“Sampai kapan kamu akan terus merasa sedih atas apa yang sebenarnya tidak merugikan atau menyakitimu?” “Bagaimana? Apapun yang merugikannya, pasti menyakitiku juga.” “Dia menyakiti dirinya sendiri dengan mabuk.” “Maka aku juga rugi.” “Kamu tidak bisa merubah orang kecuali dia sendiri.” “Aku memang tidak ada niatan merubah siapapun untukku.” “Jadi berhenti merasa merugi. Dia peduli kamu terluka begini?” Aku diam. Tidak tahu juga.
“Sudah, tinggalkan dia. Jika dia cinta, dia tidak akan melakukan apapun yang kamu tidak suka.” “Apa cinta berarti menyuapi ego kekasih saja?” “Loh? Kalau ngomongin ego, dia juga egois kok. Dia melakukan itu tanpa memikirkan perasaanmu.” Aku diam lagi.
“Dunia ini luas lho. Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah. Daripada menghadapinya, dia lebih memilih melarikan diri. Pecundang dia itu!” “Ra, aku nggak suka kamu bilang begitu tentang dia.” Aku memandang tajam sahabatku. “Cinta boleh, bodoh jangan. Ditaaa!” Frustasi Rara berusaha menjelaskan padaku. “Dengerin aku, omongan orang yang tidak sedang kasmaran itu benar adanya dan bisa dipercaya. Karena mereka tidak sedang dibutakan oleh cinta.”
Sudah 3 bulan sejak aku memutuskan mengikuti saran Rara untuk meninggalkan Bagas yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Apakah hidupku lebih baik atau tidak, entahlah. Benar kata Rara, kalau kita tidak sedang jatuh cinta, pikiran kita terbuka. Tapi hatiku kosong. Dia yang selalu mencerahkan dan mewarnai hari-hari, sekarang tidak ada lagi. Aku berjalan di taman sendiri, untuk menghangatkan hati. Dan kenangan itu menghampiri.
“Dit, makasih ya sudah mau jadi temanku. Bahkan sekalipun kamu tahu kelakuanku.” Aku hanya tersenyum. Berat juga untuk menerima sisi buruk seseorang. Tapi aku belum sebaik itu untuk menuntut kesempurnaan. Dia orang yang baik di hari normal. Hanya saja ketika ada masalah, ia lebih memilih lari ke jalur neraka itu!
—
“Iya Mas, pulangnya hati-hati. Besok balik ke Jerman, ya? Sebentar banget di Indonesia.” Sesalku terhadap kehadiran Kevin yang hanya sesaat. “Iya nih. Lulus S1, kamu S2 di Jerman aja. Aku dapat penawaran kerja disana jadi gak pulang ke Indo untuk waktu lama. Nanti kamu bisa tinggal sama aku dan Celine.” Aku mengangguk senang. “Ya sudah aku pulang.” Kevin mengelus puncak kepala dan menepuk bahuku. “Semangat belajarnya!”
Smartphoneku berdering. “Dit, Bagas masuk rumah sakit!” Aku menjatuhkan smartphoneku. Hatiku mencelos. Badanku lemas dan bergetar hebat.
“Fan, apa yang terjadi?” Aku mengguncangkan tubuh sahabat Bagas itu dengan kuat. “Dit, tenang dulu Dit.” Rara berusaha menghentikanku. Ia membawaku untuk duduk di kursi ruang tunggu. “Fan, coba kasih tahu Dita pelan-pelan.” Bisik Rara. “Tadi Bagas dalam perjalanan ke rumahmu. Mau menyelesaikan sesuatu, katanya. Tapi sepertinya dia cepat kembali, dan aku dihubungi seseorang dia sudah begini. Justru harusnya aku yang tanya ke kamu Dit. Apa yang terjadi antara kalian berdua?” Nafasku memburu. Mungkin Bagas melihat kedekatanku dengan Kevin beberapa waktu lalu.
Seminggu penuh aku menunggui Bagas di sisinya. Bahkan Rara tidak protes sama sekali melainkan terus memberikan bantuan apapun yang ia bisa. Rara yang bersedia mengantarku untuk pulang-pergi dari dan ke rumah sakit. Sesekali, ART rumah Bagas datang untuk melihat perkembangan kondisi anak Tuannya. Sementara orangtua Bagas di luar negeri mengurus beberapa pekerjaan.
“Non, sebenarnya kamu gak perlu sampe begini lho. Biar Mbak aja. Mbak dibayar buat pekerjaan-pekerjaan ini.” “Mbak, ini bukan tentang uang.”
Tepat 10 hari Bagas terbaring di ranjang rumah sakit. Dingin dan beku. Aku hampir kehilangan harapanku. Dalam batin, jika Bagas harus pergi, aku akan berusaha ikhlas hati.
“Kalau kamu lelah dengan semuanya, tidur saja dengan tenang, jangan sakit lagi. Tidak perlu bertahan sekuat ini.” Ucapku sambil berusaha tegar.
“Dit, kenapa kamu menyerah atas aku?” Aku terlonjak kaget sampai hampir jatuh dari kursi. Suaranya sangat lemah tapi terdengar jelas. “Bagas!!” Teriakku histeris dan menubrukkan diri di atas tubuh lemahnya. “Aduh, Dit, aku sakit.” Ia meringis sambil memegangi dadanya.
Pintu menjeblak terbuka. Rara dan Irfan masuk dengan gugup. “Ada apa?!” Tanya Rara. Kemudian mereka berdua diam melihat keajaiban yang terjadi di depan mata.
“Aku gak peduli! Kapan kamu akan berhenti melakukan hal-hal bodoh yang membuatku sakit?!” Protesku. Aku marah, kesal, sedih, tapi juga bahagia karena dia kembali. “Kamu lihat tulang rusukku? Ini patah.” Aku mengangguk. Kemudian melepaskan diri. “Pasti kecelakaannya sangat parah.” “Kecelakaan itu tidak seberapa. Ini sudah patah sejak lama. Sejak kamu bilang hubungan kita cukup sampai sini saja.” Aku tertegun. “Sudah, gak usah banyak bicara.”
“Dit, dia siapa?” “Dia? siapa?” Tanyaku, tak mengerti. “Laki-laki di hari aku kecelakaan, yang kelihatannya sangat akrab denganmu. Apa kamu sudah dapat penggantiku?” “Bodoh! Aku disini 10 hari dan dengan seenak jidat kamu bilang aku melupakanmu?!” “Lalu apa?” “Itu kakak sepupuku. Kami memang dekat sejak kecil. Dia seperti kakak kandung sendiri.” Rara dan Irfan saling berpandangan, mengerti.
“Ah…” Bagas menghela nafas berat. “Percuma aku sampai hampir mati begini.” “Lihat? Masalah tidak pernah seberat apa yang kamu kira. Pikiranmu menciptakannya seolah-olah itu hal yang besar. Coba kamu bertanya, coba kamu berbagi, coba kamu mencari solusi, bukan malah melarikan diri. Semuanya tidak akan jadi seperti ini. Aku, kamu, kita, semuanya akan baik-baik saja.” “Aku menyesal sudah banyak menempatkanmu dalam kesulitan.” “Memang. Dasar troublemaker!”
“Dit, kamu bisa menunda untuk marah-marah? Serius, aku masih sakit.” “Ya.” Jawabku ketus. “Aku panggil dokter untuk memeriksa keadaan kamu.”
Setahun kemudian… “Halo, Mas Kevin? Iya. Aku hari ini wisuda. Dan coba tebak apa. Aku cumlaude! IPK ku 3,86! Hah? Serius? Kamu akan bayar tiket aku ke Jerman? Makasih banyak Mas! Ya udah aku tutup dulu, mau ambil beberapa foto sama teman-teman. Bye, see you. Salam buat Mbak Celine.”
“Dit?” “Ya?” Aku memasukkan HP ke dalam saku, kemudian menoleh. “Bagas?” “Kamu… Mau ke Jerman?” Aku kehilangan kata-kata. “Dit?” Aku mengangguk pada akhirnya. “Lanjut S2?” Mengangguk lagi. “Semoga sukses ya. Aku menunggumu di Indonesia.” Tidak kusangka, Bagas tersenyum. “Makasih.” Aku berkaca-kaca. “Aku pasti kembali.” “Iya. Aku percaya. 2 tahun bukan apa-apa. Itu bukan waktu yang lama dibandingkan dengan perjalanan kita, semua yang sudah kita lalui bersama.”
Kemudian kami mengambil foto sebanyak yang bisa dilakukan. Ini adalah kenang-kenangan yang berharga. Di hari keberangkatan, Bagas mengantarku ke bandara. Bagas, sampai jumpa…
Cerpen Karangan: Wuri Wijaya Ningrum