Aku selalu suka akan turunnya hujan. Karena pada hari itu aku akan bertemu dengannya. Dia lelaki pemilik mata indah. Aku menyebutnya rintik. Kenapa? Kata orang dia tidak punya nama.
Dia anak yatim dan sekarang tinggal ngekos dekat sini. Aku tahu jika cinta itu berlandaskan rasa saling menyayangi meski lelaki itu tak tahu bahwa aku menganguminya.
“Kau suka kemari ya Nak?” Tepuk kakek tua yang sedang menuangkan kopi ke gelasnya. “Iya Kek,” “Berapa usiamu Nak?” Kakak itu menatap lurus kepadaku. “Aku tujuh belas tahun,” “Kamu tau lelaki di sana sudah punya nama asli sejak dia menemukan nama Ayah kandungnya.” “Dari mana Kakek tau?” “Cucuku yang mengatakan itu semua dia bersahabat di kampus kamu tau Rintik bernama asli Zaga Andromeda dia memiliki Ayah seorang Dokter.” Mendengar kisah itu aku lega.
Tapi aku nyaman menyebut Rintik semua tahu itu aku menemukan ktpnya terjatuh lalu aku kembalikan. Sejak hari itu aku berdoa untuk bertemu lagi dengannya tuhan mengabulkan semua rencana aku.
Aku berdoa dalam tidurku selalu kupanjatkan sesuai keyakinan aku. Aku cuma gadis sma yang sedang gencar-gencarnya menyukai hal berbau Korea dan juga serial drama. Wajar saja aku sering berkhayal.
Pagi hari kubuka koran aku membaca cerpen di majalah. Karya Rintik Gemuruh aku merasa mengenalnya. Aku mengambil koran Ayah dan langsung baca. Ayah kaget menemukan aku membaca korannya.
“Kamu kenapa jadi baca koran?” “Hehehe… habisnya nemu cerpen yang bagus.” ujar aku tersenyum. Ayah mengerti penjelasan aku.
Di lain kisah aku juga suka sama semua aplikasi menulis berharap di sana ada Rintik namun tidak ada sama sekali. Rasanya aku kesal. Di mana Rintik menyimpan ceritanya sampai blog manual. Aku masuk ke dalam membuka kisah Rintik. Seharusnya dirinya mencoba menulis di tempat lain seperti wattpad atau storial, dreame namun itu pilihan. Tulisan yang ditulis sangat bernada sajak seperti Boy Candra. Tapi aku bukan membandingkan mereka.
Setahun sudah aku pendam perasaan ini aku semakin gila. Terasa sakit di dada tiap malam aku menagis. Apa gunanya aku sepeti ini? Di dalam kamar aku mencurahkan isi hatiku mencoba menulis di blog.
Tuhan aku terlalu cinta sama dia aku tahu ini candu, tapi aku sangat mencintainya. Mungkin dia tidak tahu? Tapi aku benci merasakan detak jantung ini, tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sayang dia tapi ada rasa takut jika cinta bertepuk sebelah tangan. Jawaban apa yang aku ambil ikhlas, bertahan, terluka, dan sekarang aku merasa sangat down. Cinta terbaik adalah disaat kau bisa merelakan tanpa harus memiliki.
Kututup blog milikku aku selalu menulis kalimat bernada galau. Baru beberapa Minggu fansku sudah banyak. Padahal apa yang aku tulis benar-benar dari hati?
Aku menyeruput Caramel Macchaciato. Aku duduk di sebuah kafe melanjutkan tulisan aku sempat terbengkalai kesibukan sekolah. Sekarang aku juga merambah wattpad. Selain menulis di blog. Diam-diam Rintik berkomentar. “Aku mencintai tulisanmu, seperti real siapakah orang yang kau cintai?” “Kamu, engg… maksudku seseorang dia gak tau kalau aku suka sama dia.” ucap aku terkikik padahal orangnya sedang dibicarakan. Senyuman menghiasi bibirku. Ternyata Rintik sama sekali tidak sadar jika aku adalah cerita tertuang di dalam kalimat bernada sajak itu.
Semakin hari aku sering menulis di blog dan kami berkomunikasi secara membalas komentar. Menanyakan apa sosial mediaku. Akhirnya ku jawab dan kemudian Rintik mengunjungi isi sosial media yang berisi kata motivasi. Aku jarang menampakkan wajahku.
Cuaca cerah aku berjalan membawa belanjaan angkot menghampiri aku ada yang naik. Aku merasakan aroma tubuhnya menyengat. Dia Rintik. Apa dia tahu kalau aku yang mengembalikan ktpnya pasti sudah lupa.
“Kamu gadis Sma itu kan kita bertemu lagi?” “Masih ingat ya, kirain dah lupa!” “Gak kok kamu gadis yang baik, di zaman sekarang gak ada yang jujur sepertimu.” Muka aku merona merah.
Hujan turun memberikan bekas rindu aku selalu bertemu di kondisi cuaca dingin. Tapi sekarang hatiku terasa panas menatapnya memberikan aku semangat menjalani hari.
Bagiku bisa bertatap sedekat ini sudah cukup, apalagi aku melihat rambut gondrongnya hitam lebat basah oleh keringat. Sangat manly. Baju kotak-kotak merah Rintik kenakan membuatnya terlihat tampan. Aku terus tersenyum sepanjang jalan hingga tiba di Pondok Indah.
Sebenarnya aku orang kaya tapi aku berusaha menghilangkan semua indentitas itu alasannya karena aku ingin mendapatkan teman sejati bukan fake seperti pada waktu aku smp. Aku pernah dilukai oleh salah satu temanku dan begutu sakit. Sehingga air mata jatuh di pelupuk. Perlahan aku masuk ke dalam rumah ada Inggrid ibuku.
Mereka bertengkar aku marah sekali kenapa harus sama Ayah. “Kamu mengkhianati aku kamu bawa wanita lain ke rumah? Dan punya anak.” “Keluarga yang aku banggakan sekarang berantakan,” Aku berlari setelah bermonolog di dalam hati.
Berlari ke dalam rumag kosong sebuah tangan terulur. “Ngapain ke sini?” “Rintik…” “Aku mau ke rumah Dafa temanku, dia ada di daerah ini ” jawab Rintik. “Aku… aku… cuma mau menikmati udara sejuk di sini.” ucap aku mengelas. Rintik menatapku heran lalu pergi. Malu sekali pasti tadi di pikir mau maling.
Malam menjelang aku memutuskan tidur di rumah Ifah temanku. Di sana aku bertemu keluarga hangat mereka humoris, menyenangkan. Walaupun aku selalu merindukan suasana rumah, berbeda denganku yang sekarang mengalami down akibat prahara ini.
Airmata jatuh buru-buru aku hapus. Sherly Mama Ifah bertanya mengenai keadaanku. “Kamu kenapa sayang?” “Aku cuma… terharu di sini keluarganya hangat, penuh cinta sekarang cinta itu telah pudar tidak seperti sebelumnya.” Sherly memelukku memberikan aku dukungan untuk tetap menjadi wanita yang kuat. Kupeluk tubuhnya aku mengangguk.
Bekal yang aku bawa sudah lengkap di tas. Orangtuaku sudah bercerai. Hari melegakan tapi aku tidak peduli pandangan orang terhadapku.
Aku sedang duduk di bawah pohon menuliskan kisah dan aku bertemu Bastian tak pernah menyapaku. Kini mendekat padaku. Namun aku cuek biasa saja. “Kamu hebat ya, bisa nulis cantik kurang apalagi…” “Gak aku cuma gadis biasa.” jawab aku menatap layar laptop sony milikku. “Tidak kamu sempurna.” Sempurna dalam hal apa? Batinku berkata sendiri. “Sempurna dari mana? Udah akh mau bel aku masuk dulu bye nanti ada tawon hati-hati di kejar.” Aku mengerjai Bastian yang tampak ketakutan. “Kalau ada tawon bahaya hi…” Geli Bastian berlari meninggalkan pohon beringin besar di dekatnya.
Sudah lama aku tidak mengunjungi Gramedia meluangkan waktu mencari novel. Aku membeli beberapa buku Tere-Liye dan juga Boy Candra. Aku menyukai segala buku favorit Rintik. Bukunya romantis penuh sajak indah.
Hari itu aku bertemu lagi sama Rintik di Gramedia. Dia membeli buku Tentang kamu sedangkan aku mengambil Elsa Malik. Kami tertawa bersama saat bertemu. “Kami selalu saja takdir mempertemukan kita?” “Kamu benar, tapi nggak papa sih kamu mau langsung pulang atau—” Memotong perkataanku aku terdiam cukup lama. “Aku mau ke kfc dulu beli makanan,” ucap Rintik. “Aku juga lapar mau ke sana.”
Mengikuti langkah dari Rintik begitu cepat. Kaki terasa berat berjalan saat aku melihat Ayah bersama keluarga barunya menuju gerai pizza. Hancur hati, tapi aku berusaha tenang berjalan.
Sesampainya di gerai ayam goreng kami duduk memesan makanan. Hatiku dilanda gelisah. Rintik menatap bening mataku seperti ada sendu di sana. Aku tahu ini berat menceritakan tapi aku tak kuasa menangis.
“Nih tisuee, maaf kalau aku lancang bertanya? Apakah kamu mengalami masa sulit.” “Keluargaku bercerai, aku hancur dia tadi ada di sini hiks.. bersama istri barunya sih pelakor itu merusak rumah tangga Ibuku.” Meneteskan airmata lagi-lagi aku lemah. Lelaki itu memberikan aku semangat. “Jangan jadikan airmata kamu percuma, cobalah untuk tetap sabar coba kamu lihat ibumu pasti dia sekarang kalut, jangan tambah beban pikirannya cobalah untuk bahagia di depannya.” Mendengar kata-kata dari Rintik aku bahagia. Benar Perkataan Rintik ada benarnya.
Cuaca bersahabat begitu cerah aku pulang dari gerai fast-food naik angkot. Namun di perjalanan seseorang memotret aku belum sadar jika ada yang melakukannya.