LIFT secara mendadak mati. Lampunya berkedip-kedip. Lalu berguncang. Dada siapa pun yang ada di dalamnya dalam keadaan seperti itu juga akan berguncang. Begitu juga dengan yang dirasakan oleh Raisa. Gadis berambut ikal panjang itu tampak panik. Namun ia masih bisa tenang karena di dalam sana ada kekasihnya, Sagara. Sagara berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada dinding lift. Raisa memandang ke arah Sagara yang mengeluarkan rokoknya.
“Sagara, kenapa mau merokok? Bukankah merokok di dalam lift dilarang? Apalagi di dalam lift tidak ada ventilasinya?” Raisa bertanya kepada Sagara. “Kata siapa, Sayang, merokok di dalam itu dilarang?” Sagara membakar ujung rokoknya dengan sebuah korek api gas. “Tapi, Gara, asapnya dapat membahayakan kita berdua?” Raisa bertambah panik. “Tolong matikan rokoknya. Kau bisa merokok setelah kita berdua keluar dari lift. Sekarang kita lagi terjebak di dalam.” “Kamu tidak usah panik begitu, Sayang. Sebentar lagi lift ini akan terbakar.” Sagara mengisap ujung rokoknya dalam-dalam. “Kenapa kamu bilang seperti itu, Gara?! Aku ingin kita segera keluar dari lift ini.” Raisa mengernyitkan keningnya.
Melihat wajah Raisa diliputi oleh kecemasan dan ketakutan, justru Sagara tertawa terkekeh-kekeh sambil memukul-mukul dinding lift. Sesekali kedua matanya memandang ke arah kekasihnya yang sedang panik itu. Sementara Raisa bertanya-tanya melihat tingkah kekasihnya yang bukannya menenangkan dirinya justru menganggap semua ini lelucon.
“Kenapa kamu malah tertawa, Sayang? Apakah semua ini lelucon?” “Hahahaha. Hahahaha. Kenapa, Raisa? Apakah kamu takut terjebak di dalam lift? Apakah kamu takut jika kita berdua mati di dalam lift karena kehabisan napas? Bukankah kamu mencintaiku, Raisa? Bukankah kau telah berjanji akan selalu setia bersamaku? Termasuk jika kita mati berdua? Bukankah cintamu tulus kepadaku, Raisa? Tapi, kenapa kamu takut? Hahahaha!”
Raisa melihat ada yang aneh dengan kekasihnya itu. Ia mengenal Sagara sebagai pemuda yang baik. Ia mengenal Sagara sebagai pemuda yang romantis. Namun kenapa hari ini ia melihat Sagara sebagai pemuda yang aneh? Apakah Sagara berpura-pura baik?
“Kenapa kamu berubah aneh seperti itu, Sagara? Apa yang terjadi pada dirimu?” Raisa menyelidik, yang justru direspons dengan penuh lelucon oleh Sagara. “Kenapa, Sayang? Apakah ada yang aneh denganku?” Sagara mendekatkan wajahnya pada Raisa, dan memandang wajah kekasihnya itu dengan mendelik lucu. “Tidak ada yang aneh denganku, Raisa. Semuanya baik-baik saja. Sama sekali tidak terjadi apa-apa.” Pemuda itu mengembuskan asap rokok ke muka Raisa. Gadis itu mengibas-ngibaskan asap rokok dengan tangannya sembari terbatuk-batuk. “Tidak ada yang aneh denganku, Sayang. Tapi, Raisa… aku masih merasa sedih,” ekspresi muka dan nada bicaranya Sagara seketika berubah. Kedua matanya berkaca-kaca. Raisa semakin merasa ada yang aneh dengan kekasihnya itu. “Apakah kau tahu hidupku selama ini, Raisa?” Raisa menggelengkan kepalanya.
“Sejak kecil, aku tidak pernah tahu wajah ayah dan ibuku. Kau tahu kenapa? Sebab sejak aku berusia satu tahun, ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan. Keduanya tewas seketika di dalam mobil yang terjungkir di atas jalan raya. Saat itu aku sedang dititipkan pada bibiku. Andai saja aku ikut, sudah pasti aku juga mati. Setelah itu… aku dititipkan di panti asuhan. Selama puluhan tahun aku tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orangtuaku, Raisa. Justru aku selalu disiksa dan diintimidasi selama tinggal di panti asuhan itu. Berbeda dengan kau, Raisa. Kau hidup dalam kemewahan. Kau juga mendapat kasih sayang dan cinta dari orangtuamu. Kau tahu kenapa, Raisa?” intonasi suara Sagara semakin meninggi. Kedua matanya melotot seolah hampir keluar dari cangkangnya. Raisa menggeleng tidak tahu. Sagara mendekat ke arah Raisa. Saat itu, lift hidup. Pintunya hendak membuka. Dengan gerakan cepat, tangan kanan Sagara mencengkeram batang leher Raisa dan menyeretnya ke pintu lift. Raisa berusaha melepaskan cengkeraman tangan Sagara tapi ia kalah kuat tenaganya. Gadis itu menjerit sambil menangis. “Sagara!” Kepalanya saat itu berada di luar pintu lift. Sayangnya, pintu lift menutup secara otomatis dan lift turun ke bawah. Batang lehernya terjepit. Melihat itu Sagara menyeringai licik.
Kematian Raisa membawa kesedihan yang mendalam di hati adiknya, Riza. Ia tahu bahwa selama ini kakaknya itu sangat takut naik lift. Raisa mau naik lift bila ada yang menemani. Lagi pula ada apa Raisa menginap di hotel. Bersama sahabatnya yang bekerja sebagai polisi, Riza terus mencari tahu penyebab kematian saudarinya itu. Apakah benar kalau Raisa tewas karena bunuh diri? Gadis itu sangat yakin kalau Raisa tidak mungkin akan melakukan hal konyol itu. Di balik semua ini pasti ada seseorang yang hendak membunuhnya. Namun siapa?
Siang itu, Riza sedang mencari buku di salah satu mal kota. Saat secara tidak sengaja menjatuhkan buku di rak, tiba-tiba seorang pemuda berdiri di depannya. Lalu pemuda itu membantu mengambilkan buku yang terjatuh dengan cara membungkuk. Begitu juga dengan Riza sehingga tangan mereka berdua hampir saja saling bersentuhan. Riza menjadi salah tingkah. Pemuda itu sangat tampan. Pandangan matanya begitu meneduhkan jiwa. Lalu pemuda itu mengulum senyum kepada Riza.
“Maaf, ini bukunya!” kata pemuda itu seraya menyerahkan buku kepada Riza. “Ah, iya. Terima kasih.” Riza mengulum senyum. “Permisi. Saya mau menumpang lewat.” “Ah, iya, silakan!”
Pemuda itu lewat di samping Riza. Gadis itu masih belum bisa mengendalikan dirinya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Saat pemuda itu telah agak berjauhan, ia sempat menengok ke belakang. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Riza juga menengok ke belakang hingga tatapan keduanya saling beradu pandang. Pemuda itu mengulum senyum. Senyuman yang menggoda. Jantung Riza semakin dagdigdug tak keruan. Hatinya menyanyi dengan riang. Apakah ini yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama? Riza tidak dapat membohongi dirinya kalau ia telah jatuh cinta pada pemuda sopan itu.
Keesokan harinya Riza kembali bertemu dengan pemuda itu di kantor polisi. Seorang polisi muda berbadan tegap tengah menginterogasi pemuda itu di salah satu ruangan. Dengan terang-terangan pemuda itu membantah seluruh tuduhan yang dialamatkan oleh polisi terhadap dirinya.
“Mana mungkin saya bisa mengaku kalau saya ini Sagara, Pak?!” sanggah pemuda itu dengan nada polos. Wajahnya juga meyakinkan kepada polisi kalau dirinya bukan pelaku kriminal. “Bapak tatap saya bulat-bulat, apakah pemuda baik dan polos sepertiku akan melakukan tindakan kejahatan dengan membunuh gadis yang tidak bersalah? Tidak mungkin, Pak.” Pemuda itu mengeluarkan dompet dari saku celananya, lalu mengeluarkan kartu identitasnya. “Bapak adalah seorang perwira polisi yang berpendidikan tinggi. Tentu saja Bapak bisa membedakan antara nama Sagara dengan Rahmad.” Pemuda itu memperlihatkan kartu identitasnya di hadapan polisi.
“Kami yakin sekali kamu adalah Sagara!” bentak polisi muda itu dengan tegas. “Wajah kalian mirip dan sama sekali tidak ada perbedaan.” “Pak, di dunia ini Tuhan memang menciptakan wajah manusia mirip-mirip. Oh apa jadinya jika saya dipenjara dan mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan hanya karena wajah saya mirip dengan Sagara?” pemuda itu berlagak polos.
Riza masuk ke dalam ruangan itu dan menemui sahabatnya yang sedang menginterogasi pemuda yang kemarin bertemu dengannya di toko buku. “Fadli, aku yakin kalau dia bukan Sagara,” kata Riza meyakinkan. “Apakah kamu yakin, Riza?” polisi muda itu ragu. Riza mengangguk dengan tatapan meyakinkan. “Aku mengenalnya kemarin di toko buku. Dan aku yakin kalau dia adalah pemuda yang baik dan polos.”
Sejak itu, Riza dekat dengan pemuda bernama Rahmad yang memiliki wajah mirip dengan Sagara, pembunuh Raisa. Kepada Rahmad Riza meminta maaf karena polisi telah mencurigai dirinya sebagai pembunuh kakaknya. Kepada Rahmad pula ia bercerita tentang kejadian tragis yang telah menimpa kakaknya enam bulan yang lalu. Saat itu, kakaknya jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Sagara. Sagara adalah pemuda yang baik. Ia mengaku sebagai anggota TNI AL yang bertugas di wilayah perbatasan. Raisa mendambakan kekasih yang bekerja sebagai TNI. Sejak pertemuannya dengan Sagara, Raisa jatuh hati dan keduanya pun berpacaran. Ketika Sagara bertugas, setiap minggu Raisa selalu menghubunginya. Mereka berpacaran secara LDR. Namun pada malam itu, Sagara mengajak Raisa ke salah satu hotel. Mereka janjian. Sagara menunggunya di lantai 6. Setelah itu Raisa naik ke lantai 6 dengan lift. Sesampainya di sana, Raisa melihat kekasihnya sedang bermesraan dengan seorang gadis lain. Raisa merasa kecewa. Ia kembali turun dengan naik lift. Sayangnya, Raisa yang merasa sangat kecewa melakukan bunuh diri dengan menjepitkan kepalanya ke pintu lift. Pihak berwajib telah melakukan olah TKP dan hasilnya, Raisa tidak bunuh diri melainkan dibunuh oleh seseorang.
“Aku minta maaf sama kamu, karena polisi telah menuduhmu sebagai pembunuh kakakku.” Riza mengulum senyum kepada Rahmad. “Tidak apa-apa.” Rahmad membalas senyuman Riza. Pemuda itu jatuh cinta.
Tiada angin, tiada hujan, Riza membaca berita tewasnya salah seorang temannya di surat kabar. Temannya itu ditemukan tewas dengan tergantung di langit-langit kamarnya. Polisi telah memeriksa sejumlah saksi. Dari hasil penyelidikan, teman Riza yang tewas itu bekerja di salah satu toko yang sama persis dengan tempat bekerja di mana Rahmad bekerja. Lalu Riza memperlihatkan foto Rahmad kepada saksi, dan hasilnya sungguh mencengangkan Riza. Gadis itu benar-benar syok. Apakah Rahmad yang selama ia kenal sebagai pemuda baik dan sopan itu adalah Sagara? Belum lagi ditambah oleh pengakuan dari salah satu karyawan hotel yang mengatakan bahwa sebenarnya pada saat sebelum kejadian, ia melihat korban Raisa masuk ke dalam lift bersama seorang pemuda yang mirip dengan Rahmad alias Sagara. Tak berselang lama kemudian, terjadi sesuatu pada lift. Saat itu tidak ada orang lain selain mereka berdua di dalam lift. Anehnya setelah kejadian itu, tak seorang pun yang melihat Sagara. Baik CCTV hotel tidak melihat rekaman Sagara.
“Rahmad, apakah benar kamu adalah Sagara?” tanya Riza dengan berurai air mata di hadapan Rahmad. Pemuda itu terdiam dengan memandang bangunan dan jalan raya di bawahnya. Saat itu keduanya berada di atas roof top salah satu hotel yang berada di tengah kota. Polisi telah mengepung Rahmad dari berbagai arah. Ujung senjata api mengarah kepadanya.
“Ya, akulah Sagara. Aku adalah Sagara, Riza. Maafkan aku telah berbohong kepadamu dengan menjadi Rahmad. Akulah pembunuh Raisa, kakakmu.” Rahmad menangis. “Tapi… tapi kenapa kamu melakukan itu, Rahmad? Kenapa kamu membunuh kakakku? Apa salah kakakku?” tangis Riza pecah. Ingin ia menembak kepala pembohong itu dengan tangannya sendiri. Namun ia tidak tega. “Riza, Raisa sama sekali tidak bersalah. Yang bersalah atas semua ini adalah ayahmu,” kata Sagara dengan berurai air mata. Riza terkejut. Ayahnya? Kejahatan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya? Apakah selama ini ayahnya telah merahasiakan sesuatu darinya?
“Kedua orangtuaku tewas dalam sebuah kecelakaan di jalan tol. Saat itu usiaku baru satu tahun. Aku menjadi yatim piatu dan tinggal di panti asuhan. Salah seorang rekan ayah mengatakan bahwa ayahmu yang telah menyebabkan kedua orangtuaku kecelakaan. Rem mobil yang mereka tumpangi blong. Ayahmu telah menyuruh salah satu orangnya untuk memutus kabel rem. Kau tahu kenapa, Riza? Karena ayahmu merasa bisnisnya merasa tersaingi oleh bisnis ayahku. Dan aku ingin mencari keadilan. Sebab polisi sama sekali tidak pernah mengungkap siapa pelaku kematian orangtuaku. Bahkan orang suruhannya diancam oleh ayahmu sendiri. Ya, itulah kenyataannya, Riza,” setelah mengatakan yang sebenarnya, Rahmad berjalan ke arah tepi gedung. Riza memintanya agar tidak melakukan itu. Namun Rahmad, menerjunkan dirinya dengan tubuh telentang. Ia tersenyum.
“Ayah, Ibu, aku menyusul kalian.”
Riza menangis. Ia tidak bisa membohongi dirinya kalau telah jatuh cinta pada Sagara.
Probolinggo, September 2022 Penikmat Sastra.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky