Bisa kalian bayangkan? Apa jadinya jika langit dan bumi bersatu? Pastinya alam raya ini akan hancur dan kiamat pun akan terjadi. Maka dari itu, selama ini mereka terus tabah menjaga jarak yang Tuhan ciptakan di antara mereka. Agar tidak ada yang tersakiti karena persatuan mereka. Seperti Kara dan Raka—dua insan yang terpaksa memendam rasa cinta masing-masing karena ketidakmungkinan untuk bersatu.
Pagi ini, sekolah mereka akan mengadakan study tour ke Bali dalam rangka refreshing sebelum ujian akhir dilaksanakan. Raka—yang merupakan putra dari pemilik yayasan tempat mereka belajar—tentunya selalu mengikuti setiap acara yang diadakan oleh sekolah, termasuk juga acara (study tour) yang satu ini.
Seorang laki-laki tengah berlari sekuat tenaga, dan kemudian menapaki setiap jengkal anak tangga] “Kar? Kara?! Hah, hah, hah …” seru suara itu ngos-ngosan. “Loh? Kamu, kok masih ada di sini, Rak?” jawab seseorang yang tadi dipanggil. “Duh, aku nggak bisa jelasin sekarang. Yuk, buruan. Bus-nya udah mau berangkat lima menit lagi,” jelas laki-laki itu masih dengan suara yang tersengal-sengal. “Hah? Ya, udah. Kalau gitu kenapa kamu malah ke sini? Buruan sana, ntar ketinggalan bus.” “Tapi aku maunya pergi sama kamu, Kar.” “Ya, nggak bisa, Rak. Kan, kamu tau, aku nggak pergi karna nggak ada dana yang cukup.” “Bisa! Kamu udah aku tanggung,” ucapnya masih berharap. “Hah?! Maksudnya?”
Raka melihat jam tangannya, jika ia harus menjelaskan segala halnya sekarang, maka mereka akan benar-benar ketinggalan bus. Ia pun terpaksa menarik tangan gadis itu dan membawanya segera. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama, lantaran kelas mereka yang berada di lantai tiga, tentunya akan memakan banyak waktu untuk bolak-balik dari sana.
Kara yang sedari tadi hanya bisa pasrah tangannya ditarik oleh Raka akhirnya sadar dan ia menghentikan langkahnya. “Bentar, bentar. Raka, aku nggak bisa pergi kayak gini aja. Semua ada aturannya, Rak.” Namun, yang diajak bicara hanya diam dan fokus pada bus yang tengah terparkir di depan gerbang sana.
“Raka? Kamu dengerin aku, dong!” “Raka, stop!” akhinya nada suara gadis itu pun meninggi. Membuat laki-laki yang sedari tadi menggenggam tangannya itu menghentikan langkahnya juga dan berbalik untuk menatap gadis bernama Kara itu. “Please, ngertiin aku. Jangan mentang-mentang kamu bisa bujuk papa kamu, terus aku mau pergi gitu aja? Nggak, Rak. Di sekolah ini semua ada prosedurnya,” tutur gadis itu dengan tatapan nanarnya. “Tapi papa udah setuju, kok, Kar. Aku udah izin sama dia buat ngajak kamu. Lagi pula kamu, kan bukan orang asing, kamu itu—” Raka tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ia sendiri bingung harus menganggap gadis itu sebagai apa. Kara tersenyum simpul, “Udahlah, Rak. Nggak usah dipaksain. Kamu pergi aja, aku akan selalu ada di sini buat nunggu kamu, okey?” bujuk Kara dengan suaranya yang sudah kembali normal. Raka menghela napas berat, “Tapi—” “Aku nggak pa-pa, Raka,” Kara kembali meyakinkannya. “Oke, deh. Nanti aku bawain oleh-oleh, deh buat kamu. Tunggu aku, ya, Kar.” “Pasti.”
Tiga hari kemudian, para siswa yang tempo hari mengikuti study tour pun kembali dan melaksanakan aktivitas belajar seperti biasanya. Termasuk Raka, yang sejak pagi tadi tidak sabar untuk menemui Kara dan memberikan oleh-oleh yang sempat ia janjikan.
Kriiiiing … Bunyi bel istirahat Raka pun bergegas berjalan menuju kelas paling ujung (kelas Kara) dengan senyuman yang selalu merekah di wajahnya dan sesampainya di sana, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kelas itu, tapi tidak ia temukan sosok gadis manisnya di sana.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, membuat si Mpu membalikkan tubuhnya, “Nyari Kara, ya?” tanya seorang gadis berambut pirang datar. Seakan menemukan seorang malaikat penolong yang akan menjawab kebingungannya, Raka pun mengangguk tersenyum. Namun, bukannya menjawab, gadis itu malah mengulurkan sebuah amplop berwarna biru pada Raka dan berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan segudang kebingungan baru. “Yaudah, deh. Aku ke kelas aja. Kayaknya Kara nggak masuk sekolah hari ini,” gumam Raka berjalan menuju kelasnya.
Sesampainya di kelas, “Tapi kenapa Kara nggak masuk, ya? Tumben banget, biasanya kan dia hadir terus,” Raka sibuk bermonolog sambil membolak-balikan amplop biru yang masih ia genggam. Setelah amplop itu dibuka, Raka pun mengambil selembar kertas yang terlipat dari dalamnya dan mulai membaca.
—
“Heh! Kalian udah pada tau, belum?” “Apa’an?” “Anak yang punya yayasan meninggal dunia!” “Hah?! Seriusan Loe? Ntar hoaks lagi.” “Iya, dikeluarin dari sekolah baru tau rasa Loe!” “Ih, kok jadi pada nakut-nakutin Gue, sih? Ini tu beneran.” “Jadi, maksud Loe Raka beneran udah nggak ada?” “Iya, dia kecelakaan pas pulang sekolah kemarin.” “Kok bisa?” “Ada saksi mata yang liat, katanya si Raka yang nabrakin diri ke mobil itu.” “Hah?! Ngaur Loe, nggak mungkin dia tiba-tiba buta, kan? Ampe nggak liat ada mobil lewat.” “Bukan. Ada yang bilang, ya, kemungkinan dia bunuh diri karna Kara.” “Loe kalau cerita bikin jantung gue maraton, ya. Beritanya bikin gue kaget mulu. Jelasin napa, jangan sepenggal-penggal.” “Isunya Raka sama Kara itu udah lama saling suka, tapi nggak direstuin sama papanya Raka. Secara level mereka itu jauh banget.” “Jadi, karna Kara nggak sekolah lagi makanya dia bunuh diri? Kok, rasanya remeh banget, sih? Gitu doang malah bunuh diri, kan bisa ketemu di luar.” “Ih, susah, ya ngomong sama orang yang kudet. Dahlah, males gue cerita, ntar loe pada tunggu aja breaking news-nya.”
—
Dear orang yang paling aku sayang, Raka.
Hai? Apa kabar kamu sekarang? Pasti acara study tour nya seru, ya? Hehe, maaf, ya karna waktu itu aku nggak bisa ikut. Tapi, tanpa aku pun kamu bisa have fun, kok sama temen-temen yang lain. Oh ya, maaf karna aku nggak bisa tepatin janji untuk nunggu sampai kamu kembali. Tapi kamu jangan sedih, ya. Ntar, kalau kamu sedih gantengnya bisa ilang, lho, hehe. Walau sebenernya aku juga penasaran banget sama oleh-oleh yang bakalan kamu kasih, wkwk ngarep ceritanya.
Oke, oke, sekarang aku serius, deh. Raka … Kalau nantinya surat ini sampai ke tangan kamu, itu artinya aku udah pergi jauh, dan kamu nggak perlu susah-susah untuk nyari aku lagi, ya. Maaf, maaaaf banget karna aku nggak bisa lagi nemenin kamu dan genggam tangan kamu kalau kamu lagi sedih.
Maaf, Rak, aku nggak berdaya ngelawan kekuasaan papa kamu, karna aku bukan siapa-siapa dan nggak punya apa-apa. Aku cuma anak yatim piatu yang dapat beasiswa, kan? Ya, hanya sebatas itu. Dari awal, aku udah tau kalau papa kamu nggak suka kalau kamu berteman bahkan dekat sama aku, tapi aku juga nggak bisa bohongin perasaan aku sendiri, Rak. Hadirnya kamu dalam hidupku membuat hari-hariku lebih berwarna dan aku punya alasan baru untuk tetap hidup. Tapi, teryata di dunia ini segala hal itu harus seimbang, ya? Tidak seperti kita yang bagaikan langit dan bumi, jauuuuh banget.
Raka, aku harap kamu bisa menemukan sosok wanita lain yang bisa kamu cintai lagi, yang bisa menjadi pengganti sosok mama kamu dan aku. Karna aku udah pensiun jadi mama kamu, hehe. Oh ya, jangan benci papa kamu karna aku, ya? Karna dia tetaplah orang tua yang harus kamu hormati dan turuti. Dia lebih tau mana yang terbaik untuk anaknya, Rak.
Hmm, apa lagi, ya yang mau aku tulis di sini? Jadi bingung, wkwk. Kayaknya itu aja, deh. Take care yourself, happy always, keep smile, and i love you always wherever i am. Goodbye my price, i hope we can meet again at the heaven.
—
Breaking News, “Telah ditemukan mayat seorang wanita yang diduga merupakan seorang siswi dari SMA Bhakti Husada. Hal ini diperkuat dari seragam sekolah yang dikenakan olehnya. Mayat ini pertama kali ditemukan oleh seorang pemulung yang sedang mencari rongsokan. Setelah diotopsi, penyebab kematian gadis yang akrab dipanggil Kara itu adalah karena ditabrak ….”
Beberapa hari setelah meninggalnya Raka, SMA Bhakti Husada dipenuhi oleh pihak kepolisian untuk menangkap sang pemilik yayasan.
Cerpen Karangan: Secret Someone Blog / Facebook: Author Dee Lagi dan lagi, semoga tersampaikan. ~ do