“Apa yang diharapkan dari menjadi sebuah kaca, yang melekat pada bingkai lukisan, itu sedikit menyedihkan. Kaca harus melekat di sana, agar debu tidak mengotori lukisan, tapi sebisa mungkin agar selalu bening transparan seolah-olah dia tidak ada.”
—
“Mentang-mentang tanggal dua lima, jam segini udah giat aja kamu, Ka?” “Mau gimana lagi, daripada nglangut,” jawabku santai sambil terus membersihkan barang-barang di galeri.
“Eh Ka, nanti abis Maghrib kamu nggak ada kesibukan, kan? Main ya ke rumahku, jangan bilang kalo kamu lupa ini bulan April.”
Lunar ikut membersihkan barang-barang yang dipajang. Mungkin dia lupa dengan sindirannya tadi, atau hanya ewuh saja karena aku yang terlihat sibuk dan merasa aneh sendiri jika hanya berpangku tangan.
“Pasti datang Lu, udah kukosongin jadwal dari jauh-jauh hari. Ngomong-ngomong Kai bisa datang, kan?” “Hilih, gayamu Ka segala ngosongin jadwal, padahal kan emang nggak ada kegiatan sepulang dari galeri. Bang Kai juga katanya bakal datang, sih.”
Sekonyong-konyong aku melemparkan kemoceng ke kepalanya, lalu kami sama-sama tertawa. Lucu saja setiap kali mengingat ekspresi Kai saat pertama kali Lunar mengerjainya-menggunakan sapaan bang saat memanggil namanya.
Meski seangkatan, dibandingkan dengan kami berdua yang sudah bekerja di galeri seni sejak baru lulus SMA, Kai terbilang belum lama karena dia baru bergabung setelah lulus kuliah jurusan seni.
Dibandingkan dengan kami yang hanya pekerja biasa- sebatas mengurus barang-barang di galeri dan melayani pengunjung- Kai bisa dibilang pekerja yang memiliki cukup skill, kasarannya seorang pengrajin. Meski kadang emosian, dia juga tipikal pekerja keras dan tekun. Mungkin karena hal itulah, pemilik galeri memberikan kepercayaan kepada Kai, tanpa perlu menunggu lama dari saat pertama dia mulai bekerja.
Hari ini kesibukan di galeri tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Aku dan Lunar seperti biasa disibukkan dengan sejumlah pengunjung yang datang, sementara Kai sepertihalnya pengrajin yang lain, berkutat di workshop galeri membuat berbagai macam produk seni kriya. Sorenya kesibukan di galeri juga berakhir seperti biasa, terus berulang dan terpola.
Lunar pulang bersama Kai menggunakan motor klasik tahun sembilan puluhan miliknya, sementara aku? Si kumbang hitam Gazelle warisan Simbah masih tetap tak tergantikan, setidaknya untukku. Lunar sejak beberapa minggu lalu selalu pulang bareng Kai, yang kebetulan jalan ke rumah mereka memang searah.
Lunar bilang tidak mau merepotkanku, karena rute pulang kami tidak searah. Aku sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan itu, karena bagiku memang selalu menyenangkan setiap pulang-pergi bersamanya. Entahlah, aku selalu meyakinkan diri bahwa Lunar memang tidak ingin merepotkanku. Kubuang jauh-jauh pikiran soal dia yang mungkin memandang materi atau apa. Setidaknya saat pulang bareng Kai dia tidak perlu turun dan berjalan kaki di tanjakan. Berbeda saat bersamaku, karena aku tidak mungkin kuat terus mengayuh pedal Gazelle, saat melewati tanjakan cukup tinggi di dekat rumahnya itu.
Hari-hariku selalu terasa biasa, mungkin karena aku memang orang biasa. Pagi pergi bekerja seperti orang-orang pada umumnya, sore hari pulang dan beristirahat untuk besok mulai bekerja lagi. Begitu saja terus, rutinitas terpola yang membosankan. Mau bagaimana lagi, kehidupan sehari-hari orang biasa sepertiku kan memang begitu.
Selain keseharian dan kepribadianku yang biasa saja, sebenarnya ada satu hal luar biasa yang kumiliki. Itu sesuatu yang luar biasa, tapi tidak bisa dibanggakan juga, malah menurutku terkesan memalukan. Setidaknya dalam hal perasaan dan kesetiaan, aku tidak kalah jika dibandingkan dengan Dewi Sinta dalam cerita Ramayana.
Serius, Dewi Sinta dan bukannya Sri Rama. Rama dalam dongeng Ramayana itu pribadi yang egois, angkuh, dan tak tahu diuntung. Itu menurutku sih, tapi kan dia memang dengan angkuhnya memerangi negeri Alengka. Menjemput Sinta? Itu tak lebih dari kedok dan kebohongan, nyatanya setelah itu dia tidak mau begitu saja menerima Sinta. Bahkan Sinta sampai rela masuk ke dalam kobaran api, demi meyakinkan Rama kekasihnya, bahwa dia masih suci. Karena memang selama di Alengka Sinta tidak pernah menerima sentuhan cinta sang Rahwana, dia baik-baik saja dan bahkan kobaran api tidak bisa menyentuhnya walau hanya sehelai rambut.
Seperti halnya Sinta selama di Alengka, aku juga selalu menunggu dengan setia sedari belasan tahun lalu. Setiap hari memberikan perhatian tulus kepada Lunar, berharap suatu nanti dia benar-benar melihatku sebagai sosok kekasih. Meski memang perhatian yang kuberikan hanya sebatas hal-hal biasa layaknya perhatian yang kalian dapatkan dari seorang teman. Aku sengaja tidak memberikan perhatian lebih, takut dan khawatir jika hal itu justru membuat Lunar risih dan akhirnya menjaga jarak. Bukankah perhatian kecil yang diberikan terus menerus juga tidak kalah baik dengan perhatian besar di sekali waktu?
—
Satu persatu orong-orong diam, tanda waktu Maghrib sudah berakhir. Semburat merah di cakrawala sudah sepenuhnya hilang, diganti dengan langit temaram dan bintang. Seperti tanggal dua puluh lima bulan April di tahun-tahun sebelumnya, aku bergegas pergi ke rumah Lunar saat hari petang.
Ada dahaga rindu yang serasa terobati, saat aku melewati jalan-jalan yang biasanya kami lewati bersama. Iya, sebelum Kai yang menjadi lebih ramah kepada kami, beberapa minggu lalu. Tiba-tiba menyapa kami, padahal sebelumnya seperti tukang es balok langganan warung sebelah galeri. Hanya lewat saja dibarengi aura dingin.
Pernah suatu hari aku pulang kerja lebih awal karena sakit, Lunar bahkan pulang jalan kaki karena aku tidak bisa mengantarnya. Jangan tanya Kai, dia melengos saja tanpa melirik ke arah Lunar yang berjalan gontai. Sekarang apa? Jika bukan karena kebiasaan untuk berprasangka baik yang terlanjur mengakar, mungkin aku bisa melihat topeng di wajah Kai itu.
Sampai di sana, Lunar sudah selesai menyiapkan nasi box yang akan dibawa ke salah satu panti asuhan dan dua rumah singgah terdekat. Tidak ada kue tart, lilin serta iringan lagu happy birthday to you seperti perayaan ulang tahun pada umumnya. Selain parasnya yang manis, kepribadian Lunar juga tidak kalah manis, kan? Tanggal kelahirannya selalu dia peringati dengan berbagi, sebagai rasa syukur atas berkurangnya usia yang menambah bilangan umur.
Sayangnya apa yang kulihat di sana agak pahit, Kai perlahan memegang kedua pundak Lunar dari belakang. Mendekatkan wajahnya ke telinga berhias anting pemberianku dua tahun lalu, tertutup rambut berwarna malam milik rembulan yang kupuja. Entah apa yang dia bisikkan dengan posisi seperti itu, jika bukan karena melihat itu dari awal aku pasti mengira mereka sedang … ah, membayangkannya saja membuatku merasa sesak dan sakit. Lunar terlihat seperti lukisan dan Kai bingkai yang menyempurnakan keindahannya. Hanya tinggal menunggu aku datang, untuk mengisi peran sebagai kaca transparan. Orang bilang hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha, tapi itu tidak berlaku untukku.
Cerpen Karangan: Tshou Lim Blog / Facebook: Tshou Lim