“Maaf… Saya hanya mengatakan yang sesungguhnya.” “Hm… Iya Saya mengerti dok.”
Gadis itu keluar dari ruang konsultasi yang sudah 14 bulan lamanya ia kunjungi. Di wajahnya tak nampak raut khawatir dan takut, meskipun ia hanya memiliki waktu satu tahun untuk bertahan hidup. Tersenyum. Ia hanya bisa tersenyum di hadapan banyak orang, meskipun hati tidak sepenuhnya bahagia. Ia hanya bisa berpasrah akan takdirnya.
Tokyo, 15 Agustus 2020
Dear Tuhan Aku mengerti semua sudah kau rencanakan dengan baik. Garis ini, hanya dapat kuikuti. Aku tak bisa mengelak akan ketentuanmu. Aku pasrah.
Marsha Sayaka
Namanya Marsha Sayaka, nama panggilannya yaitu Achan. Ia divonis sakit kanker darah stadium akhir. Gadis ceria yang sebenarnya rapuh. Ia tinggal di Tokyo selama kurang lebih empat tahun. Orangtuanya bercerai, dan ia ikut dengan ibunya. Ia tidak menyangka bahwa kehidupannya yang biasa saja ini berujung pada kesakitan. Orangtuanya bercerai karena orang ketiga, ditambah penyakit stadium akhirnya. Ia bertekad disisa hidupnya untuk mencari sosok teman untuk menikmati mekarnya bunga sakura. Sosok teman yang membuat hidupnya lebih berwarna dari biasanya, hingga ia lupa akan kesakitannya.
Achan POV “Kamu mau kemana Achan?” tanya ibuku. “Ingin bertemu Pangeran Sakura bu.” Ucapanku hanya bercanda. Namun apa yang kuucapkan benar-benar tuhan kabulkan. Aku menemukannya, Pangeran Sakura. Lelaki bertubuh tinggi, memakai kemeja abu-abu dan memegang kamera. Ia terlihat kawaii saat bercengkrama dengan anak-anak. Seperti mimpi rasanya.
“Selamat Pagi.” “Selamat Pagi.” Tuhan tolong senyumannya manis sekali.
“Kau sepertinya menyukai anak-anak ya?” tanyaku “Mereka lucu sekali.” “Kau, bukannya yang kemarin melukis bunga sakura disana?” tanya lelaki itu. “Eeh bagaimana kau tahu?” “Hm… Aku sedang iseng saja berjalan-jalan disekitar sini. Dan aku tak sengaja melihatmu.” “Hm… Seperti itu.”
“Maaf aku harus segera pergi.” Aku tak ingin kau menjauh, Pangeran Sakura. “Pangeran Sakura! Dadah.” Aku melambaikan tangan seraya tersenyum lebar kearahnya. Ia hanya menoleh dan tersenyum. Tuhan kini takdirmu itu kah yang sedang kujalani saat ini?
Kini hari-hari yang kujalani terasa lebih berwarna. Jika kemarin yang kurasa hanyalah hitam, putih dan abu-abu kini tak terbatas warnanya. Hingga aku lupa akan kesakitanku sendiri. Pangeran Sakura yang kukira tak mungkin ada, ternyata ia sedekat ini untuk kujangkau.
Aku lupa akan batasku. Aku lupa akan hari itu. Hari dimana waktuku akan habis. Tinggal beberapa bulan lagi menurut perhitungan medis.
“Pangeran Sakura, apakah aku terlihat jelek saat kau lihat bahwa rambutku mulai menipis?” “Kau selalu indah bagaikan bunga sakura yang bermekaran, bahkan saat kelopaknya mulai bergugur kau tetap menjadi yang paling bersinar” “Bahkan saat aku tiada, apakah aku akan selalu membekas di ingatanmu?” “Kau kekal abadi… Di dalam benak orang-orang yang mencintaimu.” “Aku ingin tetap bersamamu Pangeran Sakura.” “Akupun ingin tetap bersama sakuraku yang berguguran.”
Aku tak ingin air mata ini jatuh kembali. Aku ingin pergi dengan damai. Pastinya, agar Pangeran Sakuraku tidak sedih nantinya. Walaupun waktuku tinggal sebentar lagi, aku ingin tetap melukis kenangan indah bersamanya.
Sudah beberapa minggu Pangeran Sakura tak bertemu dengan Achan lagi. Ia gelisah, kemana perginya. Waktunya semakin dekat, ia hanya bisa pasrah. Saat ia berjalan-jalan menyusuri taman, ia bertemu dengan seorang gadis. Terlihat ia masih muda dan cantik. Namanya adalah Yuriko Yamauchi. Melihat gadis itu ia teringat seseorang, yang lain tidak bukan adalah Pangeran Sakura.
“Maaf apakah kamu Marsha Sayaka?” Gadis yang memakai dress selutut itu bertanya padaku. “Iya benar, kamu siapa?” “Perkenalkan namaku Yuriko Yamauchi, aku datang kesini ingin memberimu titipan.” Gadis itu memberikan kotak kecil berwarna biru muda. “Terima kasih Yamauchi-San.” “Sama-sama, kalau begitu aku pamit dulu. Sampai jumpa kembali Achan.”
Ia membuka kotak kecil itu, dan melihat isinya berupa kalung dengan liontin sakura yang sangat indah. Terselip pula secarik kertas, yang tak lain pengirimnya adalah Pangeran Sakura.
Dear Achan Aku tahu dalam keceriaanmu tersimpan rasa sakit yang luar biasa. Aku mengerti arti dari senyumanmu. Aku tahu kamu masih ingin disini, meskipun kamu selalu mengelak.
Kamu tetap akan menjadi yang bersinar walau rambutmu berguguran. Dan kamu akan tetap kekal abadi di dalam benakku. Tetapi maafkan aku. Aku tak bisa menemanimu lebih lama. Sepertinya waktu berpihak padaku untuk mendahuluimu.
Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali. Dan ku pastikan saat kita bertemu kembali, kelopakmu tak akan berguguran lagi. Terima kasih telah menemani hari-hari ku.
Haruka Yamauchi /Pangeran Sakura
Ia hanya bisa tersenyum, seraya memeluk kertas itu. Setidaknya ia tahu, bahwa Pangeran Sakuranya sudah lebih baik darinya. Kini tinggal dirinyalah yang menunggu waktu.
Haru POV Siang itu bagaikan hari yang paling mengesankan bagiku. Seorang wanita pelukis yang kukagumi tiba-tiba ada di hadapanku. Rasanya seperti mimpi bisa sedekat ini dengannya. Ia terlihat sangat cantik dengan dress berwarna peach serta topi yang menutupi kepalanya, seakan-akan aku terhipnotis.
“Pangeran Sakura,” panggilnya. Aku tersenyum sepanjang jalan, padahal rumah sakit sudah menungguku untuk kontrol penyakitku. Seketika aku menemukan alasan untuk selalu tersenyum dengan segala apapun yang terjadi.
“Waktumu tinggal sebentar lagi, maaf bila usaha kami selama ini tak mak…” “Aku sudah lebih baik dok. Aku sudah tidak mempermasalahkan berapa lama lagi waktuku.” Aku tersenyum setelah mengatakan itu.
Kugunakan sisa hariku untuk bersama melukis kenangan dengannya. Dengan tanpa sepengetahuannya, aku menyimpan rasa sakit yang sama dengannya.
Hari ini aku akan memberikan sesuatu untuk Achan. Aku bergegas menuju taman favoritku dan Achan. Kuambil tas selempangku dan berjalan menuju taman.
“Mengapa terang sekali?” Tiba-tiba pandanganku kabur, darah mengucur deras dari hidungku. Kepalaku terasa sakit sekali hingga aku tak sadarkan diri.
Kukira sudah waktunya, ternyata tuhan masih memberiku kesempatan untuk menuliskan kata perpishan untuk Achan. Kurasa gerakanku sangat lemah. Dibantu Yuriko adikku, aku menitipkan kotak kecil ini untuk Achan.
Sepertinya waktuku sudah dekat. Yuriko, ibu dan ayah hanya bisa menangis melihatku. Aku hanya bisa tersenyum seperti yang biasa dilakukan Achan. Hingga tiba penghabisanku.
—
Kini mereka telah bersama dalam keabadian. Senyuman mereka bahkan rambut mereka sudah tidak ada lagi yang berguguran. Haru dan Achan tetap abadi di dalam benak orang-orang yang mencintai dan menyayangi mereka.
Cerpen Karangan: Dee Blog / Facebook: Dewi Maharani Dee. Lahir di Jakarta, 22 Januari 2002. Penyuka coklat dan seorang pluviophile.