Marsya masih menyimpan rasa cinta yang teramat mendalam pada mendiang Rendy, kekasih satu-satunya yang pertama dan terakhir dalam hidupnya.
Tak terasa lima tahun sudah setelah mendiang Rendy mengalami kecelakaan pesawat latih saat ujian akhir kelulusan calon pilot, Marsya merasa berat sekali dan tidak bisa menerima kepergian mendiang Rendy selamanya.
Sungguh malang sekali nasib Marsya mengalami depresi berat selama lima tahun bahkan setiap hari dia sering berhalusinasi menyebut-nyebut nama Rendy.
Marsya suka menyendiri dan melamun di kamarnya. Marsya hanya makan malam saja dengan tiga sampai empat suapan dari Bu Laura hingga berat badannya turun drastis.
Bagaimana tidak, Marsya yang sempat mengalami putus cinta 10 kali akhirnya menemukan sosok lelaki idamannya. Sosok Rendy yang berbadan atletis, gagah, berkulit putih, tinggi dan berambut ikal membuat hati Marsya menjadi berbunga-bunga. Pertama kali Marsya berjumpa.
Akibat dari depresi berat yang dia alami, dia terpaksa tidak melanjutkan studi kuliahnya. Marsya yang menginjak semester 8 sebentar lagi akan lulus dari Jurusan Kedokteran, kandas dikarenakan kondisi Marsya. Marsya anak satu-satunya harapan Pak Bobby dan Bu Laura.
Wajar saja jika Pak Bobby dan Bu Laura merasa terpukul atas kondisi Marsya. Pak Bobby yang bekerja sebagai arsitek, sedangkan Bu Laura telah resign dari tempat kerjanya sebagai akuntan memilih fokus merawat Marsya.
“Marsya, Mama bawakan makan siang kesukaanmu nih, ada ayam goreng, sayur sop, dan kerupuk ikan. Ayo dimakan masakan buatan Mama, kamu pasti suka deh”, kata Bu Laura dengan nada lembut menyuapi Marsya. “Rendy, Rendy, Rendy, ini aku Marsya, kekasihmu”, teriak Marsya melambaikan tangannya. “Ya Allah nak, Rendy sudah meninggal, dia sudah tenang di alamnya, sudahlah kamu nggak perlu menangisi kepergiannya, ini sudah suratan takdir, ayo nak dimakan”, Bu Laura berkata lirih sambal menahan air mata dan berusaha menyuapi Marsya. “Aku bukan Marsya, aku hanya Rendy, Rendy, Rendy, aaaaaaaah”, teriak Marsya membanting piring dan gelas hingga pecah. “Astaghfirullah Marsya, ingat Allah nak, ingat, ingat nak, ingat!”, ujar Bu Laura sontak kaget dan berdiri memegang tangan Marsya sembari mengelus punggung Marsya.
—
“Kita sebagai orangtua merasa berdosa Ma, hik hik hik, parasnya cantik berambut panjang kulitnya bersih menjadi sirna karena kondisi yang dia alami, kita coba rawat Marsya dengan sabar aja, kita rawat dia secara mandiri, Papa sebenarnya malu sama tetangga Ma kalo minta bantuan tetangga”, ujar Pak Bobby sambil menahan tangisnya.
“Iya Pa, Mama menjadi sedih lihat kondisi Marsya setahun ini, dia hanya makan sehari sekali kalo makan malam saja, mana badannya tampak kurus sekali, setiap makan malam mama suapin dia hanya tiga sampai empat suap makanan saja, setelah itu setiap kali mau makan siang, dia selalu teriak-teriak panggil Rendy, kadang sampai banting bantal dan guling, Mama juga nggak tega kalo kita berobat ke RSJ, kita nggak bisa pisah dari Marsya”, ujar Bu Laura yang tampak pasrah sembari menahan air mata.
“Kita nggak mau lepas dari Marsya Ma, Eh, ngomong-ngomong Marsya udah makan belum ya Ma?”, tanya Pak Bobby. “Belum makan malam Pa, dari Maghrib sampai selesai waktu Isya dia belum makan malam, saat waktunya makan malam tadi, Mama nggak berani ke kamarnya, Mama masih sisain makan malam buat Marsya”, ujar Bu Laura berbicara dengan khawatir.
Tiba-tiba saat Pak Bobby dan Bu Laura sedang berbincang di ruang tamu, Marsya keluar dari kamar menuju ruang makan dengan baju piyama dalam rambut yang tampak acak-acakan dan wajahnya tampak pucat.
“Ma, itu Marsya baru keluar dari kamarnya, dia lagi mau makan tuh”, ujar Pak Bobby sambil mengusap air matanya. “Alhamdulillah Pa, syukurlah kalo gitu, Mama akhirnya merasa lega Pa, dari siang sampai sore Papa pulang dari kantor Mama khawatir banget”, ujar Bu Laura sambil mengusap air matanya. “Ma, ayo kita dekati dia, coba biar Papa yang nyuapin dia!”, ajak Pak Bobby kepada Bu Laura. “Iya Pa, ayo kita temani dia”, ujar Bu Laura mengiyakan ajakan Pak Bobby.
Marsya nampak terdiam saja duduk dengan tatapan yang kosong mengamati makanan yang tersaji di ruang makan. Pak Bobby mengambilkan hidangan makan malam di piring dan tak lupa menuangkan air putih di gelas. Pak Bobby menyuapi makan Marsya.
“Marsya sayang, anak cantik ayo dimakan masakan Mama, ayo makan yang banyak nak, ayo buka mulut!”, ajak Pak Bobby kepada Marsya dengan nada lembut. “Ayo nak dimakan!”, bujuk Bu Laura dengan nada lembut.
Marsya akhirnya menikmati makan malam yang disuapi Pak Bobby. Dia tampak menunduk lesu tanpa memandang Pak Bobby dan Bu Laura. Dia hanya makan tiga sampai empat suap.
Pak Bobby dan Bu Laura tersenyum haru ketika melihat Marsya menikmati makan malam walau hanya tiga sampai empat suap. Seusai makan dan minum, tiba-tiba saja Marsya mengambil pisau di atas meja makan Pak Bobby dan Bu Laura sontak kaget.
“Astaghfirullah nak, jangan lakukan ini nak, ini berbahaya!”, bentak Pak Bobby memegang tangan Marsya. “Hentikan Marsya!”, bentak Bu Laura sembari meneteskan air mata. “Rendy, Rendy, Rendy, Rendy”, teriak Marsya seraya sambil menangis. “Tolong hentikan, tolong nak hentikan, tolong nak dengarkan Papa, tolong jangan tinggalkan papamu dan mamamu”, bujuk Pak Bobby mencoba mengagalkan upaya Marsya bunuh diri seraya menangis.
Malam menunjukkan jam 21.00, sejam lamanya Pak Bobby dan Bu Laura berusaha keras menggagalkan upaya percobaan bunuh diri yang dilakukan Marsya.
Marsya tampak histeris dengan menyebut nama Rendy. Pak Bobby berupaya keras merebut pisau dari genggaman tangan Marsya yang kuat sembari Bu Laura mencoba membujuk Marsya.
Tak lama kemudian, Marsya mengurungkan niatnya untuk bunuh diri dengan kondisi terdiam dalam banjir air mata. “Pa, dia mau taruh pisau di meja tuh, Papa jangan pegang tangannya, biarkan dia taruh pisau di meja!”, perintah Bu Laura. “Iya Ma”, Pak Bobby mengiyakan.
Setelah Marsya menaruh pisau di meja makan, Pak Bobby mencoba menenangkan Marsya, “Nak, tenangkan hatimu, jangan kau lakukan perbuatan berbahaya ini, nak papamu dan mamamu ingin kau menjadi Marsya yang seperti dulu yang berparas putih bersih, berambut panjang, kaulah satu-satunya harapan papa dan mamamu Nak”.
Keesokan paginya, petugas RSJ datang ke rumah untuk menjemput Marsya ke RSJ. Saat dievakuasi oleh petugas, Marsya berteriak sejadi-jadinya memberontak untuk melepaskan dari borgol petugas. Tetangga sekitar berbondong-bondong menuju rumah Pak Bobby penasaran dengan apa yang terjadi dengan Marsya.
Tangisan haru Pak Bobby dan Bu Laura saat melepas putri kesayangan satu-satunya dibawa ke RSJ dengan berat hati. Tetangga sekitar mendatangi Pak Bobby dan Bu Laura untuk menenangkan diri.
“Pak Bobby Bu Laura, kalau ada masalah apa-apa yang ada pada keluarga, seharusnya bicara saja kepada saya, tetangga sekitar dengan senang hati membantu Bapak dan Ibu, terutama menyangkut kondisi yang dialami Marsya saat ini, apalagi banyak omongan tetangga yang dengar suara Marsya setriap hari selalu teriak-teriak memanggil Rendy”, ucap Pak Doni ketua RT setempat.
“Saya dan istri saya merasa malu dengan kondisi anak saya Pak, takut stigma negatif yang menimpa anak saya, saya khawatir kalua anak saya, Marsya dikucilkan oleh tetangga sekitar”, ujar Pak Bobby.
“Saya juga merasa malu Pak dengan kondisi anak saya, apalagi kalau saya bertemu dengan ibu-ibu tetangga sekitar, saya memalingkan wajah saya menunduk malu, makanya selama lima tahun ini saya membatasi pergaulan ibu-ibu tetangga sekitar Pak, demi menjaga perasaan saya dan anak saya”, ujar Bu Laura.
“Semoga anak Bapak dan Ibu diberi kesehatan oleh Allah, semoga Marsya baik-baik saja selama menjalani perawatan di RSJ dan bisa kumpul kembali kepada Bapak dan Ibu”, Pak Doni menberi semangat kepada Pak Bobby dan Bu Laura.
“Terimakasih banyak Pak Doni atas dukungannya yang diberikan”, ujar Pak Bobby tersenyum lega”.
“Bapak-bapak Ibu-ibu semua ayo kita semua bubar kembali ke rumah masing kita berdoa semoga Marsya diberi kesembuhan selama menjalani perawatan dan bisa berkumpul kembali”, ajak Pak Doni. “Aamiin”, ujar tetangga serentak.
Malam itu Pak Bobby dan Bu Laura sedang menunggu kepulangan Marsya dari RSJ. Tiga minggu lamanya Pak Bobby dan Bu Laura menyimpan rasa rindu kepada Marsya.
Dengan harap-harap cemas Bu Laura duduk di kursi ruang tamu jantung berdegup kencang mencoba untuk menenangkan diri. Di ruang tamu tampak Pak Bobby sedang mondar-mandir menunggu kepulangan Marsya.
Pak Bobby telah memberitahu Pak Doni dan tetangga sekitar untuk menyambut kepulangan Marsya.
“Pa, itu kok ada mobil ambulan RSJ di depan pagar, malam ini kan Marsya pulang?”, tanya Bu Laura mengintip depan rumah dibalik gorden. “Papa jadi kangen banget sama Marsya nih, kita berdua kalo gak ada Marsya jadi sepi nih”, ujar Pak Bobby.
“Assalamualaikum, Papa, Mama, ini Marsya”, ujar Marsya memberi salam. “Pa, itu, Marsya”, ujar Bu Laura dengan raut senang dan bahagia. “Iya Ma, benar itu Marsya, Ma tolong bukain pintu dan pagar!”, perintah Pak Bobby. “Waalaikumsalam, Marsya, Ya Allah Marsya, Papa Mama kangen banget sama kamu, sebentar Mama bukain pagar”, ujar Bu Laura meneteskan air mata sembari memeluk Marsya. “Iya Ma, Marsya juga kangen banget sama Papa sama Mama”.
“Marsya”, Pak Bobby memanggil Marsya. “Papa”, sapa Marsya.
“Ya Allah Papa kangen banget sama kamu nak, syukurlah kamu sudah tampak segar tampak cantik seperti yang semula, apalagi sekarang kamu berjilbab nak, tambah cantik lagi”, ujar Pak Bobby memeluk Marsya sembari meneteskan air mata. “Alhamdulillah Pa, Ma, berkat kasih sayang yang tulus dari Papa sama Mama akhirnya Marsya bisa menjadi seperti semula, makasih banget ya Pa, Ma, sudah jaga Marsya, selama perawatan di RSJ Marsya dirawat oleh perawat dan dokter kesehatan juga ramah banget”.
Pak Doni menghampiri Marsya beserta tetangga sekitar memberi selamat kepada Marsya dan tak lupa mereka memberikan bingkisan makanan kepada Marsya. Marsya menjadi terharu atas kepedulian Pak Doni dan tetangga sekitar.
“Selamat ya Marsya kamu telah kembali ke rumah”, ujar Pak Doni. “Selamat ya Marsya, tetap semangat ya menjalani kehidupan yang baru”, ujar tetangga sekitar sembari memberi bingkisan makanan.
Cerpen Karangan: Rico Andreano Fahreza Blog: epilogrico.blogspot.com Rico Andreano Fahreza atau yang akrab disapa Kang Rico lahir di Bontang, Kalimantan Timur, 15 September 1994. Penulis merupakan lulusan Program S1 Teknik Industri Fak Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2020.
Selama kuliah, penulis aktif sebagai Staf Departemen Jaringan Internal, Bidang Jaringan Internal, Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Nurul Huda Universitas Sebelas Maret tahun 2016 – 2017.
Saat ini penulis berwirausaha membuka warung makan. Disamping itu penulis juga telah menghasilkan 11 cerpen dan satu antologi puisi solo. Saat ini masih aktif dalam proyek menulis antologi puisi. IG: @ricoandreano, FB: Rico Andreano