra-ra … pa-ra-ra-ra-ra-ra-ra … pa-ra-ra-ra-ra-ra-ra-ra.” Aku sedikit bernyanyi, atau sebut saja bergumam, saat menulis catatan setelah melewati jalur naga—gunung Sindoro. Petang ini aku beristirahat di bawah pohon besar, tidak tahu pohon apa. Daunnya berbentuk memanjang, seperti bulan sabit. Dahan dan cabangnya keras dan kuat. Sangat nyaman untuk bersandar sambil menulis catatan.
Merasa aneh karena aku mengambil jalur pendakian Ndoro Arum? Kenapa tidak lewat Alang-alang Sewu atau mengambil jalur Kledung? Memang, jalur pendakian Kledung paling nyaman dan aman karena selalu ramai. Aku malas saja dengan antrian panjang di sana. Jalur lain aku tidak tertarik. Ndoro Arum, itu jalur yang istimewa untukku.
Ini cerita lama, tepatnya setahun yang lalu. Kami,—maksudnya aku dan Arum, sebut saja kekasih atau pacar—bertemu di jalur naga. Dia ketinggalan rombongan, karena harus berurusan dengan sesuatu yang menyebalkan.
Berjalan gontai di jalur naga, sambil memegangi perut dengan kedua tangannya. Ditambah dengan beban berat di punggung. Melihatnya seperti itu, aku langsung menghampirinya dan menawarkan bantuan.
Kebetulan juga aku sedang melakukan pendakian solo—entah apa alasan pastinya, yang jelas kala itu aku ingin menenangkan pikiran— bertemu dengan Arum, aku anggap itu sebuah takdir.
Saat itu kami juga beristirahat di bawah pohon ini. Itu, bisa dibilang setengah kesialan sih. Berbeda dengan hari ini yang begitu cerah. Langit petang berwarna merah dan indah. Kala itu hujan lumayan deras. Jadilah kami mendirikan tenda di bawah pohon ini. Kami berdua, menikmati waktu bersama. Di antara daun gugur, mendirikan tenda untuk berteduh.
Sorot matanya perlahan terlihat resah, terus menatap ke luar tenda. Hujan semakin deras dan dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pendakian. Aku membujuknya agar menunggu hujan reda, baru kami akan melanjutkan pendakian bersama. Hari sudah gelap, dia nekat mau menyusul teman-temannya? Ada-ada saja.
“Thanks buat semua bantuanmu, aku udah baikan. Hujan dikit kayak gini bukan apa-apa lah.” “Serius mau lanjut? Aku yakin temen-temenmu juga lagi pada istirahat. Nggak ada yang mau buang tenaga buat mendaki di cuaca kayak gini.” “Justru karena mereka lagi pada istirahat, jadi ini kesempatan terbaik buat nyusul.”
Aku kalah, tidak bisa membujuknya lagi. Sayang sekali obrolan ringan tadi bisa jadi adalah obrolan terakhir kami. Dia pribadi yang menyenangkan dan berpikiran dewasa padahal. Berbicara dengannya benar-benar membantuku menenangkan pikiran. Dia sosok wanita bijak, itu yang kulihat dari cara dia berbicara, juga menanggapi orang asing sepertiku.
Dia agak kurang beruntung, senter miliknya mungkin eror dan tidak menyala. Dengan senyum yang terlihat jelas dibuat-buat, dia kembali ke dalam tenda.
“Hehe, senterku mati. Mungkin memang sejak awal pilihan terbaik adalah menunggu hujan reda untuk melanjutkan pendakian,” ucapnya sambil memainkan tombol senter yang tidak berfungsi.
“Pa-ra-ra-ra-ra … pa-ra-ra-ra-ra … pa-ra-ra-ra-ra … pa-ra-ra-ra-ra. Oh-oh-oh.” Tanpa sadar aku bergumam tidak jelas. Itu kebiasaan yang sulit untuk kuhilangkan saat sedang melamun.
“Suka nyanyi juga?” tanya Arum, membuyarkan lamunanku. “Nggak juga, daripada nyanyi aku lebih suka membaca puisi. Gimana ya, suaraku aja fals gini.” Arum tertawa lirih sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Nggak ada hubungannya kali, suara fals sama hobi nyanyi.” “Iya kalo lagi sendiri, kalo sekarang aku nyanyi perutmu bakal mules lagi loh.” Arum kembali tertawa, lalu memintaku membacakan sebuah puisi.
“Aku ingin berjalan bersamamu Dalam hujan dan malam gelap Tapi aku tak bisa melihat matamu Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur Aku ingin berdua denganmu Tapi aku hanya melihat keresahanmu.”
“So sweet, apalagi gombalannya.” Arum tertawa kecil, sambil tetap menutup mulutnya seperti tadi. “Bisaan ih, tau aja aku lagi resah.”
Itu adalah awal untuk obrolan panjang, dimulai dari membahas keresahannya terkait barang-barang milik temannya yang dititipkan di tasnya. Terus berlanjut dengan topik pembicaraan lainnya.
Waktu itu aku berharap hujan turun semalaman, sehingga kami bisa terus berbincang seperti ini. Sayangnya, momen itu hanya berlangsung beberapa jam. Teman-teman datang untuk menyusul. Itu hal bagus untuknya, tapi agak disayangkan karena obrolan menyenangkan itu harus berakhir.
Sebelum berpisah kami sempat bertukar nomor telepon, kurang dari dua bulan setelah itu, kami resmi jadian. Mungkin karena kami memiliki beberapa kesamaan juga kekurangan masing-masing, yang membuat kami melengkapi potongan puzzle satu sama lain. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya kami saling jujur dan menerima tentang perasaan masing-masing.
Itu setahun yang lalu, pada tanggal dan jam yang sama dengan sekarang—saat aku menulis cerita ini.
Seperti setahun yang lalu, hari ini juga Arum bersamaku di sini. Hanya saja ada satu hal yang berbeda, dia tidak tertawa seperti saat itu. Dia tidak berbincang dan bercanda denganku. Hanya diam dan melihat aku menulis cerita kami. Dia hanya diam dengan keresahan yang menumpuk, begitu banyak sampai aku tak bisa melihat matanya yang indah, hanya ada resah di sana.
“Aku ingin berdua denganmu Di antara daun gugur Aku ingin berdua denganmu Tapi aku hanya melihat keresahanmu.”
Aku membaca lagi puisi tahun lalu, dengan nada parau. Kutulis puisi itu untuk menutup cerita kenangan kami. Kuambil seutas tali dari dalam tas, meletakkan buku catatan berisi cerita kenangan itu di bawah pohon, lalu memanjat.
Sesampainya di atas, kuikatkan salah satu ujung tali di dahan pohon. Ujung satunya lagi kulingkarkan sempurna di leher, dengan simpul laso. Aku berdiri sambil membentangkan kedua tangan, menyambut peIukan dari Arum. Sambil memiringkan tubuhku perlahan, aku kembali bergumam.
“Pa-ra-ra-ra-ra. Pa-ra-ra-ra-ra. Pa-ra-ra-ra-ra. Pa-ra-ra-ra-ra. Pa-ra-ra-ra-ra. Pa-ra-ra-ra-ra. Uh-uh, uh-uh”
“Aku menunggu dengan sabar Di atas sini, melayang-layang. Tergoyang angin menantikan tubuh itu,” gumamku dalam hati, sambil melihat Arum tertawa kecil seperti dulu.
Melihatnya tertawa lagi membuat kebahagiaanku terasa sempurna, sangat bahagia sampai aku sulit bernafas. Kebahagiaan memenuhi paru-paru, sampai tidak menyisakan sedikitpun tempat untuk udara.
“Aku ngin berdua denganmu, di antara daun gugur. Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.”
Aku menyanyikan puisi yang kutulis tahun lalu, sambil mengejar Arum yang berlari sambil tertawa, ke arah jalur naga.
____ Sebuah cerita pendek genre song fiction yang diadaptasi dari lagu berjudul Resah, Payung Teduh
Cerpen Karangan: Tshou Lim Blog / Facebook: Tshou Lim