Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Aku bahkan berpikir takkan pernah meninggalkannya. Karena aku tak bisa berpisah apalagi hidup tanpanya. Seperti air, udara dan matahari bagiku. Apa kalian pikir aku gila? Terlalu mendewakan cinta? Mungkin benar. Ya, dia adalah segalanya. Maut tidak akan bisa memisahkan kita.
“Sebas..” “Iya tuan” “Bagaimana penampilanku kali ini?” “Seperti biasa, anda sangat tampan.” “Benarkah? Tapi aku tak pernah mendengar dia mengatakan itu lagi.” Senyum sinis tersungging di bibirku. Sebastian tampak menunduk, ragu untuk memberikan jawaban. Tiga tahu telah berlalu, namun Sebastian masih saja sama. Belum terbiasa. “Anu.. tuan, wanita itu…” “Yah, aku tahu. Aku akan pergi menemuinya. Lakukan seperti biasa.” Keraguan sempat menyerangnya, namun seperti yang diharapkan dari Butler terbaik, dia tetap menurut pada perintah tuannya. “Baik tuan,”
Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu. Tidak ada yang berubah, aku masih mencintainya dan dia mencintaiku. Tidak akan pernah berubah. Senyum manisnya, mata jernihnya, rambut panjangnya. Semuanya masih sama, dan akan selalu sama seperti itu.
Jantungku berdegup kencang. Selalu saja seperti ini meski sudah berkali kali. Perlahan, kudorong pintu ruangannya. Aroma khasnya menyeruak. Wangi balsam dengan parfum aroma serimpi. Yah, Setidaknya itu lebih baik dari pada bau formalin.
Seorang wanita cantik tengah terduduk diam di sofa. Rambut panjangnya menjuntai ke bawah. Tampak cantik meski tak banyak memakai riasan. “Selamat pagi sayang, Kau tambah cantik. Yah, kau selalu cantik. Bagaimana kabarmu?” Cup. Aku mengecup keningnya. Tidak ada jawaban, juga tidak ada reaksi darinya. “Ahh… Kau tahu aku merindukan suaramu.” Tidak ada jawaban. “Ini sudah tiga tahun sejak hari itu..” Ugh! Aku mengatakan ini lagi. Aku menatap matanya lamat lamat.
“Apa kau ingat kencan pertama kita? Aku ingat sekali, waktu itu kau memakai baju biru muda, cantik sekali. Bahkan bunga pun kalah dengan kecantikanmu. Hari itu, pertama kalinya kau memanggilku dengan panggilan sayang. Katamu, panggilan Si Cupu lebih cocok untukku. Yah, panggilan apapun yang kamu berikan, aku suka.” Aku terkekeh pelan lalu menghela nafas. “Waktu berlalu, semua hal kita lalui bersama. Suka dan suka. Tidak ada duka. Dan aku pun terlena. Sampai akhirnya waktu itu tiba…”
Aku masih menatap lekat wajahnya. Penyesalan atas kejadian hari itu terus menghantuiku. Aku kembali berbicara. Dia terus saja diam. “Kau tahu, aku adalah orang paling menyedihkan. Tidak dapat berbuat apa-apa ketika nyawamu diambil.” Suaraku tercekat, menatap lekat wajahnya. “Sehari setelah pemakamanmu, aku seperti orang gila. Sungguh, aku tak akan pernah bisa hidup tanpamu.” Lagi lagi, aku menceritakan kisah itu padanya. Dan dia hanya diam. Aku membelai rambut panjangnya.
“Namun sekarang kau disini, bersamaku. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kamu berada di sisiku itu lebih dari cukup. Aku akan merawat dan membuatmu tetap seperti ini. Meski dunia hancur, matahari terbit dari barat, aku tidak peduli. Juga…” Aku menatap wanita didepanku, lalu berkata lirih. “Meski… Kau tak lagi hidup.”
Cerpen Karangan: Harvest