Di bawah rimbun ketapang di halaman rumah, mereka berdua duduk di atas motor yang terparkir. Tangan Kai masih memegang pundak Lunar, masih terlihat berbisik, lalu Lunar menoleh perlahan dan bibir mereka bertemu. Aku seperti tersambar petir dari gumpalan renjana yang menjelma awan kelabu, di atas kepala mereka. Itu hanya sesaat, beberapa detik saja, tapi waktuku terasa berhenti dan dadaku seperti terhimpit batu. Melihat mereka menghamparkan lukisan dosa di bawah temaram purnama, dadaku benar-benar sesak.
Usai merasai salah satu bagian terluar buah renjana, mereka terlihat begitu canggung, terutama Lunar. Entah Kai, tapi aku yakin itu pengalaman pertama untuk Lunar. Dia buru-buru mengusap bagian bawah matanya saat melihatku di kejauhan, matanya ternyata berkaca-kaca dan terlihat merah begitu aku sudah cukup dekat. Entah sedih karena merasa bersalah pada diri sendiri, atau mungkin karena marah kepadaku yang tiba-tiba mengganggu.
Untuk kali pertama aku merasa begitu kosong, juga penuh sesak sampai sulit bernafas di saat yang bersamaan. Kali pertama juga aku tiba-tiba begitu tumpul, padahal biasanya kami bisa sampai saling bicara dalam diam. Bisa saling mengerti tanpa bertukar kata, mungkin karena kami memang sudah dekat dalam artian yang sesungguhnya. Sekarang apa? Aku bahkan tidak bisa menebak tentang apa yang membuat Lunar menangis.
“Kayak biasanya, kan? Aku nganter ke panti di gang belakang. Kalian ke dua rumah singgah di kelurahan sebelah.” Aku hanya bertanya sambil lewat, dengan menghindari tatapan mata milik Lunar. Ada lukisan hutan yang terbakar di kedua mataku dan aku tidak ingin dia melihatnya.
Lunar hanya mengangguk, lalu tertunduk. Kai terang-terangan memperlihatkan sorot mata yang tampak sayu. Tatapan yang benar-benar kubenci itu beberapa kali dia arahkan ke leher Lunar, sambil membiarkan dadanya tetap terlihat naik turun karena napasnya yang masih tersengal. Aku seperti melihat seekor guguk di musim kawin saat dihadapkan dengan betinanya.
Aku mengantarkan sejumlah nasi box ke panti, dengan dibantu oleh Simbok. Sekadar ikut saja memanggil beliau dengan sebutan itu, seperti Lunar memanggil ibunya. Sampai di sana kami disambut dengan senyum ceria anak-anak dan tatapan syukur para pengurus. Anehnya seperti ada beban berat di sudut bibirku, sehingga membuatku kewalahan meski hanya untuk menyunggingkan senyum.
“Ndak usah dipaksa, Le. Sekiranya masih berat buat tersenyum, ndak usah dipaksa ndak papa. Pasti berat ya, Mbok juga ndak ngerti gimana Lunar bisa kepincut sama bocah iku. Kamu sing tabah, yo.” Simbok menepuk-nepuk pundakku sambil berbisik lirih.
Aku tersenyum, bukan karena merasa terlipur tapi karena simbok kelihatannya tidak melihat apa yang aku lihat tadi. Kalau saja simbok melihat itu, masalahnya benar-benar akan runyam.
“Pulang aja duluan, Le … ngga usah nungguin Lunar. Ngapain nungguin orang yang lagi gandrung, mending kamu istirahat aja di rumah.”
Lagi, simbok menepuk-nepuk pundakku seperti tadi di panti, bedanya tiba-tiba beliau menyelipkan amplop berwarna biru muda saat aku bersalaman untuk pamit. Amplop yang cukup tebal, dan terlihat kusam.
“Baca aja sekiranya kamu udah baikan, Le. Itu Lunar yang nulis bulan lalu, ndak tau apa isinya. Katanya mau dikasih buat kamu tapi tiba-tiba pas pagi malah dibuang, Mbok aja ngambil itu diem-diem, Le. Mau Mbok kasih ke kamu tapi lupa, baru tadi keinget karena ngelihat amplop itu nyelip di lemari.”
Aku mengangguk, berterima kasih sambil tersenyum, lalu menuntun Gazelle. Sesekali kulihat amplop berwarna biru muda di tanganku sebelum mengayuh si kumbang. Ada tulisan tangan yang sudah sangat kukenal di sana, di pojok kanan atas tertulis “kagem: Saka Abdidharma.”
Paginya aku terbangun, dengan masih menggenggam surat dari Lunar. Semalam berulang kali mau kubaca, tapi selalu kuurungkan. Itu ditulis bulan lalu, kemungkinan saat kami masih pulang-pergi bareng ke galeri. Lunar mungkin mau memberikannya langsung, tapi akhirnya dibatalkan karena suatu hal. Aku takut saja jika isinya adalah jawaban iya, terkait pertanyaanku dua tahun lalu. Kusimpan amplop itu di lemari, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke galeri.
Pagi itu untuk kali pertama kami hanya saling bisu, pakde pemilik galeri bahkan hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Di sela-sela kebisuan terdengar suara panik dari kejauhan, lalu bertahap suara-suara itu terdengar mendekat. Aku belum sempat melirik ke luar, untuk sekadar melihat apa yang terjadi. Lunar hanya menunduk diam di dekat tembok, dengan lukisan Rahwana berukuran besar di atasnya.
Tiba-tiba tanah bergetar hebat, kulihat lukisan di atas Lunar terjatuh. Aku agak kesulitan meraih tangannya, jadi kudekap saja dia yang ketakutan. kebenamkan kepalanya di pundak kiri, kututupi dengan kedua tangan. Segera setelahnya lukisan Rahwana itu jatuh mengenai kepalaku, kacanya yang melekat di bingkai pecah, serpihannya berhamburan mengenai pundak, pipi, lengan dan punggung tangan. Wajahku terasa basah, dengan aroma anyir yang menguar. Mengaburkan aroma wangi dari rambut legam milik Lunar.
Aku singkirkan lukisan Rahwana dari atas kepala menggunakan tangan kanan. Beberapa sudut runcing kaca yang pecah menggores lengan, tapi siapa yang peduli. Aku tarik Lunar ke luar, sambil menyingkirkan etalase serta barang-barang yang mengganggu. Galeri benar-benar berantakan. Aku menarik tubuhnya dan mendorong dia agar berlari ke luar dan bergabung dengan orang-orang di tengah jalan. Setidaknya di sana lebih aman karena jalan raya di depan galeri cukup luas.
Pandanganku perlahan kabur, lalu kakiku kehilangan tenaga. Aku terjatuh di trotoar saat berlari mengikuti Lunar, kepalaku terbentur batu dengan keras, sementara di depan sana, di antara lusinan manusia yang panik, Lunar menjerit histeris memanggil namaku. Sepersekian detik setelahnya terdengar suara tembok runtuh, bersama dengan kakiku yang tiba-tiba sakit luar biasa. Telingaku berdenging, tidak lagi mendengar apa-apa. Pandanganku semakin kabur dan perlahan gelap.
—
Aku merasakan sentuhan hangat di tangan kanan lalu menggerakkan jari-jemari, diikuti isak tangis dan namaku yang diucapkan oleh suara yang terdengar sangat akrab. Lunar terus menerus mengucap syukur karena akhirnya aku siuman, setelah pingsan beberapa hari.
Sebagaimana dia, aku juga begitu bersyukur karena Lunar tidak terluka. Aku senang karena melihatnya baik-baik saja. Beberapa saat kemudian satu persatu orang yang kukenal masuk ke dalam ruangan. Mulai dari orangtua kami, pakde pemilik galeri, para tetangga juga satu-satunya orang yang terlihat sehat, padahal aku berharap dia menghilang saja dari kehidupan kami.
Momen bahagia itu hanya berlangsung sekejap, karena segera setelahnya aku sadar ada sesuatu yang hilang di bawah sana. Kaki kiri, aku tidak bisa merasakan kaki kiriku. Lebih parah dari istilah pribahasa, aku jatuh tertimpa tembok. Setelahnya kehilangan kaki, seolah belum cukup Tuhan juga melengkapi kesedihanku, dengan memperlihatkan cincin di jari manis milik Lunar. Cincin yang identik sama dengan yang melingkar di kelingking milik Kai.
Cerpen Karangan: Tshou Lim Blog / Facebook: Tshou Lim