Sesekali kupejamkan mataku sambil kunikmati hembusan udara yang menusuk ke rongga rongga tubuhku. Udara sore ini memang terasa dingin namun tak menggoyahkan diriku untuk sejenak menunggu sesosok pria manis yang tinggal didepan rumahku.
3 tahun lamanya dia menjadi tetanggaku sejak istrinya berpulang. Pernah sesekali aku memberanikan diri untuk bertanya apakah dia tidak berkeinginan untuk menikah lagi, ia hanya tersenyum dan menunduk. Terlihat jelas raut wajahnya begitu sedih dan kesepian.
Kuhirup teh harum yang sedari tadi menemaniku termenung menatap keluar pagar rumahku. Mataku berbinar binar ketika melihat seseorang Pria berbaju hitam manis turun dari mobil seketika aku berlari kecil menuju depan pagar, hendak mengajaknya minum teh bersama, kali ini ia mengiyakan ajakanku dan menghelakan napas disela sela senyumnya.
Kami duduk berdua berhadap hadapan sore itu, berbicara mengenai kegiatan masing masing minggu ini, disela sela percakapan kami, aku memberanikan diri bertanya kepadanya mengapa ia selalu menolak ajakanku untuk sekedar mampir ke rumah atau minum teh berdua. “mas-s.. mas tidak seperti biasa mau aku ajak mampir ke rumah padahal kemaren kemaren selalu nolak, ada apa?” tanyaku dengan nada penasaran. “mas tidak enak terus terusan menolak tawaranmu padahal kamu mengajakku dengan maksud baik, selain itu, (sambil menyodorkan sepucuk undangan di tanganya) bulan depan mas mau menikah dengan seseorang yang kutemui 6 bulan yang lalu”
Seketika aku mematung mendengar ucapanya, bibirku gemetar disertai keringat tak henti hentinya bercucuran di pelipisku, “ternyata aku sudah terlambat” “maksud kamu?”, tanyanya dengan nada terkejut “setiap sore aku selalu menunggumu di teras rumah, menyapamu ketika pulang dan selalu mengajakmu mampir ke rumahku, sebenarnya mas, a-aku… (aku tidak bisa menahan isakku) mengagumimu dari pertama kali kamu pindah kesini mass..” seketika air mataku mengalir deras tak henti hentinya.
Kulihat dia menatapku dengan penuh kebingungan “mengapa baru kamu sampaikan sekarang?” nadanya dengan lembut seraya mengusap air mataku yang tidak ada hentinya “aku tidak ada keberanian untuk mengatakan mas” sahutku dengan menepis kedua tangannya di lenganku dan memalingkan tubuhku darinya. Sungguh saat itu hatiku sangat terluka, perasaan menyesal berkecamuk di pikiranku “maaf kan aku, … a-aaku minta maaf, lupakan aku, banyak pria diluar sana yang menginginkanmu” “aku pamit!!” “aku menunggu undangan hari pernikahanmu” “berbahagialah!!” Senyum manis yang tak akan kulihat lagi.. dan aku telah merelakanmu berbahagia dengan wanita pilihanmu.
Cerpen Karangan: Erika Indah Sastiya Putri Blog / Facebook: Erika Indah Sastiya P