– Hari ke-69 Totalnya sudah 69 hari sejak hari pertama Kiel menemaniku. Jangan tanya kenapa aku menghitungnya. Di sore yang cerah ini, aku harus menemui dokter untuk mengecek kondisiku lagi. Yah, ini cukup aneh. Dokter tidak langsung mengatakan kondisiku, tapi ia memberikan kertas yang berisi informasinya.
Setelah membaca informasi mengenai kondisiku dari kertas itu, hatiku mengeras. Rasanya aku ingin menangis sekencang mungkin. “Oh…” Reaksiku dengan senyuman lemah. “Maaf…” Ucap dokter dengan tatapan kasihan, tampaknya ia merasa bersalah karena tak dapat membuatku sehat.
Setelah dokter pergi, aku yang tidak ingin lama-lama bersedih kembali melanjutkan kegiatanku, yaitu membuat gelang. Sambil bersenandung, jari-jemariku bergerak bagaikan sihir, menyatukan tali-tali kecil itu menjadi gelang. Gelang ini adalah hadiah untuk Kiel.
Dia… Dia mengunjungiku setiap hari, menghilangkan rasa kesepianku. Dia menghiburku dengan sifat cerianya, seperti baterai yang tak pernah habis, energinya selalu membuatku tersenyum. Senyumannya sangatlah manis. Tawanya memang kadang terkesan mengejek, tapi itu adalah tawa yang tulus.
Hanya dengan memikirkannya saja, aku sudah senyum-senyum tidak jelas. Inikah yang namanya bucin? Namun tiba-tiba aku terhenti karena mengingat sesuatu. Bagaimana reaksinya ketika mengetahui kondisiku yang sangat parah? Apakah ia akan menangis? Yah, ini mudah. Aku tidak perlu memberitahunya, simpel.
“Tok tok~” Panjang umur, baru saja dipikirkan, orangnya langsung datang. Aku seketika menyembunyikan gelangnya dibalik selimut. Terlihat Kiel dengan senyum khasnya datang kemari. Tapi ada yang aneh, tangannya ia taruh dibelakang seolah sedang menyembunyikan sesuatu. “Itu apa?” Tanyaku yang penasaran.
“Tebak, sekarang hari apa?” Ucap Kiel yang malah bertanyalah balik. “…Selasa?” Jawabku yang masih bertanya-tanya. Kiel kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelahku. “Eh, kamu lupa?” Sahutnya dengan wajah terkejut. “Lupa apa??” Aku yang masih bingung juga kembali bertanya.
“Bego…”
Jujur saja, ucapannya yang satu ini membuatku ingin menggebuknya menggunakan sandal jepit emak-emak. “Ya terus apa?!” Sudah cukup, aku sudah kehabisan kesabaran. Kadang aku bingung, kenapa bisa-bisanya aku menyukai orang absurd seperti Kiel.
Lelaki itu terdiam sejenak kemudian tiba-tiba tersenyum, sepertinya dia terpikirkan akan sesuatu. Aku hanya memberinya tatapan datar, sudah lelah dengan kelakuannya. “Mau tahu aja? Atau mau tahu banget~?” Ucapnya dengan jahil. Sialan, bisa-bisa aku kena darah tinggi karena harus menghadapi sifatnya yang memancing emosi.
“Cium dulu dong, ehehe.” Jawabnya sambil nyengir. Hanya Kiel yang bisa membuat emosiku naik turun seperti rollercoaster. Dari yang membuat penasaran, lanjut menjadi kesal, dan sekarang bingung. Aku terdiam cukup lama hingga akhirnya mulai mendekatkan bibirku ke pipinya dan mengecupnya.
“Selamat ulang tahun!” Ucapnya dengan nada ceria sambil memberiku kue coklat. Aku yang tadinya bingung, kini tambah bingung. Muncul kesunyian selama beberapa detik hingga akhirnya aku sadar. Aku tersenyum kearahnya dan membalas “Makasih.”
“Sini tanganmu…” Pintanya yang langsung kulakukan. Aku memberikan tangan kananku padanya. Dan secara perlahan ia memasangkan sebuah cincin di jari manisku. Dengan mata berbinar-binar aku mengagumi keindahan cincin itu. Aku pun baru menyadari bahwa Kiel mamakai cincin yang sama. Rupanya ini cincin couple. Tunggu, apakah ini artinya dia sedang malamarku?!
Kiel dengan antusias pun menyahut “Setelah ini kita nikah!” Aku yang tadinya bingung hanya bisa tertawa melihat kelakuannya yang sangat ceria. Ini adalah hari yang sangat membahagiakan untukku. Hari ulang tahun terbaik, dimana malaikat kesayanganku datang melamarku. Padahal baru saja aku murung karena mengetahui kondisi terbaru penyakitku.
Senyum ceriaku seketika pudar dan digantikan dengan wajah sedih. Hatiku terasa sakit. Aku benci ini. Aku tahu bahwa ajalku akan segera tiba, bukankah sejak dulu aku sering menanti kehadiran sang Kematian? Tapi kenapa? Sekarang aku tak ingin mati, aku tak ingin meninggalkan malaikatku. Ini sangat menyakitkan, aku tak mau berbohong padanya.
“Kiel…” Panggilku yang langsung ia jawab. Aku terdiam sejenak dan mengambil napas dalam-dalam, masa bodoh dengan reaksinya, aku akan memberitahunya sekarang. “Aku… Sepertinya kita tidak bisa menikah.” Ucapan yang baru saja kulontarkan di depan Kiel membuatnya sangat shock.
“Nggak!” Tolak Kiel yang tidak terima dengan ucapanku. “Jangan mati dulu! Kita… Kita belum beli es krim mangga yang terbaru. Kita belum sempat jalan-jalan ke Kota Tua. Dan… Dan… Kita belum nikah…” Ucap kiel dengan terbata-bata. Dia gemetaran. Terlihat air mata mengalir di pipinya.
“Kumohon!” Dia segera menaruh kuenya di meja dan menggenggam kedua tanganku sambil menangis. “Jangan tinggalkan aku!” Tapi sayang, permohonannya hanya kujawab dengan senyuman senduku. “Maaf…” Jawabku sambil memeluknya dengan erat. Maaf karena aku tak bisa menikah denganmu. Maaf karena aku akan mati.
– Hari ke-100 Tubuhku yang sedang digerogoti penyakit ini semakin melemah. Bahkan pandanganku mulai memburam. Aku tak bisa berdiri ataupun pergi kemana-mana lagi, hanya terbaring lemas di kasur. Untuk makan saja rasanya sulit. Nafasku tidak sebebas dulu, mungkin sekarang agak sedikit sesak.
Tanpa diberitahu pun, aku sudah tahu. Kemungkinan hari ini, akan menjadi hari terakhirku. Sulit dipercaya, akhirnya harapan terbesarku sejak kecil akan terpenuhi dalam hitungan menit. Tapi tetap saja, aku tak ingin meninggalkan Kiel sendirian. Meski lebih tua dariku, sifatnya sangatlah polos. Bagiku, dia seperti perwujudan malaikat yang sesungguhnya.
Meski telah menolak lamarannya, Kiel tetap mengunjungiku setiap hari. Seperti hari-hari biasa, ia selalu menghiburku dengan sifat cerianya. Memang, terkadang ia membuatku emosi, tapi itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Bahkan sekarang, ia sedang berada disampingku.
Sambil menatap ke arah jendela, aku menyaksikan tenggelamnya matahari. Meski pandanganku buram, itu adalah salah satu pemandangan terindah yang pernah kulihat. Mungkin inilah saatnya, saat dimana aku akan meninggalkan dunia ini. Dengan tubuh yang lemah, aku hanya bisa menatap Kiel.
“Tahu gak? Bagiku, kamu itu seperti malaikat.” Ucapku dengan lemah sambil kemulai percakapan. Setidaknya aku ingin mengobrol dengannya disaat-saat terakhirku. “Kenapa gitu?” Tanya Kiel yang penasaran sambil tersenyum.
Aku pun menjawab “Iya, soalnya kamu datang ketika aku akan mati, bahkan sekarang kamu akan menyaksikan kematianku.” Dia hanya tertawa kecil dan membalas “Jelas beda dong. Malaikat itu pekerjaannya mencabut nyawa. Sementara aku tugasnya menghentikan kamu dari kematian. Kita sangat berlawanan.”
Mau bagaimana lagi. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Entah itu perpisahan yang atau buruk. Kematian adalah bagian dari kehidupan. Sudah semestinya bahwa segala sesuatu yang hidup akan menemui kematian. Momen dimana kita pergi dari dunia ini, mengakibatkan kesedihan yang mendalam bagi seseorang yang spesial untukmu. Kematian memang rumit, tapi juga sederhana.
“Jangan mati…” Ucap Kiel secara tiba-tiba. “Mana bisa gitu, kocak. Sudah takdirnya begini.” Balasku sambil tertawa lemah atas permintaannya yang mustahil kukabulkan. Dan disertai tubuhku yang rasanya makin melemah, tiba-tiba saja mataku rasanya sangat mengantuk.
“Kiel, aku capek… Mau tidur…” Pintaku padanya sambil tetap mempertahankan mataku untuk terbuka. Kiel yang mengetahuinya hanya bisa tersenyum semanis mungkin. “Ya sudah, tidur sana.” Jawabnya dengan suara yang lembut.
Dengan perlahan aku menutup mataku, senyuman tipis masih terukir di wajahku. Hari ini, aku akan tidur dengan tenang. Sambil menghembuskan napas terakhir, Kiel mengusap pipiku dengan lembut. Kemudian ia mengecup keningku.
“Mimpi indah…” Ucapnya padaku yang sudah meninggalkan dunia ini.
Bagiku Kiel adalah malaikat, buktinya ia datang disaat-saat ajalku mendekat. Pertemuanku dengannya memanglah singkat, tapi bermakna. Sifatnya agak jahil, pola pikirnya terkadang diluar nalar, dia hobi membuatku emosi, tapi sifatnya yang ceria membuat hatiku terasa hangat.
Senyumannya yang hangat dan manis juga pasti membuat para malaikat sungguhan menjadi iri. Lucunya, sebelum mengawalku menuju kematian, ia membuatku jatuh cinta padanya. Entah dia menggunakan pelet atau apa, tapi aku benar-benar mencintainya.
Namun, seperti ucapannya, Kiel bukanlah malaikat. Malaikat yang sebenarnya itu bertugas untuk mengawal seseorang menuju kematian dan menuntun jiwanya ke surga. Berbanding terbalik dengan Kiel yang jelas-jelas berusaha mencegah dari kematian.
Selama ini aku salah, Kiel bukanlah malaikat. Lebih tepatnya, ia adalah malaikat jatuh yang telah melanggar peraturan dan tugasnya. Daripada membawaku menuju kematian, ia ingin mencegahku darinya. Ia rela membangkang dari Tuhan hanya untuk mencegahku mati, ia rela menjadi seorang malaikat jatuh hanya karena aku.
Aku akan selalu menunggumu disini, malaikat jatuhku.
Cerpen Karangan: Faniel Vian