“Good evening ladies and gentlemen.” Suara Ken seketika menggelegar dibalik mikrofon merah maroonnya. Menyambut para penonton yang hadir pada malam hari itu.
Lampu yang tadinya padam kini dinyalakan. Warna merah, putih dan biru seketika mendominasi seisi tenda sirkus kala itu. Memperlihatkan dengan jelas Ken yang tengah berdiri di tengah-tengah lingkaran panggung. Dengan pakaian serupa seorang pesulap dengan jubah hitam dan topi tingginya.
“Welcome to the biggest show in the world.” Suara Ken kembali berseru. Yang kemudian disambut oleh tepuk tangan dari para penonton yang meriah.
Saat suara tepuk tangan penonton mulai terdengar ramai, dua orang akrobatik kemudian muncul dengan pakaian berwarna mencolok serta dandanan lucu khas sirkus. Mereka berdiri disisi kanan dan kiri Ken, lalu menari sembari memainkan pita berwarna pink dan biru di kedua tangannya.
“Izinkan saya memperkenalkan para pemain sirkus The Evening Star Book pada malam hari ini. Wanita di sebelah kiri saya, bernama Elena dan di kanan saya, bernama Lilian.” Ken mengarahkan tangannya ke arah Elena dan Lilian bergantian, lalu kedua temannya itu membungkuk–memberi salam–kepada para penonton sebelum akhirnya mereka mendekat ke arah kursi penonton untuk dadah cantik pada anak-anak kecil yang menatap mereka dengan kagum.
Tak lama, para pemain lain muncul dari balik tirai belakang dangan berbagai properti. “Baik saya lanjutkan, tiga orang yang sedang melakukan juggling disana mereka bernama Azreal, Deyyan dan Tinny.” Ken menunjuk ke arah tiga temannya yang berada di depannya. “Dua orang akrobatik yang berada di atas sana, mereka adalah Julien dan Jean.” Kemudian, Ken menunjuk ke arah dua temannya yang tengah berayun pada trapeze. “Dan… perkenalkan tuan dan nyonya sekalian, nama saya Ken.” Ken lalu menunduk sembari mengangkat topinya dan membawanya sejajar dengan perut, salamnya super ramah dengan senyum menawan.
“Pertunjukkan akan segera dimulai.”
Ken memberi tanda. Musik lalu dimainkan bersamaan dengan berbagai macam atraksi yang memukau. Penonton kembali dibuat bersorak dan bertepuk tangan dengan meriah ketika teman-teman Ken mulai nunjukkan akrobatik mereka. Seperti juggling, berayun pada trapeze, tarian dengan gelang api dan para pemain sepeda roda satu yang berkeliling menyapa para penonton. Serta tarian dengan pita berwarna yang kembali ditampilkan oleh Elena dan Lilian.
Ken kemudian menepi untuk memberi ruang lebih luas kepada teman-temannya untuk tampil. Dan dari sisi sebelah kanan tenda, Ken dapat menemukan sosok itu lagi. Sosok yang akan selalu muncul disetiap pertunjukkan sirkus mereka.
Sosok itu memperhatikan jalannya sirkus dengan wajah cerah. Namun, setiap kali Ken melihat gadis yang duduk berbalutkan long dress berwarna hijau aquamarine itu duduk diantara penonton lainnya, Ken hanya mampu memberinya senyum tipis yang tak akan pernah gadis itu sadari.
Akhirnya, Ken mengalihkan pandangannya hanya agar kedua mata mereka tidak bertemu dan ia benar-benar berakhir menjadi patung.
Pukul 22.30 Pertunjukkan mereka telah selesai beberapa saat yang lalu. Kini mereka tinggal membereskan peralatan serta tenda yang mereka buat untuk pindah kek kota lain.
“Lo mau lanjut kerja, Ken?” tanya Lilian. Setelah menutup lokernya dan duduk di kursi yang ada di belakang Ken. “Iya, ada penjemputan buat dua orang. Seorang anak laki laki dan kakak perempuannya. Kalo lo perhatiin, mereka tadi duduk dibaris paling depan.” jawab Ken. Lantas menyodorkan data dua orang adik kakak yang baru saja meninggal dua minggu lalu. “Hm, mereka ya. Iya gue liat kok tadi.” kata Lilian setelah memperhatikan lembaran data yang diberikan Ken. Dan di sana Lilian dibuat tak habis pikir dengan penyebab kematian kakak beradik itu.
Nama: Indra Umur: 8 Tahun Penyebab kematian: Penganiayaan Waktu kematian: Pukul 21.25 WITA
Nama: Natalia Anisa Umur: 20 Tahun Penyebab kematian: Tabrak lari Waktu kematian: Pukul 21.30 WITA
“Korban kekerasan lagi?” Mendengarnya Ken lantas mengangguk. Lalu menghembuskan nafas singkat sebelum mulai menjelaskan. “Iya. Korban penganiayaan lagi. Dia dipukuli oleh Ayahnya saat sedang mabuk dengan tongkat kasti sampai meninggal. Sedangkan kakaknya jadi korban tabrak lari waktu kabur dari kejaran Ayahnya yang ingin memperk*sanya. Dan ia langsung meninggal di tempat.” jelas Ken, lalu berbalik ke arah Lilian yang menukik alisnya begitu tajam.
Dan dengan decak kesal Lilian lantas membanting lembaran data itu begitu saja, hingga tanpa sengaja menarik perhatian Elena yang juga berada di sana. Lilian sendiri sudah muak pada manusia-manusia banjingan macam itu. Seandainya dia bisa, dia ingin sekali menjebloskan manusia-manusia tak tau diuntung itu ke neraka. Bukankah tempat untuk orang-orang macam mereka memang di sana?
“Hahh, dunia makin gila aja ya sekarang. Kasus orangtua yang nganiaya anak sendiri ada di mana-mana, bahkan gilanya sekarang malah tambah banyak. Gak habis pikir gue. Apa salah anak-anak itu sampai dapat orangtua kayak gini?” Seperti biasa, Lilian akan selalu mengeluhkan hal-hal seperti ini. Tapi mengingat kasus kematian seperti ini sedang banyak terjadi, Ken pun sama jengahnya.
Pasalnya selama satu bulan belakangan penjemputan roh yang mereka lakukan–paling tidak setengahnya–pastilah merupakan roh korban penganiayaan. Bahkan kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang berusia belia hingga usia tujuh belas tahun. Usia di mana anak-anak itu baru saja mengenal apa itu hidup. Usia di mana mereka baru saja mengenal apa itu mimpi dan berkeinginan untuk mewujudnya. Di saat mereka seharusnya berjuang untuk meraih mimpi-mimpi itu, nyawa mereka malah direnggut. Dan yang mirisnya, orang-orang yang menghancurkan mimpi dan hidup anak-anak itu adalah orangtua mereka sendiri.
“Anak-anak itu juga gak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa, karena seandainya bisa mereka pasti hanya akan memilih lahir di keluarga yang baik. Yang lebih bertanggung jawab untuk menjaga dan merawat mereka.” Elena tiba-tiba bersuara. Ikut andil dalam pembicaraan mereka yang mulai hening. “Takdir mereka terlalu malang untuk kita ceritakan. Paling gak jiwa anak-anak itu dapat pulang ke sisi Tuhan-Nya untuk beristirahat. Mereka anak-anak baik yang tidak membawa dendam apa pun sampai mereka mati. Jiwa mereka layak untuk kita antar pulang pada peraduan, tempat di mana seharusnya mereka bisa lebih bahagia.” Elena kembali bersuara saat Julian dan Jean datang bersamaan dengan membawa dus berisi peralatan sirkus mereka. “Benar, kadang aku kagum sama anak-anak itu. Jiwa mereka sebersih itu untuk ukuran seseorang yang tersakiti. Biasanya, mereka yang mati dalam keadaan dibunuh atau dianiaya seperti itu rentan dan sulit untuk diantar, karena biasanya mereka membawa dendam untuk orang-orang yang menyakiti mereka sampai mati.” Jean ikut menimpali, jujur saja ia benar-benar dibuat kagum pada jiwa-jiwa manusia itu. Jiwa-jiwa yang bersih akan dendam, seolah semesta memberi mereka kehidupan yang layak sebelum mereka mati. Padahal kenyataannya, kehidupan tak sebaik itu pada mereka.
Sambil tersenyum Julian lantas merangkul pundak Jean, “Mereka mungkin sudah cukup capek sama hidup mereka. Jadi disaat mereka mati, mereka pikir rasa sakit mereka sudah selesai dan mereka bisa beristirahat lebih damai di sana. Dan karena kedamain itu mereka dapat setelah lelah yang panjang, mereka lupa sama rasa sakit mereka yang pernah mereka alami dulu. Mereka lupa kalau mereka punya dendam yang harus dibalaskan.” Julian menjeda kalimatnya sesaat, ketika merasakan hawa di sekitar mereka berubah. Pembahasan mereka membawa malam itu membuat temannya yang lain ikut merasa lara. “Tapi kayak yang Elena bilang, paling gak jiwa mereka bisa pulang dan beristirahat dengan tenang. Soal dendam atau apa pun itu, Tuhan sendiri yang akan mengaturnya. Jadi kita cukup jalankan tugas kita sebagai malaikat maut yang menjemput jiwa jiwa manusia untuk diantar ke alam baka dan untuk para manusia itu, kalau kata gue ya semoga berhasil. Hidup memang gak mudah, tapi semua lelah lo bakal dibayar sama Tuhan dengan istirahat dan kebahagiaan yang gak ada duanya. Selama manusia-manusia itu berada dijalan yang benar, mereka gak akan susah buat nemuin jalan yang terang.”
“Heeh sok iye saja lo, Jul.” Tinny tiba-tiba muncul dari gudang bersama Azreal dan Deyyan yang berada di belakang Julian dan Jean. Dan dengan semena-mena ia melempar salah satu bola tepat di belakang kepala Julian. Julian jelas melotot bukan main. Namun alih alih meminta maaf Tinny justru memberinya senyum jahil yang menyebalkan. Dan alih alih membuat Julian marah, yang justru tergugah untuk melempar dus berisi peralatan sirkus mereka ke wajah menyebalkan Tinny, Jean lebih bersedia melakukannya.
“Ngajak berantem lo? Sini!” pekik Jean seraya mengangkat dus ditangannya tinggi-tinggi. Dan fenomena ini berhasil membuat yang lain lantas menghela napas panjang. Mereka mulai lagi. “Udah udah jangan berantem, pusing gue liatnya.” Azreal lantas menurunkan tangan Jean yang masih mengangkat dusnya tinggi-tinggi. Alhasil Tinny dibuat menahan tawa dengan kegirangan di dalam hati. Merasa menang setelah secara tidak langsung mendapat pembelaan Azreal. Jean mulai tak ingin ambil pusing dengan tingkah Tinny yang menyebalkan bukan main, Jadi ia memilih untuk mengalihkan dus di tangannya ke Julian. Lalu berjalan melewati Ken, Elena dan Lilian yang memandanginya sambil geleng-geleng kepala.
“Penjemputannya biar gue saja yang ambil ya, kak. Kakak dari anak laki-laki itu perempuan kan, Jadi biar aku saja.” kata Jean, seraya mengambil lembar data kematian yang berada di samping Lilian. “Kakak istirahat saja di tenda sambil bantu yang lain beres-beres. Aku malas ketemu Tinny.”
Mendengar apa dikatakan oleh Jean, Ken seketika dibuat mematung. Ah benar juga, ia nyaris mengambil penjemputan yang tak seharusnya ia ambil. Semenjak hari itu, Ken memang tidak pernah lagi mengambil pekerjaan untuk menjemput jiwa seorang perempuan. Dan begitu mengingatnya Ken lantas menunduk, bayang-bayang gadis bergaun hijau aquamarine itu kembali melayang-melayang di kepalanya. Ken sendiri sadar, setelah Jean berlalu meninggalkan ruang ganti, suasana seketika menjadi hening. Teman temannya menatap Ken dengan tatapan iba. Mereka semua tau ada luka yang masih basah tertoreh di sana. Luka yang tak pernah menemukan jalan keluar. Menetap terlalu lama di sana sampai-sampai si pemilik luka itu sendiri terbiasa untuk membawanya ke mana-mana.
Cerpen Karangan: Bubblerain Blog / Facebook: Bubblerain