Sekali lagi kubenarkan posisi tas ranselku, yang sedikit lagi sudah hampir terjatuh kalau aku tidak segera membetulkannya. Kulihat sekitar, sudah ramai dengan orang-orang yang antri ingin menaiki kapal dari pelabuhan bakauheni. Disebalahku seorang bapak tua sudah terduduk dengan posisi santai karena merasa bangga mendapatkan tempat duduk. sedangkan disebelahnya lagi ada serang wanita dengan jaket tebal dan bermasker sedang terbatuk-batuk, entah karena ia memang sedang sakit, atau ulah asap rokok yang ditimbulakan dari bapak yang sedang merokok dibelakangnya. Kini, pandangaku kualihkan tepat kearah laut yang sedang mengalunkan ombaknya.
Entah kenapa tiba-tiba saja perasaanku terasa ikut hanyut bersamaan dengan ombak-ombak itu. membuatku mengingat sepotng kisah masalaluku, yang seharusnya bisa kusimpan dengan rapi ditempat teraman agar aku sulit untuk menjangkaunya lagi. Tapi kenapa tiba-tiba semua bayangan itu dengan mudahnya terjabarkan dalam ingatanku. Apakah aku, rindu?
Yang benar saja! Untuk apa aku merindukan kisah yang hanya membuatku merasa seperti orang bodoh. Merasa tertipu atas perasaan selama bertahun-tahun. Entahlah, sudah lama aku mencoba menyimpan rasa sakit ini sendiri. Setidaknya, agar tidak ada orang lain yang mengasihaniku. Atau bahkan menertawakannya setelah aku panjang lebar bercerita tentang semua masalahku. Jadi lebih baik aku simpan ini sendiri. lagipula, jika ada yang perlu disalahkan mungkin ini kesalahanku. Salahku karena terlalu lama pergi. Salahku karena tidak bisa setiap saat memberi waktu untuknya, dan salahku karena tak pernah mengenal ia dengan baik. tapi aku sadar, cepat atau lambat akan ada yang berubah dalam hal apapun, terutama hubungan.
“permisi nak, tau letak toilet dimana?” tanya serang ibu yang sudah cukup renta, sambil menuntun anaknya atau mungkin cucunya. Kuedarkan pandanganku menuju letak yang tadi ibu itu tanyakan. Tanganku kurahkan tepak kesamping kiriku. “disana, bu.” Jawabku dengan meyunggingkan senyum. Ibu tua itu lalu pergi tepat setelah mengucapkan terimakasih.
9 Tahun lalu Dengan malas, aku menuju ruang kelas yang baru saja hari ini dirombak, Karena ini adalah awal kelas 8. Kuedarkan pandangaku untuk mencari bangku yang masih ksosong. Naas yang tersisa hanya dibagian tengah. Tempat yang selalu menjadi favoritku untuk tidur sudah direbut oleh orang-orang yang belum kukenal. Kulangkahkan kakiku dengan sangat terpaksa. Aku memilih bangku nomor 3 setidaknya itu sudah lebih baik daripada harus duduk persis didepan papan tulis.
Hampir beberapa siswa di kelas ini aku mengenalnya karena satu kelas denganku di kelas 7, dan sisanya sangat asing. Dan kalau boleh jujur, aku adalah tipe orang yang sulit untuk berkenalan dengan orang lain. Bukan karena sombong, hanya saja aku malas berbasa-basi.
Tepat 5 menit sebelum kelas dimulai, seorang wanita duduk tepat didepanku. Ia menaruh ransel birunya den sekilas kami bertatapan. Manis. Wanita itu tersenyum, dan aku? Karena belum siap atas respon yang dia berikan aku hanya menggaruk-garuk kepalaku, malu. Wanita itu kembali menghadap depan dan berbincang-bincang dengan teman sebangkunya. Dengan sengaja aku menguping untuk mencari tahu namanya, padahal dengan tidak melakukan itupun nantinya aku akan tahu namanya. Dasar bodoh.
Nita. Dan sepertinya dari situ aku mulai menyukai setiap hal yang dilakukan olehnya. Sebulan setelah kejadian itu, aku memberanikan diri untuk mengiriminya pesan lewat SMS. Hanya sekedar pesan basa-basi memang, seperti menanyakan “apakah besok ada pr?” yang kemudian berlanjut pesan-pesan lainnya. Begitu terus selama hampir 1 tahun. Sampai akhirnya 1 minggu setelah ujian akhir sekolah, aku memberanikan diri untuk meyatakan perasaanku. Ya, aku tau, mungkin ini hanya perasaan suka anak ingusan di jaman sekolah, yang jelas, aku suka nita. Disini tidak perlu kuceritakan dengan sangat detail bagaimana aku menembaknya, yang perlu kalian tau adalah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Sebenarnya aku memilih waktu yang tidak tepat, karena setelah itu adalah liburan semester dna tentu saja aku dan nita hanya bisa pacaran lewat SMS. Tapi sesekali kami juga janjian keluar hanya untuk sekedar ke toko buku, atau hal semacamnya.
4 tahun sudah aku dan Nita pacaran. Mungkin dari kalian mungkin ada yang iri dengan pasangan lain yang bisa memiliki hubungan dalam waktu yang lama. Akupun dulu begitu. Susah memang menjalaninya, apalagi aku dan Nita harus LDR, karena keputusanku untuk melanjutkan sekolah di pendidikan agama yang lebih mendalam (mondok). Dari situlah masalah demi masalah terjadi. Sejujurnya, tidak ada yang aneh selama aku di pondok, dan kupikir Nita akan mengerti dengan alasanku ini terutama tentang aku yang jarang memberinya kabar. Mungkin hanya sesekali karena peraturannya siswa tidak bleh membawa hp. Tapi setidaknya aku masih berusaha untuk sesekali mengabarinya.
Sampai akhirnya hari pelulusanku tiba, dan aku segera mungkin untuk kembali ke kota asalku. Aku rindu keluargaku, aku rindu kotaku, dan aku rindu Nita. Gadis kecilku yang selalu membuatku semangat untuk cepat melewati hari agar aku bisa bertemu dengannya. Tapi mungkin aku terlalu berharap, dan harapanku sendirilah yang akhirnya membuatku sakit.
Aku tidak sadar, atau mungkin aku enggan untuk menerima kenyataan bahwa 3 tahun adalah waktu yang lama, untuk menjalani hubungan berstatus LDR. Dan dari waktu itulah banyak sekali perubahan yang terjadi. Sama halnya dengan Nita. Akhir-akhir ini dia selalu menyalahkanku atas hal-hal kecil. Apapun selalu menjadi masalah baginya. Awalnya kupikir, ini adalah proses adaptasi selama 3 tahun kami berpisah. Tapi ternyata aku salah. Itu hanyalah alasan yang ia buat agar aku memutuskan hubungan ini.
Ya, mungkin dia bosan. Tidak, lebih tepatnya ia hanya butuh seseorang yang bisa ada disampingnya saat ia sedang butuh. Dan selama 3 tahun itu pula sosok aku di hidupnya sudah terganti. lalu yang ingin kutanyakan, untuk apa ia bersusah payah mempertahankan hubungan aku dan dia? Ingin sekali aku menanyakan hal itu padanya, hanya saja hatiku sudah terlalu sakit setiap kali melihat wajahnya atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya.
—
Lamunanku tersadar ketika ibu-ibu yang tadi bertanya padaku menawariku sebungkus kripik singkong. Dan dengan sedikit ragu, aku menerimanya. Lalu ibu tua itu duduk tepat di sebelah kananku. Sedikit banyak ia bercerita tentang keluarganya. Sesekali aku hanya memberi tanggapan yang pantas. Bukan karena tidak mau mendengarkan ceritanya, hanya saja. Ah sudahlah, terlalu rumit untuk dijelaskan.
Aku tetap mendengarkan cerita-cerita ibu tua itu, sampai akhirnya ia sibuk untuk mendiamkan anaknya yang sedari tadi menangis. Mungkin anak itu lelah dan ingin tidur.
Kembali kuperhatikan sekelilingku, sudah hampir sebagian orang tertidur dengan pulas sambil memeluk barang bawaannya dengan erat. Pandangaku teralihkan kepada wanita yang tadi terbatuk-batuk. Sepertinya ia memang lagi sakit. Aku mengeluarkan botol minum yang tadi baru saja kubeli dan belum sempat kuminum. Kusorongkan tanganku untuk menyentuh pundaknya “maaf mbak” ucapku pelan, karena takut mengganggu bapak tua disebelahku. Lalu wanita itu menengok kearahku. “ada apa mas?” tanyanya sambil sesekali terbatu. Akupun menyodorkan minumanku kepadanya. Wanita itu terlihat heran dan dengan segera aku menjelaskan “saya, lihat dari tadi mbak terbatuk, mungkin kalau minum air putih sedikit bisa agak mendingan” jawabku polos dan penuh kesoktahuan tidak lupa kusunggingkan senyum ramahku kepadanya. Lalu wanita itu mengambil botol minum yang tadi kuserahkan sambil mengucapkan terimakasih, lalu kembali sibuk dengan kesibukannya tadi.
Dan aku hanya memerhatikan sekitar, kemudian merasa bosan dengan pemandangan yang diisi dengan pulasnya orang-orang yang tertidur. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari ruangan ini dan memilih duduk diluar yang langsung menghadap dengan laut. Tepat sekali. Diluar hampir tidak ada orang. Hanya beberapa dan itu adalah anak-anak muda yang sedang sibuk menunggu giliran untuk berfoto. Aku hanya tersenyum melihat tingkah anak-anak itu.
Aku memilih tempat duduk terdekat dari tempatku sekarang. Baru saja beberapa menit handphoneku bergetar menandakan ada pesan masuk.
To: didi Masih lama ya? Aku kangen. Cepet sampe ya sayang.
Itu adalah pesan dari chika, pacarku yang sekarang. Dan aku langsung membalasnya.
Ya, butuh waktu cukup lama untuk aku kembali membuka hati setelah dikhianati oleh Nita. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena memang sulit menghapus semua kenangan tentangnya. ah, sudahlah. Itu sudah sangat lama dan harusnya, aku sudah harus bisa melupakannya, kan?
“boleh, saya duduk disini?” kembali lamunanku tersadar, ketika ada seseorang yang menghampiriku. Deg. Jantungku serasa berhenti. Kenapa dia? Apa ini mimpi? “didi?” wanita itu bertanya padaku. Ya, dia adalah Nita. Wanita itu ternyata ada di kapal ini. dan ternyata aku tidak mimpi. Aku seolah bersikap biasa saja, sangat biasa. Menampilkan senyum sekedarnya. Tapi sebenarnya ada begitu banyak rasa yang bercampur dalam hatiku.
“boleh aku duduk disini?” Nita menunjuk kursi di sebelahku, dan aku hanya mengangguk atas jawaban dari pertanyaannya. Tentu saja dengan alasan apa aku harus menolak. Jujur, aku membencinya. Tapi aku rasa ada yang masih belum selesai antara aku dan dia. Masih ada begitu banyak yang ingin kutanyakan kepadanya. Tentang mengapa ia bisa setega itu mengkhianatiku.
Sudah hampir 5 menit kami duduk bersebelahan tapi tak satupun dari kami yang memulai pembicaraan. Sampai akhirnya Nita bertanya “kamu apa kabar?”. Bagiku itu hanya pertanyaan ambigu untuk menanyakan kamu nggak kenapa-napa setelah kejadian itu. aku hanya menjawab “aku baik” lalu selebihnya kami diam lagi.
“aku minta maaf di” ucapnya pelan, saking pelannya aku nyaris tak mendengar kalau saja pada saat itu suasana sedang tidak hening. Aku mengarahkan tatapanku kepadanya “minta maaf buat apa?” tanyaku tak yakin denga pertanyaanku sendiri. jujur, dengan bertanya begitu aku hanya ingin menertawakan masalaluku sendiri atas hal bodoh yang telah kulakukan. “maaf, karena aku udah nyia-nyiain kamu dan milih orang yang salah. Aku minta maaf” kali ini suaranya bergetar, aku tau sebentar lagi pasti wanita ini akan menangis. “udahlah Ni, kamu nggak perlu minta maaf, lagian sekarang aku nggak kenapa-napa kan?” aku mencoba meyakinkan agar wanita itu tak merasa bersalah, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk tak melihatnya menangis.
“kamu tau apa alesan aku selingkuh?” pertanyaan itu jelas membuatku sedikit kaget. Aku diam sejenak seblum akhirnya menjawab “itu semua salahku, aku kurang peka sama perasaan kamu waktu itu Ni, aku minta maaf karena selama 4 tahun aku sama kamu, aku nggak pernah betul-betul mengenal siapa kamu. Sampe akhirnya kamu milih orang lain, dan aku hanya tertimbun sama semua harapan aku tentang kamu” aku diam sejenak “kamu tau kenapa waktu bisa membuat orang berubah ni?” wanita itu hanya menggeleng sebagai jawaban. “karena semuanya nggak akan pernah bisa sama, kita nggak boleh terpaku pada hal yang sama, gitu juga soal rasa, kamu bebas ngikutin kata hati kamu sama kaya waktu yang milih berjalan maju. Dan kamu memilih dia itu sebagai jawaban dari takdir kita. Jadi nggak perlu ada yang disesalin lagi ya” aku menarik nafas panjang, lalu kutatap Nita yang juga sedang memerhatikanku. Nita tersenyum, senyum yang sama seperti dulu aku melihatnya tahun lalu, hanya saja senyum itu kini bukan milikkuku seutuhnya. Dan aku sudah mengikhlaskannya.
Cerpen Karangan: Sang Fajar