“Aku akan selalu mencintaimu.” Ucapan itu dusta. Aku ingkar padanya. Menyesakkan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas aku sangat kenal dengan debaran ini.
Aku mengusap wajah. Menatap cermin. Jantungku berdegup kencang. Ingatan itu kembali. Saat-saat dimana aku harus merelakan perpisahan dengannya, lalu mengucap janji bersama. Benar-benar omong kosong. Lihatlah. Belum genap setahun kita berpisah, hati ini kembali merasakan hal yang sama. Dia pergi, orang baru datang. Dan aku tidak mengerti mana benar mana salah. Ya. Aku menyukai orang lain selain dirinya.
Senyuman itu sudah tak terlihat, apalagi wajahnya. Aku benar-benar lupa. Yang ada dibenakku sekarang adalah si orang baru. Entah kenapa itu terjadi. Aku tidak memiliki foto atau kenangan apapun darinya. Apa dia juga akan merasakan hal yang sama? Kalau memang begitu, aku ingin kita bertemu. Memutus hubungan. Tunggu. Hubungan? Sejak kapan aku punya hubungan dengannya? Kita hanya berteman. Tapi saat itu kita saling mencintai. Membingungkan. Baiklah. Aku serahkan pada hati. Dialah yang paling jujur dalam urusan ini.°
“A-apa? Bagaimana bisa kau kemari? Bukankah masih 1 bulan lagi?” Aku menatap lamat-lamat. Wajah itu, akhirnya aku ingat. Rasa bersalah memenuhiku. Andai aku tidak ke taman. Kenapa dia ada disini? “Harusnya kau senang. Ada apa denganmu?” Dia balas menatap menyelidik. Aku mengaihkan pandangan. Menghela napas sejenak, lalu menatapnya lagi. “Bukankah itu wajar? Aku takut kau kabur. Jangan seperti itu. Ini demi kebaikan kita. Kembalilah…” Yes! Aku berhasil merangkai penjelasan.
Dia tersenyum simpul, “Bukan seperti itu. Maaf. Aku kesini bukan untuk menemuimu. Aku…” Matanya melirik bangku kosong. Aku tersentak, paham. “Kau ada janji dengan seseorang?” Dia mengangguk lemah.
Suasana mulai canggung. Aku mengamati bangku kosong itu. Dia terus menatapku prihatin. Aku tak peduli. Hingga seseorang duduk di bangku itu. Seorang gadis. Aku menyeringai, dugaanku benar.
“Rai, bukan seperti yang-” “Cukup. Aku juga minta maaf. Mari jalani hidup baru. Biarlah ini menjadi kenangan. Sampai jumpa.” Aku berhasil membuatnya membeku, tidak menjawab. Wajahnya berubah pucat. Aku tak peduli.
“Apa kau tidak keberatan?” Suaranya bergetar. Aku berusaha tersenyum. Senekat itukah? Sampai dia kembali kesini hanya untuk bertemu dengan cintanya yang entah keberapa. Aku tidak bisa memarahinya karena hati ini juga melakukan hal yang sama.
“Sebelumnya aku minta maaf. Hari ini aku juga akan bertemu seseorang. Dengan begitu kita akan melupakan satu sama lain. Pergilah, lupakanlah, aku juga akan seperti itu.” Tidak ada jawaban.
“Lihat. Dia sudah datang. Sampai jumpa!” Aku melewatinya tanpa rasa bersalah. Menghilang di persimpangan jalan.
Dari kejauhan, aku melihat dia mengenggam tangan gadis itu. Sakit hati? Entahlah. Yang penting semua sudah selesai. Saatnya pulang. Lalu bagaimana dengan seseorang yang kutemui? Itu bohong. Aku tidak senekat itu. Begini-begini aku masih setia. Tapi? Ah, sudahlah.°
Cerpen Karangan: Nazai