“Vanya, minggu besok ada acara di kampus ga?” tanya Varen sambil menyantap bakso di hadapannya. “Ngga ada, aku free minggu besok, emang kenapa?” “Kita liburan yuk, ke pantai.. suntuk nih sama tugas-tugas kuliah”. “Boleh juga, kebetulan udah lama banget ngga ke pantai, kita ajak juga Raka dan Litha ya, biar rame?” “Jangan… jangan…” Sahut Varen cepat. Aku sedikit kaget sehingga menghentikan suapan bakso yang tinggal satu suapan lagi. “Lho kenapa?” “ehm …maksudku mereka udah ada acara… kemarin kutanyain” jawab Varent agak gugup. “ooh gitu, emang acara apa, tumben mereka ngga ngasih tahu aku?” Aku menyingkirkan mangkok yang sudah kosong ke tengah meja. “Katanya mereka mau pulang kampung,… udah yuk, udah selesai makannya kan?” Varen berdiri menuju ke kasir. Aku sebenarnya masih sedikit penasaran kenapa Raka dan Litha pulang kampung ngga bilang-bilang. Tapi sudahlah mungkin mereka mendadak. Segera aku bangkit menyusul Varen ke meja kasir.
“Varen, inget ya… aku bayar sendiri” ucapku sambil membuka tas nya. Kulihat Varen sedang membuka dompetnya, menoleh ke arahku, sambil menggeleng. “Vanya, sesekali aku yang bayar kenapa sih, kalau cuma bakso aku masih sanggup kok” Varen tetap mengulurkan uangnya ke Mbak kasir. “Saya bayar sendiri mbak, tegasku ke kasir.” “Baik Mbak” Jawab Kasir tersebut sambil mengambil uang yang kupegang. Kulihat Varen menarik napas dan mengalah, tidak mau berdebat di depan kasir. Prinsipku dari dulu tidak berubah, tidak mau dibayarkan oleh cowok kecuali dia ada hubungan khusus.
Minggu yang cerah, aku dan Varen sudah di dalam Bus menuju Pantai Teluk Penyu Cilacap yang terletak tidak jauh dari kampus kami di Purwokerto. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam kami sampai di Cilacap, yang dilanjutkan dengan menyambung naik angkutan umum ke Pantai Teluk Penyu.
“Akhirnya… sampai juga kita” Aku langsung berlari menuju ke tepi laut. “Vanya, tunggu.. emang kamu mau mandi di laut?” Teriak Varen sambil menyusulku. “Jangan khawatir, aku ngga mau mandi kok, hanya sedikit bermain di pinggir laut”
Aku memang suka memandang laut lepas. Dengan memandang laut, aku merasa lebih rileks, pikiranku fokus pada tengah laut yang tanpa batas. Laut dapat menetralisir pikiranku saat sedang ada masalah. Tetapi saat ini aku sedang tidak ada masalah yang menggangu pikiranku… hm… benarkah demikian?
“Vanya… Vanya… kok bengong?” Aku kaget ketika Varen mencolek pundakku “Eh, engga kok.. aku lagi berpikir tentang laut” aku menoleh ke Varen sesaat dan kembali memandang laut lepas. “Emang laut itu bagimu seperti apa?” Varen mengikuti pandanganku ke arah laut “Varen, kamu tahu ngga… bahwa pantai ini adalah batas akhir bagi daratan namun pantai juga menjadi titik awal bagi lautan” “maksud kamu, gimana, aku ga ngerti?” Tanya Varen sambil memandangku. “Eh, sudahlah… ngga usah dibahas lagi, Yuk kita nyewa perahu ke Pulau Nusakambangan” Aku tersenyum dan perlahan berjalan ke arah tukang sewa perahu tidak jauh dari tempatku berdiri. “Ayook, Varen, ikut ga, ke Nusakambangan?” Kulihat Varen masih berdiri di tempatnya sambil memandangku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya, mendengar pernyataanku tadi. Perlahan Varen mendekati kami yang sudah bersiap naik ke perahu.
Selama perjalanan naik perahu, kami tidak bicara banyak. Aku menikmati semilir angin dan memandang ombak kecil di sekitar perahu. Sebenarnya aku terdiam bukan karena terlena menikmati indahnya pantai ini, namun aku juga sibuk menata debaran jantungku, yang entah kenapa saling berpacu tatkala hanya berdua dengan Varen di perahu ini. Meskipun ada orang lain, dua orang, di depan dan belakang kami, namun mereka sibuk mengendalikan perahu ini.
Setelah lima belas menit naik perahu, kami sampai di Pulau Nusakambangan. Pulau ini tidak hanya sebagai Pulau yang menyeramkan karena sebagai tempat penjara penjahat kelas kakap, namun di pulau ini juga ada pemandangan pantai yang indah dengan pasir putihnya. Ada Benteng peninggalan jaman Penjajah Belanda yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1837, namanya Benteng Karang Bolong. Benteng ini masih asri, banyak tumbuhan liar, dan binatang seperti kucing hutan dan monyet yang bergelantungan di pohon-pohon sepanjang perjalanan ke Benteng Karang Bolong. Setelah berjalan berkeliling benteng, menjelang tengah hari kami kembali naik perahu menuju pantai teluk penyu.
“Vanya, kita makan dulu yuk… udah siang, laper nih!” ajak Varen, setelah keluar dari perahu. “Ayook… itu ada warung seafood” kami menuju warung yang tidak jauh dari tepi pantai. Aku memesan ikan bakar dan es teh, yang diikuti Varen. Sambil menunggu pesanan kami, aku memeriksa foto-foto diHPku yang tadi sempat kuambil saat di Benteng Karang bolong. “Vanya… dari tadi kamu foto-foto, tapi belum foto diri kamu sendiri, aku foto kamu pakai HPku ya?” tanya Varen “Ngga usah, aku ga terlalu suka difoto” “Sekali ini saja ya.. kita selfi” Ucap Varen dengan mata memandang lembut ke arahku. Dan aku tidak sanggup menatap matanya. “OK, nanti habis makan ya” jawabku sambil mengalihkan mataku ke pesanan kami yang sudah datang.
Setelah menyantap makan siang, kami kembali ke bibir pantai dan duduk memandang ke arah laut lepas. “Vanya… Aku mau bicara boleh ngga?” Aku berpaling ke arah Varen di sampingku. “Bicara saja… kamu aneh, pake tanya segala” jawabku sambil sedikit mengernyitkan keningku. “Tapi kamu janji, jangan marah ya?” “Tergantung, apa yang kamu bicarakan.” “Ayolah Vanya,.. aku serius nih, janji dulu jangan marah.” “OK, kamu temenku, masa akan marah sih… ya udah bicara, jangan buat penasaran”.
Varen mendekat sehingga kami berhadapan dengan jarak yang lumayan dekat. Jantungku mulai kacau lagi, berdetak lebih cepat dari biasanya. “Vanya, sebenarnya aku mengajak kamu ke pantai ini memang sengaja tidak mengajak Raka dan Litha, karena aku ingin mengatakan sesuatu.” Kulihat Varen sedikit menghela napas seolah sedang mengumpulkan kekuatan. “Vanya… aku ingin menjadi seseorang yang istimewa untukmu, yang lebih dari sekedar teman, yang bisa mentraktirmu setiap saat, ..aku suka sama kamu, maukah kamu jadi pacarku?” Pernyataan Varen yang panjang tanpa jeda, membuatku bengong dan tidak percaya.
Sesaat aku terdiam. Aku masih belum percaya, seorang Varen, cowok tampan, pintar, aktivis dan supel, banyak disukai cewek-cewek, menyatakan cinta sama aku? Aku yang seorang cewek biasa. Tapi aku juga tidak dapat mengingkari kata hatiku, jauh sebelum kami bersahabat, aku sudah menyukai Varen dalam diam. Aku tidak berani berharap banyak, mengingat sifat varen yang supel dan sering membuat cewek-cewek salah paham.
“Vanya… kamu kok diam?” Tanya Varen “Aku masih ngga percaya, bagaimana dengan Sonia atau Diandra, kupikir kamu suka dengan salah satunya?” “Mereka semua kuanggap sebagai teman, tidak lebih” “Kamu berbeda dengan cewek-cewek yang kukenal, kamu punya prinsip, cewek kuat dan mandiri” Ucapan Varen membuatku sedikit tersipu. “Janji, kamu akan setia ya” tanyaku “Janji…” ucap Varen mantap sambil menggenggam tanganku erat.
“Vanya sekarang sudah jadi pacarku… Yes.. Yes” Varen berdiri sambil berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Aku tersenyum melihat tingkah Varen.
Kenangan di pantai setahun lalu masih terlintas jelas di pikiranku. Saat itu aku begitu gembira mengetahui Varen juga memiliki perasaan yang sama denganku. Beberapa bulan kami menjalani hubungan ini, hingga suatu hari aku melihat Varen bersama seorang gadis yang sama beberapa kali di kampus dan mereka kelihatan sangat dekat. Ketika aku menanyakan hal tersebut, Varen bilang itu adalah sepupunya dari luar kota. Namun anehnya Varen tidak memperkenalkanku dengan gadis itu. Saya percaya dengan kata-kata Varen, terlebih sikap Varen terhadapku juga tidak berubah.
Tidak terasa sebentar lagi akan lulus sehingga membuat kami akan berpisah sementara, karena akan kembali ke rumah masing-masing. Aku kembali ke Yogyakarta dan Varen kembali ke Jakarta. Setelah wisuda aku dan Varen merayakan kelulusan di sebuah café di sana kami juga tetap berjanji akan menjaga hubungan ini meski terpisah jarak. Dengan alat komunikasi ini saya yakin kami tetap akan terhubung.
Beberapa bulan komunikasi lancar, hampir setiap hari chatting atau video call, namun menginjak bulan kelima komunikasi mulai jarang. Varen memang sudah bekerja, demikian juga aku, sudah bekerja, sehingga mungkin kami sama-sama sibuk. Saya masih berpikir positif. Namun makin kurasa Varen menjauh, jarang mengangkat telepon atau membalas chatku.
Suatu sore aku dan keluargaku liburan ke Pantai Parangtritis. Saat aku sedang menikmati sunset kulihat ada sosok yang mirip dengan Varen sedang duduk sambil menggenggam erat tangan gadis disampingnya. Aku masih belum percaya, perlahan kudekati dua orang yang sedang bercanda dan tertawa.
“Varen…!” Kedua orang tersebut kaget dan sontak memandangku yang berdiri di depannya. Varen langsung melepaskan tangan gadis disampingnya. “Vanya… kkkamu… kamu disini?” Tanya Varen sambil terbata-bata. “Seharusnya saya yang tanya, kamu bilang sedang sibuk banyak kerjaan di Jakarta, ternyata sedang sibuk liburan” jawabku dengan nada tinggi. “Maaf, Vanya, aku bisa jelaskan” Varen berdiri berusaha mendekatiku “Cukup Varen!!.. kesempatan yang sudah kuberikan sudah cukup, jadi lebih baik kita akhiri hubungan kita, selamat tinggal” Aku berlari tanpa menoleh ke belakang lagi sambil menahan airmata yang sudah menggenang.
Aku langsung menuju mobilku dan menangis di sana. Kisahku cintaku berawal dan berakhir di sini, di pantai. Pantai yang menjadi awal kehidupan laut namun menjadi akhir dari kehidupan daratan.
Cerpen Karangan: Felora Blog: jendeladuniaku2015.wordpress.com