Malam ini, malam yang sangat kutunggu-tunggu. Untuk menjelaskan kepada dia, terkait kelanjutan kedekatan kami selama ini. Tiba-tiba ada pesan singkat masuk ke gadgetku.
“Maaf ya, malam ini kita batalkan saja pertemuannya. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Sekarang aku tunggu saja niatan baikmu. Dan aku tidak tahu, kapan lagi kita bisa bertemu. Jangan hubungi aku lagi. Bye.”
Hanya sesimpel itu, pesannya kuterima. Tanpa berpikir panjang, setelah kubaca, secepat itu pula langsung ku meneleponnya, tapi hanya terdengar nada sambung, tanpa balasan, apalagi jawaban. Hatiku mulai gelisah, pikiranku pun ikut-ikutan gundah. Pesan singkat itu bukan hanya pertanda untuk tidak jadi bertemu, lebih tepatnya hanya sebatas alasan bagi dirinya untuk tidak ingin lagi bicara denganku.
Ruangan itu yang semula sejuk, mendadak terasa berbeda. Terasa begitu panas. Aku pun menjadi gerah dan ditemani rasa pasrah. Aku memang meminta dia untuk bertemu malam ini, dan berharap tidak ada halangan yang bisa menghalangi.
Semenjak ia tahu, bahwa aku belum ada kepastian untuk datang berkunjung ke rumahnya, untuk bicara persoalan serius tentang kedekatan kami di hadapan orangtuannya. Sejak itu pula, ia tak lagi mau bicara ataupun sekedar untuk membalas chat-ku. Dan aku berusaha menjelaskan secara langsung kepadanya, di tempat biasa ku merajut rindu, kedai kopi. Rasanya semua sudah berakhir, begitu saja.
Memang malam ini tujuanku adalah dirinya dan kedai kopi, yang seharusnya menjadi titik pertemuan kami. Tapi ya sudahlah, namanya juga hidup. Tidak ada yang pasti, selain perubahan waktu dan janji.
Hampir dua jam aku menunggu, terasa tidak begitu lama, entahlah. Sejak dari awalpun aku di sini belum melakukan apa-apa, hanya duduk diam dan menyeruput kopi yang telah tersedia.
Dari tiga meja yang berada tepat di depanku, kursinya masih kosong tanpa pengunjung. Tapi di samping pojok kananku, sudah terisi. Dari tampilannya, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang merajut rasa, itu ditandai dengan tawa dan canda yang dari tadi tidak ada putus-putusnya.
Malam ini bagiku cukup melelahkan, karena aku hanya duduk ditemani sederet kursi kosong. Kutatap satu persatu kursi itu, yang kuharap sebenarnya adalah kehadiran dirinya. Tapi yang hadir hanyalah kekosongan.
Kopiku sudah hampir tandas, aku masih enggan untuk beranjak meninggalkan ruangan. Di kepalaku masih saja memikirkan dirinya, layaknya gerimis yang tiada henti-hentinya mengguyuri bumi di musim hujan.
Empat jam sudah berlalu, rasa harap dan kecewa masih terpancar dalam hatiku. Rasa tidak percaya akan tidak adanya kehadiran dirinya, waktu terus berjalan, memang tidak enak duduk sendiri tanpa ada kejelasan.
Satu persatu kursi yang semula kosong mulai terisi, semakin malam ternyata semakin banyak pengunjung. Akupun memperhatikan orang-orang yang datang, tentunya mereka sibuk berbincang, tertawa, makan, asap rokok pun ikut memenuhi ruangan. Mereka semua terlihat bahagia. Hanya aku yang duduk sendiri, ditemani kursi kosong. Yang tentunya sedang tidak baik-baik saja, seperti para pengunjung lainnya.
Sesekali kudengar pembicaraan mereka. “Beb, weekend nanti jadi kan kita ke pantai?” “Ya, jadi dong. Aku udah menyewakan tenda lho.”
Bangsat! Ingin rasanya kutancapkan tombak setiap kali melihat mulut mereka terbuka pada saat mengatakan itu. Mereka benar-benar egois, bisa-bisanya mereka mengatakan itu tepat disampingku. Apa mereka tidak menyadari, ada seorang laki-laki yang sejak dari tadi duduk hanya ditemani kursi kosong. Kemesraan mereka itu sangat-sangatlah menyayat hati.
Seperti kedai kopi pada umumnya, di pojok ruangan paling atas terdapat speaker kiri dan kanan, ukurannya tidak terlalu besar ataupun lebar, mengeluarkan alunan bunyi musik indie yang diputarkan oleh salah seorang karyawati yang sedang duduk manis menunggu di kasir, tempat pengunjung memesankan berbagai macam aneka sajian minuman.
Putaran demi putaran suara musik di kedai kopi silih berganti, ditambah suara gelas yang beradu sesekali juga tidak berhasil meredamkan kemarahanku malam ini, tapi aku bersyukur, suara kemesraan mereka sudah tidak lagi terdengar. Setidaknya membuatku tidak tambah emosional.
Kopi yang hampir tandas terus kuseruput sampai terasa ampas. Pandanganku masih tertuju pada kursi kosong yang tepat di hadapanku. Tiba-tiba, banyak pelajaran yang terekam di pikiran. “Kekosongan bisa datang kapanpun dan mendatangi siapa saja. Aku tak pernah tahu. Kursi pun tak pernah tahu, kapan ia diduduki dan kapan ia ditinggali. Ia pun tidak bisa memilih siapa yang akan mengisi kekosongan itu.” Pikirku dalam lamunan. “Tabahlah, wahai hati!” Seolah-olah kursi kosong itu menyemangati.
Lalu ia membisikkan sesuatu kepadaku lagi, “Duduk sendiri itu bukanlah kehinaan, justru itu asyik dan menyenangkan.” Dalam sekejap bisikannya berhasil menjeratku untuk terus menatapnya. Ia berhasil membuatku menjadi lelaki tabah malam ini, yang semulanya aku sudah pasrah terhadap keadaan. Dan mungkin ketabahanku malam ini, belum ada apa-apanya, dibandingkan kursi kosong yang berada di hadapanku. Kursi itu tidak pernah protes akan kekosongan, dan tidak pernah mengeluh akan beratnya beban. dia hanya diam.
Sreeeeet! Sesekali kursi itu diseret oleh pengunjung, dan terkadang ia juga di jungkir balik di atas meja, ketika pelanggan sudah pergi meninggalkan ruangan. Nasibku tidak jauh berbeda dengan kursi-kursi kosong yang ada di hadapanku. Melewati malam dengan hanya terdiam.
“Mas, maaf, tempat ini sepuluh menit lagi mau tutup,” kata seorang karyawati yang sedang duduk kasir tadi yang secara tiba-tiba saja menghampiriku. “Oh, ya, Mbak,” ucapku, “Sebentar lagi, Mbak. Aku udah mau pulang juga, kok.” Semabari pelanga-pelonggo, melihat orang-orang disekitarku yang ternyata sudah hampir sunyi. Padahal tadi serasa masih ramai.
Ternyata mereka semua sudah selesai duduk menikmati kopi, tawa dan malamnya hari. Aku sejak dari tadi, masih saja terjebak dengan lamunan, yang menghiasi pojok-pojok pikiran.
Akhirnya Mbak kasir itupun pergi. Kulihat jam di gadgetku, sudah menunjukkan 23.25 WIB. Waktu terasa pergi begitu saja, tanpa kompromi.
Sebelum berangkat meninggalkan kursi-kursi kosong itu, aku pun berpamitan. “Terimakasih kursi. Walaupun ia yang kutunggu sudah tidak lagi mau bertemu denganku, tapi setidaknya kau telah sudi menemaniku malam ini, aku tidak tahu kapan aku akan kesini lagi.” “Terimakasih atas sedikit rasa tabah yang telah kau ajarkan kepadaku.”
Akupun berdiri, melangkah dengan lambat daripada sebelumnya. Menenteng dompet dan jaket, melangkah menuju kasir.
“Mbak, ini uangnya,” ucapku,”Sisanya ambil saja.” “Tapi Mas…” Jawabnya, “Ini masih banyak lho kembaliannya.” “Enggak apa-apa, Mbak. Ambil saja, senyuman Mbak sudah cukup membuatku terobati dari rasa luka malam ini.” “Hmmm. Serius ini, Mas?” Ujarnya dengan sedikit grogi. “Serius, Mbak. Ambil saja, terimakasih ya.” Tanpa melihat senyuman Mbak itu untuk keduakalinya, akupun langsung beranjak pergi.
Dan, aku tak ingin terhutang apapun sejak malam ini, baik itu kata-kata ataupun janji, termasuk berhutang senyuman sekalipun.
“Mas…” panggil Mbak kasir itu lagi, “Terimakasih ya.” Dengan sedikit menoleh, kukatakan: “Sama-sama, Mbak.” Lalu akupun pergi meninggalkan kedai kopi.
Ternyata udara diluar sangatlah dingin. Sepanjang malam dalam perjalanan pulang, aku sangat-sangatlah mengantuk. Kepalaku serasa menciptakan harapan-harapan buruk. Motor tua yang kukendarai, untung tidak berulah. Akhirnya akupun bisa menancapkan gas, dengan sedikit tergesa-gesa, agar bisa cepat sampai di rumah.
Setelah sampai di rumah, aku pun tidak langsung bisa tidur, aku duduk di teras rumah sembari menghabiskan sebatang rokok. Mencoba menikmati kenyataan dan dinginnya angin malam.
Lagi-lagi di teras rumah, aku ditemani dua buah kursi kosong yang bersandarkan di dinding rumah, dan satunya lagi sedangan kududuki. Dengan meja bundar kecil tepat di tengah-tengahnya. Ah, sepertinya hanya kursi kosong yang selalu setia menemani di setiap langkah. Selalu membuat aku nyaman dalam hiruk-pikuknya keadaan.
Malam itu aku mencoba menyadari, bahwa setiap orang diciptakan berpasang-pasangan, dan rasanya malam itu aku berpasangan dengan sederet kursi kosong yang diam tanpa memberi jawaban.
Aku merasa telah tenggelam di dalam lautan cinta. Aku telah terlanjur menyerahkan hati kepada dia, tapi aku juga belum bisa memberikan kepastian kapan aku akan menyatakan niat baikku kepada orangtuanya. Karena hal itulah dia menjadi sangat kecewa.
Api telah menyala kencang di dalam hatiku, dan cahayanya telah terpancar hanya kepada dia. Untuk saat ini, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menjinakkan nyalanya? Tidak ada. Karena sekarang cahayanya sudah mulai luntur, tidak lagi memantul. Cahayanya kandas begitu saja.
Kekandasan perjalanan cintaku, itu tidak sepenuhnya salah dia. Lebih tepatnya itu semua karena salahku, karena ulahku, karena jiwaku. Yang asyik bermain dalam gelombang perasaan, tanpa sedikitpun memberitakan kejelasan.
Kejelasan itu yang ditunggu-tunggu oleh dia, dihadapan kedua orangtuanya.
“Tetap maju! Tidak ada salah dengan cintaimu. Perjuangkan!” Seolah-seolah kursi kosong di teras itu berbisik, mencoba memahami keadaanku malam ini. Bagaikan angin yang mengalir lembut, dalam setiap hembusan nafasku tiada henti.
“Wahai semesta! Kau hadirkan aku di hadapan kursi kosong, mungkin agar aku bisa belajar menjadi laki-laki tabah, ketika persoalan cinta mulai memberikan sinyal gundah tanpa arah,” rintihku di dalam sunyi.
Selesai
Cerpen Karangan: Mahadir Mohammed Blog / Facebook: Mahadir Mohammed Seorang laki-laki yang hidupnya penuh gelora cinta dan ambisi.