Membiarkanmu pergi itu tak mudah. Ketika hati telah jatuh kepadamu. Kau nyata, namun serasa maya. Kau bagai rindu yang tak mampu kusentuh. Walau nyatanya kau selalu bersamaku. Jika waktu benar dapat menyembuhkan luka, mungkin lebam dan memar ini tak semakin menganga. Perih. Ketika aku harus berusaha untuk melupakanmu. Itu bukan keahlianku. Aku tak sanggup.
Waktu tak demikian baik denganku. Dia kejam. Saat aku inginkan dirinya tetap ada, waktulah yang memisahkannya. Tapi aku bisa apa? Menangis pun tak akan mengembalikan dirinya kembali menghapus air mataku. Duka. Berpuluh-puluh ribu hatiku berduka. Kehilangan dirinya yang bukan berarti tak ada. Sungguh, ketika hati telah mencinta, begitu sulit untuk melupa. Benar, aku mencintainya dan aku sangat mencintainya.
Denting jarum jam, deru kereta dan suara samar-samar percakapan orang serasa tak asing lagi bagiku. Semua itu sudah biasa kudengar. Tapi bukan itu yang kucari. Aku masih terduduk diam di bangku yang tepat menghadap ke arah rel kereta. Entah keberapa kalinya aku masih duduk disini hanya untuk menunggunya. Meski jenuh dan penat sering kali mencoba untuk membunuhku, namun aku tetap bertahan. Aku masih tak bisa melupakan bagaimana kali terakhir perjumpaanku dengannya. Wajahnya masih begitu akrab dipikiranku. Hatinya seakan telah menjadi hatiku.
“Jangan bersedih, aku tak akan pergi jauh darimu.” Sahutnya seraya mendongak wajahku dan menyeka bulir bening yang telah memenuhi sudut mataku. Aku menggelengkan kepala seraya tersenyum padanya. Sulit memang, tapi aku tak ingin membuatnya terbebani dengan tangisanku ini.
“Kau jangan pernah menganggap diriku lari darimu. Karena aku tak akan pernah melakukan hal secemen itu.” Seolah ucapannya itu telah memberi harapan baru setelah kepergiannya nanti. Aku hanya mengangguk tanpa berkata. Walau sebenarnya hatiku begitu kekeuh untuk melarangnya pergi.
“Aku ingin bertanya padamu. Apakah selepas aku pergi, kau akan merindukanku?” Tanyanya dengan bola mata yang menatap tajam kepadaku. Aku mengangguk keras, aku tersenyum puas. Tentu. Tentu aku akan merindukanmu. Jikalau rindu adalah sebuah pekerjaan, maka kaulah bayaran yang akan aku dapatkan. Dia tersenyum dan langsung meraih tubuhku, menjatuhkan diriku ke dalam pelukannya. Kali ini entah apa yang aku rasa. Aku terisak di dalam pelukannya. Aku tak bisa menahan rasa yang sulit aku jabarkan.
Biarkanlah pelukan ini bertahan lama. Agar aku dapat mengenali dirimu dengan baik. Agar aku dapat merasakan bagaimana setiap desir nafas dan detak jantungmu. Ketika kelak kau kembali, aku masih mengenalmu dengan baik meski dalam jangka waktu yang lama. Suara kereta yang berhenti di stasiun menghentikan acara kesyahduan kami. Dia langsung melepaskan pelukannya. Begitu pintu gerbong terbuka, semua orang yang telah menaikinya langsung keluar berhamburan. Tangannya yang sempat masih menggenggam tanganku mulai merenggang, dia berjalan sedikit maju dariku. Mungkin dia begitu menantikan saat-saat seperti ini. Namun tidak denganku. Aku tak pernah berharap masa seperti ini. Karena aku tahu, kelak inilah yang akan meninggalkan goresan luka.
Aku masih terdiam tepat di belakangnya dengan perasaan ingin mencegahnya pergi. Saat tanganku yang semula mengharapkan dia kembali, aku turunkan. Aku menundukkan pandangan. Sebab menatap punggungmu yang akan pergi jauh hanya akan membuatku sedih. Lantas aku segera berbalik arah, membelakanginya itu lebih baik. Aku tak berdaya. Waktu telah memenangkan pertempuran ini. Aku kalah. Aku harus bisa merelakannya pergi.
Saat aku akan melangkah dengan tangisan lara, ada sesuatu yang menyentuh bahuku. Dia berkata pelan di belakangku. “Aku akan pergi, tapi jangan pernah menganggap bahwa aku berlari darimu. Suatu saat, aku akan kembali dan menepuk bahumu lagi. Aku menyayangimu. Jaga dirimu biak-baik.” Katanya yang kemudian berangsur menghilang bersama dengan tangannya yang tak lagi menyentuh bahuku.
Aku langsung memutar arah untuk menghadapnya, dan saat aku berbalik, dia sudah tidak ada di depanku lagi. Bahkan kereta yang sempat terlihat di mataku telah menghilang. Aku segera berlari ke arah rel kereta, mataku berkeliling mencari sosoknya yang aku yakin masih ada disini. Berlari kesana kemari, hingga tak kunjung kutemui. Aku terdiam. Membiarkan bulir bening kembali terlahir dari mataku. Hatiku serasa perih. Ketika tak sempat melihat seseorang yang telah mendapatkan hati, pergi begitu saja.
Aku berjalan mundur perlahan, hingga akhirnya aku terduduk di sebuah bangku tepat menghadap ke arah rel kereta itu. Aku masih menangis. Membiarkan bulir bening memenuhi setiap lukisan wajahku. Aku hanya ingin mensucikan diri, mencoba tegar ketika harus merasa kehilangan. Setelah sekian lama aku terduduk dengan wajah telah basah dengan air mata, aku tersadar jika sedari tadi aku telah membuat luka baru. Aku tak ingin terus seperti ini. Lantas aku segera menyeka bulir bening yang telah banyak aku jatuhkan.
Saat aku beranjak dari tempat duduk, suara deru kereta yang berhenti mulai kudengar. Kemudian kereta itu berhenti tepat di depanku. Perlahan pintu gerbong terbuka, dan aku langsung berlari mendekat ke arah pintu itu. Banyak orang yang keluar dari dalam gerbong. Mataku terus berkeliling, mencari sosoknya yang begitu aku inginkan. Hingga ketika penumpang terakhir turun, aku tak kunjung menjumpainya. Pupus sudah semuanya. Dia tak akan kembali padaku. Aku kembali menundukkan wajah, menyembunyikan air mata yang kembali menetes. Mungkin sebaiknya aku harus segera pulang. Sebelum luka ini semakin bertambah parah.
Ketika aku akan melangkah, tubuhku serasa kaku. Hatiku berdetak begitu cepat. Desiran nafasku naik turun tak karuan. Aku merasakan atmosfer yang berbeda. Ya, aku mengenali tangan yang menyentuh bahuku. Saat aku berbalik arah, mataku membulat. Sembab, penuh dengan air mata. Tanganku langsung refleks untuk mencegahnya pergi. Tapi, kenyataannya tak ada apapun di depanku. Tubuhku mematung. Tangan yang sempat ingin meraihnya mulai tergenggam sendiri dengan hal semu. Perlahan aku menurunkan tanganku. Aku kembali menundukkan wajah untuk kesekian kalinya, dan kali ini aku harus benar-benar pulang, meski perih itulah yang sebaiknya aku lakukan.
Kau seperti bayangan, ketika ingin kugenggam itu tak bisa. Kau semu. Sebab kau hadir disaat aku memikirkan tentangmu.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana