“Nduk, kapan kamu mau menikah?”. Pertanyaan ibu yang berulang kali kembali mengiang di telinga. Terbersit ada rasa iba jika melihat raut wajah tua ibu dengan garis keriput yang sudah rata merenda wajahnya. Terkadang timbul rasa bersalah karena aku sudah membuat Ibu kecewa karena tak juga menghadirkan keturunan buatnya. Aku adalah anak semata wayang Ibu dan Bapak. Sifatku yang keras kepala mewarisi watak Bapak. Sejak kecil aku sudah didik dengan keras dan penuh disiplin oleh Bapak.
Pernikahan Ibu dan Bapak bak legenda Siti Nurbaya, hasil perjodohan kedua orangtua. Keluarga Bapak adalah juragan batik, yang diwarisi secara turun-temurun. Namun sayangnya, sepanjang perkawinan Ibu merasa tidak bahagia. Bapak terlalu keras pada Ibu, Bahkan kerap kali serimg melakukan KDRT. Aku kasian pada Ibu, apalagi jika memergoki Ibu sedang menangis diam-diam. Ibu seperti tidak memiliki kekuatan untuk berontak. Sikap mengalah Ibu membuat Bapak semakin semena-mena. Tapi akhirnya kesabarannya meledak juga, diam-diam Ibu melayangkan surat cerai ketika Bapak menikah dengan perempuan lain. Ibu sangat terpukul, tubuhnya semakin kurus. Mungkin inilah yang membuatku tak ingin menikah. Aku benci Bapak. Aku benci laki-laki!. Aku tidak ingin menjadi wanita lemah . Menurutku, sekarang bukan lagi jaman patriarki. Tunduk pada kekuasaan laki-laki. Wanita sekarang sudah lebih maju, cerdas dan mandiri.
Usiaku memang tak lagi muda, sudah mendekati angka 40. Sementara Ibu sudah berusia 58 tahun. Ibu menikahi Bapak disaat usianya baru 16 tahun dan Bapak 18 tahun. Usia yang masih terbilang muda untuk membina sebuah rumah tangga. Pemikiran akan mudah rapuh jika terkena goncangan.
Tapi bukan berarti tak ada satupun lelaki yang berusaha mendekatiku. Sudah banyak pria yang kutolak cintanya dan merekapun tak gigih untuk mendapatkanku. Aku sendiri merasa tidak cantik seperti Ibu. Aku lebih banyak meniru wajah Bapak dengan hidung pesek dan kening lebar. Kelebihanku hanya memiliki karir yang sukses. Sifatku juga sedikit keras dan arogan. Mungkin itu yang membuat banyak pria enggan mendekati. Namun aku cukup bahagia dengan kehidupanku. Hanya saja Ibu yang terusik dan galau melihat kesendirianku.
“Apa jadinya kalau kamu sudah tua nanti, apa ndak takut kesepian dan ndak ada yang urus?” Ibu melontarkan kegelisahannya. Binar matanya sangat berharap hatiku luluh untuk mengikuti keinginannya. Aku sangat paham. Orangtua mana yang tidak mengharapkan anaknya memiliki pasangan hidup, memiliki rumah tangga yang utuh dan menghasilkan keturunan. “Buat tapa memiliki pasangan kalau tidak bahagia seperti Ibu.” Aku tak sadar jika jawabanku membuat wajah Ibu berubah muram seketika. Ada air bening di pelupuk matanya. Kupeluk Ibu. “Maafkan Anti Ibu…” Jujur, aku paling tak bisa melihat Ibu menangis. “Bukan maksud Anti melukai hati Ibu.” “Tak apa nduk. Ibu sangat paham kalau kamu dihantui rasa ketakutan akan bernasip sama seperti Ibu jika kamu menikah.” Ibu berusaha tersenyum getir. “Walaupun tidak semua laki-laki bersifat sama seperti Bapakmu. Kegagalan Ibu jangan kamu jadikan landasan untuk tidak mau menikah. Kamu harus mencoba, jangan khawatir Ibu selalu mendoakanmu.” Ibu mengusap kepalaku, menganggap aku masih seperti gadis kecilnya yang butuh kasih sayang. “Iya Bu, mudah-mudahan aku bisa menemukan jodoh yang cocok dan sayang pada Ibu juga.” Hiburku sambil mengecup kening Ibu. Walaupun di dalam hati kecilku masih ada keraguan untuk memiliki pasangan hidup, karena pernikahan itu bukan sekedar mencari teman hidup dan memiliki keturunan. Namun, butuh komitmen dalam membina sebuah hubungan untuk mewujudkan kebahagiaan satu sama lain dan itu menurutku tidak mudah!.
Usia terus merangkak, melaju dengan pesat. Aku belum juga menemukan jodohku. Kutatap wajahku di depan cermin. Garis-garis penuaan mulai berdraperi di permukaan wajahku. Dengan penampilan yang semakin menua seperti ini tentu semakin tak ada lagi yang mau mendekatiku. Aku mulai gundah dan kemudian menangis dalam hening. Sepi kian merajut hatiku. Ya Tuhan..
“Anti!.” Tiba-tiba seseorang memanggilku. Nama kecil yang tidak semua orang tahu, termasuk teman kerja di kantor. Aku terkesima melihat sosok laki-laki berewok berperawakan jangkung dengan rambut dua warna, hitam keabuan. Kuamati wajahnya dengan seksama. Dari balik wajah itu seketika terlintas sosok lelaki kecil berwajah tirus dengan rambut sedikit ikal, “Jarwo?” Aku mencoba untuk menebak-nebak. Apakah mungkin si ceking kecil dan dekil dulu bisa berubah menjadi pria yang bertubuh atletis. Perutnya juga tidak buncit seperti kebanyakan pria paruh baya pada umumnya. “Wah ternyata kamu masih ingat…” Suara beratnya terdengar riang. “Kok kamu bisa ada disini?” Tanyaku tak habis pikir. Tugasku sebagai Insinyur peternakan di Perusahaan pakan ternak di Jakarta sering berkeliling ke daerah untuk mengeavaluasi, monitoring dan melakukan pelaporan dalam melaksanakan pelayanan teknis operasional pembibitan ternak dan unggas. Waktuku dihabiskan dengan para peternak dan hewan.
Suatu perjumpaan yang tak terduga dengan Jarwo, salah seorang teman SD di Kota Solo. Kami memang tidak akrab satu sama lain. Jarwo terlalu pendiam dan introvert, bahkan menurutku tak banyak peduli dengan orang lain. Cuma ada satu kenangan yang tak kulupakan. Dikala dia berusaha membelaku ketika dibully oleh teman laki-laki di sekolah. Waktu pulang sekolah, mereka sengaja menabrak sepedaku hingga terjatuh dan waktu itu aku berusaha melawan mereka.. Namun, tenagaku tidak sebanding dengan kekuatan tiga orang laki-laki. Aku terluka lututku berdarah terkena benturan aspal. Tanpa diduga, tiba-tiba saja Jarwo muncul dan mengeluarkan jurus-jurus karatenya. Dia berusaha melawan ketiga temannya dengan membabi-buta dan membuat mereka lari tunggang-langang.
“Kamu tidak apa-apa?” Jarwo berusaha memapah. Disapunya debu yang mengotori baju seragamku dan membersihkan darah di lututku dengan air dari tempat minum yang selalu dibawanya ke sekolah. Aku tidak menyangka ternyata Jarwo yang acuh tak acuh itu mempunyai jiwa kepahlawanan juga.
Kukira sejak kejadian itu kami akan berteman. Tapi dugaanku salah. Jarwo kembali menunjukkan sikap dinginnya. Dia lebih senang menyendiri. Selang beberapa bulan kemudian aku tak lagi mendengar kabarnya, Jarwo menghilang bagai ditelan bumi. Aku hanya mendengar dari guru sekolah kalau dia pergi merantau ikut ayahnya entah kemana. Aku sendiri tidak pernah tahu Ibunya kemana. Ada yang bilang Ibunya pergi meninggalkan ayahnya. Mungkin kejadian yang dialaminya itu membekas pahit sehingga dia bersikap dingin dan tak peduli terutama pada teman wanita.
“Kok bisa ada disini?” Tanyaku surprise. “Aku perwakilan dari Perusahaan di Australia dalam rangka melakukan survei ke beberapa peternakan untuk menggalang kerjasama.”
Ternyata selama ini Jarwo bekerja di Australi. Pertemuan singkat yang tak disengaja beberapa bulan yang lalu menjalin hubunganku dengan Jarwo menjadi lebih intens. Selain hubungan pekerjaan Jarwo sering mengajakku jalan bareng. Kami saling bertukar cerita pengalaman masing-masing. Disamping memiliki bidang pekerjaan yang sama, selera makan yang sama-sama menyukai masakan padang. Hobi kebetulan juga sama, senang bermain tenis. kamipun memiliki status yang sama, masih lajang!.
“Anti, sebetulnya aku sudah menyukaimu sejak kecil dulu.” Cetusnya ketika sedang ngedate di sebuah café yang bernuansa cukup romantis. Tentu saja aku sangat terkejut dengan pernyataannya. Bagaimana mungkin Jarwo yang terlihat sangat cool dan dingin itu diam-diam menyukai aku si gadis tomboy.
“Kenapa kamu suka sama aku?” Rasa ingin tahuku mulai menggelitik. “Karena kamu berbeda dengan anak perempuan yang lain.” Katanya jujur. “Aku suka kamu cuek, nggak manja dan pinter di sekolah.” “Kamu kan juga pinter.” Serentak kami tertawa mengenang masa-masa kecil yang indah sekaligus pahit.
“Ti…” Jarwo menatap wajahku lekat-lekat. “Kenapa sih, serius amat.” Aku mulai rikuh ditatap sedemikian rupa. “Hehehe.. grogi ya.” “Nggak!.” Kilahku melototinya. “Hmmm… aku serius mau melamarmu.”
Rasanya bumi seperti berguncang saat mendengar kalimat yang dilontarkan Jarwo. Tiba-tiba saja seseorang melamarku diusia yang tak lagi muda. Cinta memang tak mengenal usia. Tak pernah terbayangkan aku akan menikah dengan laki-laki yang tak lain adalah teman kecilku. Kebencian pada Bapak membekukan hatiku selama ini. Tapi apakah rasa benci itu akan terus tertanam hingga tak ada ruang untuk memaafkan masa lalu?. Sementara Jarwo sendiri sudah memaafkan Ibunya.
—
Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi saat HP berdering. Siapa yang sudah menelpon sepagi ini?. Kulihat di layar monitor terpampang nama Jarwo. Wow hatiku mulai berbunga. “Hallo …”. Terdengar sebuah suara laki-laki. Tapi aku sangat kenal itu bukan suara Jarwo. “Maaf, saya teman Jarwo, mau kasih kabar kalau Jarwo baru saja meninggal karena kecelakaan lalu lintas.”
Lunglai seluruh persendianku. Padahal baru kemarin aku memberi tahu Ibu jika akan dilamar dan menikah dengan Jarwo. Betapa bahagianya Ibu saat itu. Jerit tangis bahagianya tumpah seketika. Dan kini tubuhku tak lagi berdaya untuk berdiri lebih lama. Selanjutnya aku tak sadarkan diri..
Jakarta, 25-12-22
Cerpen Karangan: Erlies Erviena Blog / Facebook: erlies erviena Menulis buku Islami tentang “kepemimpinan Perempuan dalam Islam” & beberapa artikel di media sosial