Aku tidak bisa melanjutkan denganmu, karena tidak cukup pantas untukmu menemani sisa sepanjang kehidupanku. Dua minggu yang lalu kalimat itu secara tiba-tiba mengudara dari ribuan kilometer mendarat di telinga lewat telepon. Ananta meneleponku tanpa aba-aba langsung berbicara pada pointnya. Dirinya mengelak telah memiliki hati yang lain.
Setengah tidak percaya, tapi memang itulah kenyataanya. Di sela kesibukanku menyelesaikan disertasi menuntaskan magister pendidikan tak didapati Ananta mengumbar kedekatannya bersama seorang perempuan lain. Ananta adalah sosok orang yang tidak mudah mempublikasi tentang kehidupan pribadinya dan aku adalah sosok yang amat gengsi untuk menanyakan kabar tentang Ananta kepada temannya apakah ia telah memiliki seorang kekasih. Jadi, selama melewati hari-hari hambar keputusan paling tepat adalah membiasakan diri dan kembali hidup normal. Meskipun terkadang selalu terpikirkan perihal alasan perpisahannya sedikit tidak logis itu hanya berdasar pada kata ketidakpantasan yang tidak ia jelaskan dan ini sungguh menjengkelkan.
Muka tertekuk usai kabar yang kuterima di telepon menarik perhatian seseorang memandangi dari kejauhan. Seseorang yang beberapa kali bayangannya tertangkap dan telah terekam dalam ingatanku, kami bertemu karena kesamaan aktivitas setiap dua hari sekali setiap pagi berjoging dan mengantri membeli bubur. Lelaki itu menyukai bubur beras merah ucapnya suatu ketika ia mendekat dan mengajak berbincang singkat. Hari ini ia mendekati lagi kali kedua, tetapi bukan menanyakan kondisi hatiku. Perasaanku teralihkan dengan perbincangan hangat yang ia ciptakan.
Suatu hari, aku mendapati sisi lain lelaki itu. Dia adalah seorang asisten dosen pembimbing disertasiku. Ini aku ketahui sebelum kabar duka kuterima dari Ananta. Lelaki ini pandai memposisikan dirinya menjadi seorang kenalan di aktivitas jogging dan seorang asisten dosen pembimbing disertasi.
Disela perbincangannya, ia mengajak seminggu kedepan tepat hari minggu untuk pergi bersamanya, pukul delapan ia menjemputku. Hati yang sebenarnya tidak terluka karena kepergian Ananta mendadak perih. Pertama, begitu cepat aku diajak pergi berdua oleh seseorang yang baru kukenal. Kedua, lelaki yang mengajakku pergi juga merupakan seorang asisiten dosen pembimbing disertasiku. Ketiga, ketidakpercayaan diriku pada ajakan laki-laki itu alias asisten dosen pembimbing disertasiku pasalnya sejak hari itu kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi yang bersifat pribadi. Meskipun kami pernah bertemu lagi usai ajakanya namun itu adalah pertemuan untuk urusan bimbingan. Lelaki itu sungguh mengkotak-kotakkan profesi dan urusan pribadinya. Keempat, lelaki itu menepati janjinya. Di sinilah sumber dari pada rasa perih teramat dahsyat yaitu merasa bersalah pada lelaki itu juga pada Ananta.
Arya nama lelaki itu. Perginya kami, Arya membawaku bertemu dengan ibunya. Hal ini pernah terpikirkan olehku meskipun aku menyadari pikiranku terlalu mengembara jauh tapi inilah aku. Dan hal itu benar-benar terjadi dengan perkenalan kami yang masih terhitung singkat, Arya memperkenalkan aku dengan ibunya. Terkadang mungkin seperti inilah hubungan orang dewasa; praktis dan rumit.
Pertemuan kami bertiga, Arya membuatnya seolah kami berdua datang memasuki sebuah toko roti dan aneka coklat sebagai pelanggan dan ia sedang memperkenalkanku dengan kuliner coklat sebagaimana seolah ia juga tahu kesukaanku pada olahan apapun bercita rasa coklat. Kenyataannya toko yang kami masuki adalah toko milik ibunya dan ia sengaja melakukan itu. Hati yang sebenarnya tidak luka mendadak perih. Perbincangan bersama Arya dan berkenalan dengan ibunya menyeret lebih dalam pada hubungan orang dewasa. Lebih tepatnya Arya mengajak berbicara dari hati ke hati usai berpamitan dengan ibunya dan kami melanjutkan pergi bersama jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Sepanjang kami pergi berdua, di situlah letak hati yang mulai teiris dan perih.
“Selesaikan terlebih dahulu urusan kamu, setelah itu kabari aku tiga hari kedepan.” Ucap Arya. “Bagaimana jika satu minggu.” Usulku dan Arya menggangguk setuju.
Berhari-hari hampir tidak bisa membagi fokus pada disertasi dan urusan hati. Arya Hati yang mulai menaruh harap pada seseorang baru bernama Arya ditambah kepergiannya keluar kota mengisi separuh hati untuk merindu. Di sisi lain kekeluan untuk menepati janji pada Arya dalam urusan kejelasan hubungan dengan Ananta, atau berkata jujur pada Ananta soal perasaan baruku pada orang lain selain dirinya. ditambah Arya dinilai professional dengan bimbingan terjadwalnya.
“Aku ingin bicara denganmu.” Pesan singkatku pada Ananta.
Tak berselang lama telepon berdering masuk. “Ta, aku mau jujur ke kamu, begitu juga aku mau kamu jujur ke aku.” Pintaku. “Iya Ta.” Ananta masih memanggilku dengan sebutan khas kami berdua yaitu Cinta atau Ta. Desiran menyamber aliran darah, aku masih tidak mempercayai panggilan khas itu masih ia gunakan. Mungkin karena aku yang tadi duluan menyapanya dengan Ta, padahal makna yang kumaksud sekarang adalah memanggil suku kata belakang namanya AnanTA. Keadaan membisu aku tidak tahu memulai dari mana.
“Ta, apa mungkin jika kita tidak menjadi sepasang, panggilan itu masih kita gunakan?” “Kamu meneleponku hanya bertanya seperti itu, Ta?” “Itu salah satunya, aku merasa janggal kamu masih memanggilku dengan nama itu. aku memanggilmu Ta karena nama kamu AnanTA.” Kemudian Ananta memotong “Langsung ke topik aja, Ta” mendengar itu mendadak darahku mendidih. Namun tak langsung aku merespon
“Nanta!” aku mengubah panggilannya, kadung kesal. Secara bersamaan ia memanggilku nama “Airin!” dan meneruskannya dengan sederet kata “Aku yang akan jujur lebih dulu.” Aku diam saja dan mengurungkan niat berkata jujur soal Arya. Tidak berselang lama kalimat berikutnya sampai pada telingaku
“Maaf Airin, aku telah dijodohkan oleh ibuku.” Begitu kalimat yang berhasil sinyal teleponku tangkap dan sampai pada pendengaranku. Sontan ku membalas bertanya “Alasannya?” “Kamu tahu bukan? posisi kita berdua tidak ada yang bisa mengalah untuk menetap di salah satunya. Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku.” “Tunggu, kita pernah berdiskusi ini dan menemukan jalan tengahnya, dan sepakat di antara kita tidak ada yang memilih tinggal di dekat orangtua.” Jelasku mengingatkan. “Aku tahu.” “Jika begitu pasti ada alasan lain.” Ananta tak segera menjawabnya. “Status pendidikan kita.” Jawabnya lirih.
Tidak dengan aku yang semakin meninggi nada bicaranya “Nanta, aku memilih melanjutkan pendidikan S2 karena ini adalah cita-citaku, kamu mendukung itu. Aku percaya kamu memiliki kesempatan yang sama dengan aku melanjutkan jenjang ke S2. Aku mendukung kamu untuk berkarier berbisnis karena kamu punya tanggung jawab besar lebih atas adik-adik kamu, dan keluarga kamu, kamu tulang punggung mereka, ketika tiba gilirannya kamu bisa melanjutkan S2.” Aku kembali menjelaskan memori-memori pembahasan kami semasa dulu pernah membahas perihal seperti ini.
“Itu hanya ada pada persepsi kamu dan aku. Berbeda dengan lingkunganku dan hal lainnya tentang perhitungan jodoh berdasarkan tanggal kelahiran juga adatku mengharuskan perempuan mengikuti laki-laki, status perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Kita ga sepadan Airin. Kamu jauh lebih bisa mencari lingkungan pasanganmu yang tidak memakai adat itu.” jawabnya kali ini mengelak berbeda dengan waktu itu.
Sejenak aku terdiam menyusun keyakinan “Apakah tidak bisa bagi kita berdua melawan, Ta?” lontarku yang menurutku sangat merendahkan harga diriku.
“Aku bisa saja melakukan itu, Ta. Untuk kepentingan kita. Tetapi, kamu pernah bilang kan anak pertama adalah tombak kesuksesan keluarga. Aku mempunyai adik yang aku sendiri harus menjaga sikapku di depan adik-adikku, jika kita menerjang dengan sikap kegoisan bisa jadi suatu hari nanti mereka akan mengikuti jejakku seperti itu dan akibatnya secara perlahan aku menyakiti ibuku sendiri. Ia menjadi single parent saja adalah beban ditambah jika aku tidak bakti padanya. Maafkan aku Airin.”
Bulir air mata membasahi pipi, dada terasa sesak. Aku masih mengumpulkan energiku untuk mengutarakan satu lagi pertanyaan penutup telepon. “Kapan pelaksanaan pernikahan kalian?” “Setelah telepon ini, penentuan tanggal pernikahan, Rin.” Jantungku seakan berhenti dan nafasku kian sesak. “Oiya, tadi kamu mau bilang apa?” sambungnya. “Aku mau bilang seminggu yang lalu seseorang melamarku.” “Aku turut senang mendengarkan itu, Ta!” “Masalahnya Ta, kendalanya masih sama kita beda domisili.” “Itu bisa dibicarakan, asal satu hal grade pendidikannya harus lebih tinggi dari kamu. Oiya Rin, udahan ya teleponnya kita sambung lain waktu.” Telepon kami terputus. Segala hal yang membentengi kami berdua telah terselesaikan.
Tersisa satu kejanggalan lagi. Perihal Arya. Kisah cinta kedua juga terkendala perbedaan domisili dan minat melanjutkan hidup. Perbedaan domisili ini terkait jarak yang memisahkan dua keluarga terpisahkan oleh samudra. Aku meragukan apabila hubungan ini sama saja berakhir sia-sia seperti sebelumnya.
Tibalah hari Arya menagih janji jawaban. Semua kegundahan yang kualami, aku ceritakan padanya. Lelaki ini sungguh dewasa, dengan bijaknya ia mengajak ibunya beserta aku mengunjungi ibuku. Secara resmi kedatangannya bermaksud baik melamarku di hadapan kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku. Perihal keputusan tempat tinggal akhirnya menemui jalan tengah. Pada akhirnya keputusan itu adalah menetap lebih dekat dengan rumah mertua, dibarengi aku telah memperoleh pekerjaan tetap sebagai penerjemah di kota di mana aku mengenyam pendidikan S2. Kami juga tetap memutuskan berpisah rumah dengan ibu dan sedikit berjarak. Perlu waktu 30 menit bagi kami apabila ingin berkunjung ke rumah ibu mertua atau ibunya Arya. Itulah prinsip yang telah diterapkan kedua orangtuaku pada saudara-saudaraku sehingga aku pun demikian. Menurutku kebijakan ini adalah sebijak-bijaknya berupaya hidup mandiri dan mengurangi konflik dalam hubungan antara anak dengan mertua.
Cerpen Karangan: Vadilah Anggraeni Blog / Facebook: vadilahanggraeni.wordpress.com / Vadilah Anggraeni