Ada malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa. Tentunya orang yang menemui ajal itu pasti akan mati. Kemudian jiwa mereka akan pergi ke akhirat. Tapi ada juga kepercayaan yang mengatakan bahwa mereka akan terlahir kembali. Atau bahkan, mungkin saja tidak ada yang namanya kehidupan setelah kematian.
Sejak awal, apa akhirat itu nyata? Apakah surga dan neraka itu benar-benar ada? Yah, tidak ada yang tahu. Kita para manusia sebagai makhluk hidup, hanya bisa berasumsi dan membuat teori. Tergantung dari kepercayaan, masing-masing dari kita memiliki asumsi yang berbeda-beda. Lagipula tidak ada yang tahu bagaimana rasanya kematian.
Dari sekian banyak teori, hanya ada satu yang menarik perhatianku. Yaitu konsep tentang malaikat, sang penjaga gerbang surga. Katanya, malaikat bertugas untuk mencabut nyawa kita. Dan menuntun jiwa yang sudah mati menuju kehidupan yang abadi.
Malaikat sering digambarkan orang-orang sebagai makhluk yang paling suci. Mereka memiliki kekuatan dan kecerdasan melebihi manusia. Tidak hanya itu mereka juga dikenal sangat patuh kepada Tuhan. Sayap besar berwarna putih bersih seringkali melambangkan kesuciannya.
Untuk seseorang yang mengidap penyakit kronis sepertiku, wajar untuk menantikan kehadiran sang Malaikat itu sendiri. Sejak kecil, aku tahu bahwa aku memiliki usia yang pendek. Oleh karena itu, aku selalu mengharapkan kehadiran malaikat yang akan menuntunku pada kematian.
Tapi apakah kalian tahu? Alih-alih bertemu di akhirat, aku malah bertemu dengan malaikatku di dunia yang kejam ini. Biar kuceritakan bagaimana aku bisa bertemu dengannya.
– Hari Pertama Sambil diam terduduk di kursi roda, aku menatap kearah langit-langit lorong. Rasa bosan yang memenuhi pikiranku membuatku pergi keluar kamar. Sambil menatap pemandangan ke arah jendela, aku merasa sedih. Mustahil bagiku untuk pergi keluar tanpa ditemani orang lain.
Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan apapun. Ada seseorang yang menabrakku dari sebelah kiri. Saking kuatnya, aku sampai terjatuh dari kursi roda tapi tak menyebabkan luka. “Eh, ada orang?” Ucap lelaki yang menabrakku dengan nada tanpa dosa.
“Kamu gapapa?” Tanya dia tanpa membantuku berdiri. ‘Gapapa matamu?! Aku baru saja jatuh, minimal bantu oy.’ Ucapku dalam hati karena kesal. Entah karena dia bisa membaca pikiranku atau bagaimana. Ia mengangkatku perlahan dan menaruhku di kursi roda kembali. Tak lupa, ia juga merapikan rambutku yang berantakan.
Sambil tertawa melihat kondisiku, ia berkata “Kamu lemah banget ya…” Menyebalkan sekali. Aku tahu bahwa aku sakit-sakitan dan lemah, tapi tak perlu mengatakannya di depan wajahku. Kenyataan itu benar-benar menyakitkan. Lihat, bahkan setelah mengatakan itu ia langsung pergi tanpa minta maaf, dasar tidak sopan.
Sebelum benar-benar pergi, ia menghentikan langkahnya dan menengok ke arahku sambil tersenyum manis. “Aku Kiel, salam kenal~” Ucapnya yang kemudian langsung pergi. Aku hanya diam bingung dengan kelakuan anehnya. Untuk apa berkenalan? Toh kita juga tidak mungkin bertemu lagi.
– Hari ke-2 Di keesokan harinya, pada siang hari, dokter datang untuk memeriksa keadaanku. Ia juga menegurku karena sempat pergi keluar kamar sendirian kemarin. “Untuk saat ini kondisimu stabil. Tapi lain kali jangan pernah keluar ruanganmu seenaknya, itu bahaya. Ingatlah, minta bantuan orang lain jika kamu ingin keluar dengan kursi roda.”
Saran klasik, intinya dia memintaku untuk selalu bergantung pada orang lain. Ini menyebalkan, saran dari dokter seolah-olah mengatakan betapa lemahnya dan tidak bergunanya aku. Maksud tersembunyi lainnya adalah mereka mengatakan bahwa aku akan tinggal di rumah sakit ini selamanya.
Dan terakhir, mereka secara perlahan mengatakan bahwa tidak lama lagi aku akan mati disini. “Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Percayalah, sebentar lagi kamu sehat kok.” Ucap dokter yang tampaknya bisa membaca pikiranku. “Bohong itu dosa, pak. Makin tua harusnya makin beramal, bukan berbuat dosa.” Sahutku sambil tersenyum mengejek.
“Asal kamu tahu, saya tua gara-gara capek ngurusin kamu.” Jawab si dokter tua itu. Ucapannya benar, dia sudah mengurusku sejak usiaku 11 tahun hingga sekarang selama di rumah sakit. “Tenang, pak. Sebentar lagi bapak gak perlu ngurus saya lagi.” Aku menenangkan dokter itu karena sebentar lagi aku akan mati, jadi ia tak perlu capek-capek mengurusku lagi.
Dokter yang lelah dengan kelakuanku hanya menjawab “Iya, soalnya bentar lagi kamu sehat, jadi saya gak perlu ngurus kamu.” Aku yang mendengar itu hanya terdiam sambil menatapnya keluar ruangan. Lebih baik dia tak memberiku harapan palsu, lagipula aku sudah tahu kenyataannya.
Sambil melamun sendirian memikirkan kematianku tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk ke ruanganku. Aku sedikit bingung, namun terkejut melihat sosok yang datang menemuiku. “Halo, kita ketemu lagi!” Ucapnya dengan ceria sambil memegang buket bunga. Bukan sembarang bunga, melainkan itu adalah bunga yang sudah layu.
“Oh! Aku juga bawa bunga, katanya orang sakit bakal sembuh saat diberi bunga.” Aku hanya menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. Untuk apa ia membawa bunga layu? Peka dengan tatapanku, dia menjawab “Aku sengaja bawa bunga layu, soalnya mirip kamu.”
Rasanya aku agak tersinggung tapi juga bingung. “…Maksudnya aku jelek, gitu?” Kiel hanya tersenyum dengan wajah rupawannya dan menjawab “Nggak, nggak~ Bukan gitu kok. Maksudnya bunga layu ini mirip sama umur kamu.” Aku tahu umurku pendek, tapi ayolah! Oh tuhan, biarkan hamba menamparnya sekali saja.
“Kamu sudah layu, tapi kamu tetap berjuang dan melawan hukum alam sambil berharap untuk tetap hidup.” Lanjutnya yang tentu saja membuatku emosi. “…Itu tidak masalah sih. Tapi jangan lupakan fakta bahwa sekarang kamu sedang sekarat.”
Sialan, rasanya aku ingin berkata kasar pada lelaki dihadapanku ini. “Kamu ngapain disini?” Daripada baku hantam, lebih baik aku mengalihkan topik. “Katanya aku harus minta maaf jika menabrak seseorang, jadi aku datang kesini.” Ucap Kiel yang masih tersenyum ceria.
“Sebagai permintaan maaf, ayo jalan-jalan!” Tanpa mendengar persetujuanku, ia langsung membawa kursi roda dan menaruhku disana. Dengan secepat kilat, Kiel mendorong kursi rodaku dengan tidak santai. “Pelan-pelan woy!” Aku berteriak memarahinya. Tampak beberapa perawat dan dokter yang khawatir akan keselamatanku.
Terimakasih pada Kiel, karenanya kita dapat tiba di taman lebih cepat. Tapi rambutku menjadi berantakan, dan mataku tampak seperti copot akibat Kiel yang tadi mendorongku dengan ugal-ugalan. Seketika aku menoleh ke belakang dan mendapati Kiel yang sedang menatap kupu-kupu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Matanya mengikuti kearah kupu-kupu itu bergerak.
“Kamu mau umurku makin pendek?!” Teriakku padanya sambil mencoba untuk menjambaknya. “Ayolah, tadi seru loh.” Jawabnya dengan tertawa. Gara-gara Kiel, sekarang jantungku berdebar-debar. Mungkin karena takut dan lelah disaat bersamaan, terlihat dari napasku yang sedikit ngos-ngosan.
Melihat ini, Kiel tersenyum mengejek. “Dih, gitu doang capek?” Ucapnya yang langsung aku pelototi. “…Sekarang apa?” Daripada marah-marah aku menanyakan tujuan ia mengajakku jalan-jalan. “Entahlah…” Jawabnya sambil berpikir keras.
“Biasanya orang pacaran ngapain aja?” Tiba-tiba saja ia menanyakan hal aneh padaku, padahal jelas-jelas aku adalah seorang jomblo. “Lah kok tanya aku? Umm… Mungkin ngobrol? Pegangan tangan? Memangnya kenapa?” Aku menjawab sebisaku dan balik bertanya.
Kiel hanya terdiam sejenak kemudian tersenyum. “Pacaran yuk!” Ucapnya secara tiba-tiba yang langsung membuatku diam saking bingungnya. Otakku tak dapat memproses kelakuannya. “Temanku bilang aku harus segera menikah dan cari istri, jadi aku pilih kamu aja! Soalnya kamu cantik…” Jawabnya yang membuatku makin bingung.
“…Hah? Lah kok?!” Ditengah kebingungan ini, aku sebagai orang yang tak pernah dekat dengan lelaki manapun tiba-tiba dilamar, tentunya sangat kaget dan salting. Kenapa? Pacaran? Menikah? Istri? “Iya, pokoknya sekarang kita pacaran~” Jawabnya dengan santai.
Gila, pola pikir Kiel memang diluar nalar. Otakku gagal memproses kejadian yang baru saja terjadi. Tapi jantungku berdebar-debar karena baru saja mendapat pengakuan cinta. Tunggu, apa ini termasuk pengakuan cinta? Apapun itu, mungkin sekarang wajahku sudah memerah karena malu. Dia adalah Kiel, lelaki yang membuatku jatuh hati setelah bertemu dua kali.
Cerpen Karangan: Faniel Vian