“Gue liat Dania tadi.” Di antara semua teman-teman Ken yang memilih membisu disituasi ini, Lilian menjadi satu satunya yang berani membuka bersuara. namun sayang Ken tak berminat untuk merespons perkataan Lilian dan memilih berlalu dari sana tanpa berkata apa apa.
Lilian lalu bangkit dan menahan laki-laki itu untuk pergi dari sini. Ia tidak bisa terus menerus membiarkan Ken berada dalam jurang yang gelap. Laki-laki itu harus segera ditarik keluar sebelum kehancuran yang ia rasakan akan merugikan orang lain.
“Berhenti bahas soal dia Lilian.” tekan Ken, lantas menepis tangan Lilian yang menahannya. Membuat Lilian yang berada diposisi itu seketika membatu. Emosinya yang tertahan diujung lidahnya berakhir pada aksi yang tak akan pernah ia sangka. Plakk!! Lilian menampar Ken di hadapan teman temannya. Tamparan yang cukup keras hingga meninggalkan jejak merah di sana. “Lilian!” “Mau sampai kapan lo menghindar.” “Ini bukan urusan lo Lilian.” “Gue tau ini bukan urusan gue, Ken. Tapi lo perlu diingatin. Udah satu tahun dia disini. Mau sampai kapan lo mau nahan dia? Sampai dia hilang?!” Seketika nada Lilian naik satu oktaf dan hal itu jelas membuat Ken tersentak di tempat. Walau tak kentara, tapi teman temannya mampu melihat getaran pada genggaman tangan Ken yang berada disisi tubuhnya.
“Lia, stop! Lo udah kelewatan.” Azreal yang ingin melerai dua temannya itu lantas berhenti mendekat begitu tangan Lilian memintanya untuk berhenti. “Sejak kapan lo jadi lemah gini Ken.” Ken menatap Lilian yang masih berapi api di depannya dengan wajah datar. Tak ada ekspresi apa pun di sana kecuali ekspresi datar itu.
“Kita dikasih rasa simpati itu supaya kita gak menghakimi jiwa-jiwa yang nantinya akan kita jemput. Simpati itu ada supaya kita bisa memberi pengertian dan arahan yang baik kepada roh-roh yang masih tersesat di dunia ini agar mereka gak berlama lama tinggal di sini dan berakhir jadi debu terus hilang gitu saja.” Lilian kembali dibuat memekik tertahan melihat wajah tanpa ekspresi Ken. Wajah yang seolah tak menunjukkan adanya rasa bersalah sama sekali.
Lilian tidak tau saja, sejak awal Ia membahas soal Diana dada Ken seketika dibuat mati rasa. Kebas. Rasanya Ken ingin menangis kencang saat nama Diana kembali disebut. Tapi sejak dulu sesakit apa pun perasaannya Ken tidak pernah bisa menangis.
“Lo bukan gue Lia.” Ken akhirnya bersuara, dengan suara yang berat laki laki itu kemudian berkata lagi, “Lo gak tau betapa susahnya berada di posisi gue sekarang, Lilian. Dan lo juga gak akan pernah tau bagaimana rasanya menyimpan beban seberat ini selama ini.” Sekarang, Lilian yang dibuat mematung. Wajah tanpa ekspresi itu kini mulai menunjukkan guratan guratan yang sarat akan kekecewaan, rasa sakit dan luka yang dalam.
“Ken….” Lengan Elena yang bermaksud menenangkan Ken yang juga mulai emosi, ditepis begitu saja. “Bukan maunya gue juga dia tetap di sini, Lia. Gue juga mau dia pulang. Gue mau dia beristirahat dengan tenang seperti jiwa-jiwa yang kita jemput selama ini, tapi-” napas Ken seketika tertahan, bayang sosok Dania yang menangis kesakitan di jalan sepi seorang diri tanpa ada siapa pun yang menolongnya. Akhirnya dada Ken kembali digerayangi perih. “membiar dia pergi ternyata gak semudah itu.”
Dengan mata yang berkaca-kaca Ken mendongak hanya untuk menemukan teman temannya, terutama Lilian mematung. Tangan Ken lalu menunjuk ke arah dadanya, “di sini, dia masih gak terima Lia. Diri gue sendiri masih belum bisa ikhlas sama kepergian Diana. Satu tahun, itu bahkan gak cukup untuk membuat gue rela dan ikhlas sama kepergian dia. Gue gak tau gue harus bagaimana supaya gue bisa relain dia, Lia. Gue gak tau gue bingung.”
“Kak Ken.” Seketika muncul saat si pendiam Deyyan bersuara diantara perdebatan Ken dan Lilian. Memanggil nama Ken seraya berjalan mendekat ke arah Ken. Dan begitu ia sampai di sana, Deyyan lantas merogoh saku celananya lalu mengeluarkan selembar saputangan berwarna merah jambu dengan logo Tom And jerry di bagian sisinya.
“Aku gak tau apa ini bisa membantu atau enggak. Tapi kakak sendiri belum pernah mencobanya kan selama satu tahun ini?” Deyyan lalu mengikatkan saputangan itu pada lengan Kanan Ken. Dan lagi lagi Ken dibuat mematung di tempat. “Ini saputangannya kak Dania. Tolong balikin ya, kak.”
—
Selama satu tahun lamanya, Ken tidak pernah terpikir untuk kembali ke tempat ini. Tempat yang dulunya sering ia kunjungi bersama Diana sewaktu gadis itu masih hidup. Tempat di mana lampu-lampu jalan dan trotoar yang dingin memberi mereka ruang lebih banyak untuk bercerita. Duduk berjam jam di pinggir trotoar yang dingin sembari mendengarkan cerita Diana tentang kesehariannya.
“Aku lebih suka makan di warung-warung pinggir jalan atau beli jajan di pedagang kaki lima dibandingkan makan di restoran mewah.” kata Diana waktu itu, sembari menjejal mulutnya pentol goreng. Saat itu Ken hanya terkekeh, lantas kemudian bertanya pada Diana sembari membersihkan saos sisi bibir gadis itu.
“Kenapa? kamu alergi sama barang barang mahal.” “Karena tempat-tempat itu adalah salah satu jalan menuju kemiskinan.” Ken jelas tergelak. Bukan hanya karena apa gadis itu katakan tapi juga karena ekspresi saat gadis itu menatapnya, lucu.
Akhirnya, ken menghela napas panjang. “Aku kangen….” “Aku juga kangen kamu.” Ken jelas terkejut. Sosok Diana tiba tiba saja muncul dan berdiri tepat di depannya. “Diana.” Gadis itu lantas tersenyum. Meski dengan yang wajah pucat dan bibir yang mulai membiru, Ken tetap dapat mengatakan bahwa senyum Diana sangat cantik. Tangannya lalu terulur, menangkup wajah Ken yang tak berpaling bahkan berkedip sekali pun selama menatap wajah Diana. Dan yang mampu Ken rasakan hanya dingin, saat jemari putih milik Diana menyentuh pipinya.
Tanpa menunggu lama Ken lalu menarik tubuh Diana untuk ia peluk. Sebuah pelukan setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Dan betapa hancur perasaan Ken saat itu karena ia tak menemukan adanya detak jantung Diana dalam dekapan itu. Dan untuk pertama kalinya Ken akhirnya mampu untuk menangis. Pada Diana yang sudah tak bernyawa Ken meluapkan semua kesedihannya.
Selama ini Ken merasa sangat kehilangan Diana tapi sekuat apa pun rasa sakit itu menerpanya tak pernah sekalipun ia menangis. Semua baru meluap saat Diana berada di sini. Datang padanya lalu kembali membiarkan Ken memeluk tubuh itu lagi setelah sekian lamanya.
“Aku kangen kamu, Diana. Aku mohon jangan tinggalin aku, aku mohon.” Dalam pelukkan itu Diana tersenyum sembari sengusap rambut Ken dengan lembut. “Aku juga kangen kamu ken.” “Diana kamu gak akan ke mana mana kan?”
“Ken,” Diana lalu melepas pelukkan mereka dan kembali menangkup pipi Ken, Menatap kekasihnya itu tatapan yang lembut. “Kamu yang paling tau ke mana aku harus pergi sekarang.” kata Diana dengan tatapan dan tutur yang kata lembut. Dan seperti yang sudah sudah Ken hanya akan dibuat mematung di tempat. Fakta yang justru menamparnya berkali kali lipat. “Ken, biarkan aku pulang. Aku capek di sini. Tolong ikhlasin aku pergi Ken.” Dan untuk kedua kalinya Ken menangis. Rasa sesak kembali muncul menguasainya jauh lebih kuat dari sebelumnya. Saat itu sebagian dalam diri Ken menolak mentah menatah permintaan Dania untuk mengiklaskan kepergiannya dan membiar jiwanya kembali tertahan di sini sedikit lebih lama.
Namun tanpa diduga Lilian bersama teman temannya yang lain muncul. Mendekat ke arah Ken yang secara spontan bangkit dari duduknya dan menatap ke arah teman temannya dengan wajah yang penuh ketakutan. “Ken,” Lilian mendekat seraya mengulurkan tangannya. “Cukup Ken, jangan tahan Diana lagi.” Ken lantas terdiam, Ditatapnya wajah Diana yang air wajahnya tampak sendu.
“Ken antar aku pulang ya, aku udah gak bisa tinggal disini lagi. Aku takut, aku udah gak punya siapa siapa lagi, Ken. Jadi tolong bawa aku juga Ken, bawa aku pergi ketempat itu. Tempat di mana jiwa jiwa yang hadir tanpa dendam itu beristirahat. Aku juga mau pergi ketempat itu sama kamu, Ken.” Saat itu tangan Diana terulur untuk menggengam tangan Ken. Dan melalui genggaman itu Ken sepenuhnya diingatkan pada tanggung jawab yang harusnya ia tuntaskan. Mengantar kepergian Diana juga adalah sebuah tanggung jawab yang harus ia lakukan.
Selain itu, Ken juga lupa soal ke mana ia akan mengantar jiwa kekasihnya itu. Tempat peristirahatan terakhir bagi jiwa-jiwa yang bersih akan dendam dan amarah terhadap hal di masa lalu. Tempat yang tenang bagi jiwa-jiwa yang lelah, tempat peristirahatan yang hanya akan membawa kedamaian dan kebahagian pada jiwa-jiwa yang lara. Tempat sebaik itulah yang akan ditempati oleh Diana di alam baka sana, lalu bagaimana mungkin ia menahan jiwa yang kelelahan ini untuk bertahan di dunia yang melelahkan.
Jadi dengan segala kesadaran yang Ken miliki, ia lantas ikut menggenggam tangan Dania. Lalu dengan senyum tipis yang menandakan hatinya kini tengah mencoba untuk ikhlas, Ken membawa Diana pergi menuju tempat terang yang selama ini ditunggu tunggu oleh Diana.
End
Cerpen Karangan: Bubblerain Blog / Facebook: Bubblerain